Isi Artikel |
Pemikiran Pendidikan
Pendidikan Solidaritas Kemanusiaan
Dalam situasi darurat Covid-19 ini muncul harapan bahwa pendidikan mampu secara kreatif merentangkan yang manusiawi di dalam diri setiap orang untuk tetap menjangkau sesama dalam aksi nyata.
Oleh Angga Indraswara
Akibat pandemi Covid-19, pendidikan di banyak negara dipaksa menerapkan pembelajaran daring. Perubahan amat mendadak ini membuat semua pemangku kepentingan gagap. Berbagai diskursus soal peluang teknologi digital tidak serta-merta berarti kesiapan menjalankan pendidikan secara daring.
Banyak dosen kebingungan, dalam waktu singkat harus mempelajari macam-macam sarana pembelajaran daring. Karena tuntutan segera melanjutkan proses pembelajaran, metode ralat dan galat (trial and error) terpaksa diterapkan. Apa yang tampak mudah dipakai buat menyampaikan materi, itulah yang dipergunakan. Macam-macam pertimbangan pedagogis tunduk pada pragmatisme.
Mahasiswa terengah-engah mengikuti proses pembelajaran. Dalam sekejap tugas menumpuk. Mereka dituntut bertransformasi jadi pembelajar mandiri dalam waktu semalam. Padahal, belum tentu mereka memiliki kuota internet yang memadai. Suasana hati akibat krisis pasti juga mempersulit pembelajaran.
Baca juga : Belajar dari Rumah
Ketergesa-gesaan lalu menjadi ciri dominan pembelajaran selama beberapa pekan ini. Situasi darurat menjadikannya tak terelakkan. Namun, kedaruratan juga menuntut kreativitas agar visi pendidikan tidak terbenam dalam tuntutan standar formal yang tercerabut dari realitas krisis.
Ketergesa-gesaan lalu menjadi ciri dominan pembelajaran selama beberapa pekan ini.
Pandemi Covid-19 menggiring kita memasuki terra incognita yang penuh ketidakpastian. Di situ boleh jadi tuntutan formal malah memenjara imajinasi. Alih-alih mendorong mahasiswa bertanya apa yang bisa dibuat dalam situasi krisis ini, desakan penuhi kurikulum praksis malah bisa mematikan benih-benih kemanusiaan dan solidaritas dalam jiwa muda mereka. Padahal, itu yang paling diperlukan saat ini.
Tak sekali ini semua sendi kehidupan umat manusia terguncang akibat wabah. Ketika wabah pes menyerang Eropa abad XIV, rasa takut akan kematian meluluhlantakkan semua bentuk ikatan sosial. ”Warga yang satu menjauhi yang lain. Hampir tak ada yang peduli kepada tetangganya. Keluarga tak lagi saling mengunjungi…. Orangtua bahkan tega meninggalkan anaknya yang sakit.” Demikian Giovanni Boccaccio, pujangga Italia zaman itu, melukiskan.
Humanisme renaisans
Wabah semengerikan itu terpatri dalam benak mereka yang bisa selamat. Salah satunya Francesco Petrarca (1304-1374). Jiwanya terguncang. Namun, dalam kegelapan pekat itu, ia menemukan pencerahan dari tulisan-tulisan klasik tentang situasi diri dan masyarakat yang tengah krisis. Petrarca banyak belajar dari pemikir zaman Romawi kuno. Penggaliannya itu mewarnai karya-karyanya dan menjadi inspirasi bagi tradisi pendidikan humanistik yang lahir pada era renaisans.
Baca juga : Covid-19 dan Momentum Mengubah Struktur Ekonomi
Dalam tradisi ini, keterampilan profesional bukan satu-satunya yang diajarkan dalam institusi pendidikan. Ilmu tentu penting, tetapi tak berarti apa-apa jika tidak disertai keutamaan sebagai manusia (virtue) dan kemampuan mengomunikasikan kepentingan bersama secara meyakinkan (eloquence). Cita-cita tradisi ini adalah melahirkan ”vir bonus, dicendi peritus” atau ”pribadi yang berkarakter luhur serta elok dalam tutur kata” (Quintilianus).
Lewat karya-karyanya, Petrarca berhasil menghidupkan mimpi pemikir besar Cicero (106-43 SM) akan masyarakat yang warganya terlibat aktif dalam ”urusan-urusan bersama” (res publica). Catatan sejarah itu melahirkan pertanyaan tentang peran pendidikan di tengah teror wabah ini: bagaimana memaknai Francesco Petrarca pendidikan sebagai jalan membangun kemanusiaan?
Dibandingkan dengan zaman renaisans, kita kini memiliki teknologi komunikasi yang memungkinkan keterhubungan di tengah keterpisahan fisik. Namun, jika pendidikan memanfaatkannya sebatas kewajiban memenuhi tuntutan yang dirancang sebelum pandemi ini, jangan-jangan apa yang mau ditumbuhkan justru layu. Alih-alih membesarkan hati generasi muda mewujudkan solidaritas, metode ini malah bisa melahirkan cara pikir seluas kepentingan diri.
Alih-alih membesarkan hati generasi muda mewujudkan solidaritas, metode ini malah bisa melahirkan cara pikir seluas kepentingan diri.
Setelah terengah-engah menjalankan pendidikan daring beberapa pekan, mungkin pendidik dan peserta didik sama-sama perlu jeda sejenak. Alasannya sederhana. Ikhtiar seluhur pendidikan sekali pun, jika dilaksanakan terburu-buru, tidak akan menghasilkan pemahaman mendalam, apalagi jika kita sepakat bahwa pendidikan mencakup pembentukan karakter.
Kalau pendidikan daring yang diterapkan secara darurat ini diteruskan semata-mata untuk kejar kurikulum, cukup pasti aneka pemahaman dalam tugas yang dikerjakan mahasiswa menguap begitu dikumpulkan secara daring.
Baca juga : Penerimaan Peserta Didik Baru Dilakukan Total Secara Daring
Jeda bisa untuk berdialog dosen dan mahasiswa. Kesempatan ini dapat membantu kedua pihak menemukan titik pijak bersama dan menegaskan orientasi sambil bertanya bagaimana proses pembelajaran dapat diarahkan pada perwujudan solidaritas di tengah pandemi ini. Dosen-dosen serumpun ilmu juga bisa berdialog untuk menggabungkan tugas-tugas ke satu pertanyaan mendasar: bagaimana proses pembelajaran mahasiswa menjawab tantangan dampak pandemi Covid-19 ini?
Dialog ini sendiri sudah merupakan pendidikan solidaritas kemanusiaan. Ketika berdialog, partisipan saling mendengarkan tidak hanya gagasan dan kepentingan dirinya. Bukan tak mungkin dialog mengubah pembelajaran jadi keterlibatan langsung peserta didik dalam jaringan sukarelawan yang bermunculan.
Apa yang diperlukan pembelajar dalam keadaan darurat Covid-19 ini bukanlah tuntutan tugas yang kian bertumpuk. Bukan pula solidaritas dalam arti sebatas ikut bersedih. Seperti kita semua, mereka perlu harapan. Harapan bahwa pendidikan, dalam situasi apa pun, mampu secara kreatif merentangkan yang manusiawi di dalam diri setiap orang untuk tetap menjangkau sesama dalam aksi nyata.
Angga Indraswara, Dosen Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.
|