Isi Artikel |
Budaya Antre
Antre
Masyarakat Barat, seperti Amerika, Jerman, dan Australia, membiasakan masyarakat mereka antre sejak usia anak-anak. Pendidikan mengenai kecerdasan emosional tersebut lebih penting daripada pelajaran Matematika.
Oleh Deddy Mulyana, Dosen Ilmu Komunikasi UNPAD
Sungguh miris menyaksikan masyarakat berdesak-desakan saat mereka akan menerima bantuan langsung tunai dan bantuan sosial (bansos) di berbagai daerah, seperti Medan, Surabaya, Kendal, dan Pangandaran. Padahal, selama pandemi Covid-19 ini, masyarakat diminta menjaga jarak.
Mengapa hal ini terjadi? Perilaku masyarakat kita seperti ini memang sudah lama mendarah daging. Hal itu berkaitan dengan nilai-nilai budaya kita, terutama konsep waktu polikronik atau waktu-P (Edward Hall, 2000). Penganut waktu-P memandang waktu sebagai lingkaran, yang akan kembali dan kembali lagi, sebagai durasi yang tidak terputus, tanpa perubahan penting.
Artinya, penganut waktu-P lazimnya tidak tergesa-gesa, tidak terlalu terikat oleh jadwal waktu, dan tidak memilah-milahnya secara ketat. Itu sebabnya kita sering mempraktikkan jam karet dan melakukan beberapa pekerjaan dalam periode waktu yang sama.
Penganut waktu-P memandang waktu sebagai lingkaran, yang akan kembali dan kembali lagi, sebagai durasi yang tidak terputus, tanpa perubahan penting.
Menurut Hall, kebanyakan bangsa Timur, tentu termasuk Indonesia, menganut waktu-P. Kita sering tidak antre saat mau naik bus kota atau menunggu taksi, atau saat akan membeli makanan cepat saji di restoran, atau saat akan membayar belanjaan di toko. Meski tidak untuk digeneralisasikan, orang Indonesia terkadang suka menyerobot antrean ketika berada di negara asing yang berbudaya antre. Pelakunya akan langsung mendapatkan tatapan marah atau bahkan komentar pedas dari orang yang sedang antre.
Karena masyarakat Indonesia cenderung menganut waktu-P, ditambah lagi mereka berbudaya kolektivis (guyub) dan cenderung partikularis (menerapkan hukum yang lebih berpihak kepada orang penting daripada orang biasa), mereka tidak memahami arti pentingnya antre.
Perilaku antre memang merupakan salah satu wujud konsep waktu monokronik (waktu-M) yang dianut masyarakat Barat, seperti Amerika, Inggris, dan terutama Jerman. Selain itu, paham individualisme dan egalitarianisme mereka menuntut ketertiban dalam penggunaan dan penataan ruang.
Ketertiban ini lebih penting lagi di wilayah dengan kondisi iklim berlainan sepanjang tahun. Orang terbiasa berpikir dan berperilaku sesuai dengan musimnya, apakah musim panas, musim gugur, musim semi, atau musim dingin. Saat musim dingin dulu, mereka berpikir bagaimana menciptakan alat (pemanas) untuk menghangatkan ruangan dan, saat musim panas dulu, mereka berpikir bagaimana menciptakan alat (pendingin udara) untuk mendinginkannya.
Orang Asia yang menganut waktu-P di wilayah beriklim lebih nyaman sepanjang tahun, bekerja lebih santai, tidak serajin dan setertib orang Barat yang tinggal di wilayah dengan empat musim. Orang Asia juga gemar tawar-menawar ketika mereka berbelanja di pasar tradisional dan toko terbuka, sebagai cara menyenangkan untuk memanfaatkan waktu, tetapi juga menguntungkan dalam bisnis. Orang Barat yang menganut waktu-M menganggap cara ini mengesalkan dan menghamburkan waktu dan berpikir bahwa penjual berniat menipu pembeli dengan memasang harga tersembunyi.
Tak diragukan, konsep waktu bangsa Barat memengaruhi kedisiplinan mereka yang pada gilirannya berkontribusi bagi kemajuan mereka. Bisa diduga, salah satu sebab keterbelakangan bangsa kita adalah ketidakdisiplinan kita.
Tak diragukan, konsep waktu bangsa Barat mempengaruhi kedisiplinan mereka yang pada gilirannya berkontribusi bagi kemajuan mereka.
Seorang mahasiswa saya pernah mengunjungi sebuah pameran yang diselenggarakan negara Jerman di Jakarta. Ia mengamati, seorang Jerman berbicara kepada seorang anggota panitia dari Indonesia dalam bahasa Inggris, yang maknanya kira-kira, ”Mau tahu kenapa bangsamu tidak pernah maju? Lihat saja, antre masuk pameran saja lebih mirip antre tahanan perang disuruh makan.” Mendengar itu mahasiswa saya tertegun. Saya kira orang Indonesia itu akan berkomentar untuk membela diri, tetapi ternyata tidak.
Saya kira dia sama malunya dengan saya. Tanpa menjawab komentar orang Jerman tadi, dia langsung berjalan ke arah pintu masuk Hall A dan ikut mengatur jalannya arus pengunjung. Saya berpikir, andai saja bangsa kita bisa sedisiplin bangsa Jerman dan bangsa-bangsa maju lainnya, pasti kita dapat dengan cepat menyusul ketinggalan kita,” katanya (Mulyana, 2019).
Lain lagi pengamatan seorang Amerika saat pertama kali berkunjung ke Indonesia. Ia mengatakan, ”Begitu sampai di bandara, semua orang (Indonesia) bergegas ingin turun dari pesawat terbang. Saya mengerti itu. Permasalahan ruang pribadi adalah salah satu momen pertama tentang perbedaan budaya yang saya alami. Mereka tidak berusaha bersikap jahat, tetapi mereka mendorong dan terus mendorong kuat dan itu tidak mengganggu mereka. Namun, bagi kami, itu sangat mengganggu (Hayat, 2018).”
Harus kita akui, betapa sering kita menyaksikan peristiwa yang dituturkan orang Amerika itu saat pesawat kita baru mendarat di bandara. Mungkin ia akan lebih kaget lagi jika tahu penyerobotan yang dilakukan oknum masyarakat kita saat mendaftarkan diri mereka atau anggota keluarga mereka untuk menjadi caleg atau masuk sekolah favorit, dengan menyingkirkan orang lain yang lebih berhak karena prestasinya lebih baik.
Tidak mudah untuk membiasakan masyarakat kita melakukan antre sebagai salah satu wujud kedisiplinan. Masyarakat Barat, seperti Amerika, Jerman dan Australia, membiasakan masyarakat mereka untuk antre sejak usia anak-anak. Pendidikan mengenai kecerdasan emosional tersebut lebih penting daripada pelajaran Matematika.
Masyarakat Barat, seperti Amerika, Jerman, dan Australia, membiasakan masyarakat mereka untuk antre sejak usia anak-anak.
Kita tak dapat dan tak mungkin memotong satu generasi. Disiplin antre perlu dipupuk sejak anak-anak kita duduk di taman kanak-kanak. WS Rendra, penyair bergelar ”Si Burung Merak”, pernah mengatakan, kita perlu mengambil aspek-aspek budaya dari negeri mana pun, tentu termasuk antre, sepanjang itu meningkatkan martabat kita sebagai manusia. Mampukah kita melakukannya?
(DEDDY MULYANA, Pengajar Fakultas Ilmu Komunikasi Unpad)
|