Isi Artikel |
Pendidikan Masa Pandemi
Pendidikan di Masa Sulit
Dalam masa sulit Covid-19 ini, pendidikan hendaknya juga menjadi perhatian yang tinggi agar dalam jangka panjang tak memicu terjadinya defisit modal sosial.
Oleh Suyanto
Pandemi Covid-19 meluluhlantakkan banyak hal dalam kehidupan.
Dunia akan mengalami kemunduran ekonomi bersama. Meski demikian, kemunduran ekonomi yang sedang dan akan diderita pasti berbeda-beda, sesuai kekuatan fondasi ekonomi setiap negara. Kemunduran itu terjadi karena semua negara harus menangani merajalelanya Covid-19 yang sedang mewabah.
Celakanya, semua program yang harus dipakai dalam menghadapi ganasnya Covid-19 memiliki sifat yang mendestruksi pilar-pilar penting ekonomi. Lalu, bagaimana dengan pendidikan kita saat ini? Apakah ia juga ikut menderita seperti sektor ekonomi? Jawabnya, ya. Sektor ekonomi dan sektor pendidikan memiliki hubungan yang simetris, saling memengaruhi, dan saling tergantung.
Kesulitan pendidikan
Saat ini praksis pendidikan berjalan tidak normal akibat ada gangguan virus ganas korona. Sekolah dan juga perguruan tinggi ditutup dalam rangka melaksanakan program pemerintah untuk memutus mata rantai penularan Covid-19 melalui pembatasan sosial. Implikasinya, peserta didik harus belajar di rumah masing-masing. Apa yang terjadi dengan program mendadak seperti itu? Ada persoalan yang dihadapi sektor pendidikan.
Dari aspek kultural, jelas peserta didik kita sebagian besar tidak siap untuk belajar mandiri dari rumah. Ada di antara mereka yang justru menganggap belajar di rumah identik dengan libur sekolah sehingga tidak semua siswa bisa belajar di rumah dengan kesadaran dan motivasi yang tinggi.
Yang paling jelek lagi jika budaya belajar di lingkup keluarga tidak ada, maka anak-anak kita tidak mendapat dukungan yang kondusif dari para orangtua. Bahkan orangtua sebagian besar tidak siap membimbing putra-putrinya belajar di rumah. Banyak anak mulai rindu masuk sekolah karena di rumah tak terfasilitasi belajarnya dan juga mereka kehilangan ikatan psikologis dan sosial dengan teman, guru, dan komunitas sekolah.
Yang paling jelek lagi jika budaya belajar di lingkup keluarga tidak ada, maka anak-anak kita tidak mendapat dukungan yang kondusif dari para orangtua.
Hanya anak-anak dari kalangan sosial ekonomi menengah ke atas yang memiliki kemungkinan mendapat dukungan orangtua mereka dengan memadai dan mungkin bahkan hampir sempurna. Dari kalangan kelompok ekonomi berada, anak-anak bisa mendapatkan dukungan orangtua berupa akses untuk belajar online (daring) tanpa batas, di samping orangtua mereka memang telah membudayakan kegiatan belajar di tingkat keluarga.
Dari kalangan ini anak-anak bisa akses ke berbagai platform pembelajaran daring yang berbayar sekalipun. Hal ini terjadi terutama di kota-kota besar. Di kota-kota kecil, ada peluang anak-anak bisa akses ke online, tetapi tidak sebebas anak-anak di kota besar dari kelompok orang yang berada. Banyak anak dan orangtua memiliki ponsel pintar yang bisa digunakan untuk akses ke situs-situs yang menawarkan program belajar daring, terutama yang tak berbayar, seperti rumah belajar milik Kemendikbud.
Meskipun demikian, mereka sangat terbatas kemampuannya untuk akses karena rendahnya daya beli untuk paket data internet. Oleh karena itu, untuk mengatasi hal ini perlu ada bantuan kepada siswa-siswa yang tidak bisa beli paket data.
Oleh karena itu, untuk mengatasi hal ini perlu ada bantuan kepada siswa-siswa yang tidak bisa beli paket data.
Pemerintah telah mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) keuangan dan stimulus untuk menghadapi Covid-19. Sejumlah Rp 405,1 triliun telah dianggarkan dengan alokasi Rp 150 triliun untuk pemulihan ekonomi, Rp 75 triliun untuk kesehatan (melawan Covid-19), Rp 110 triliun jaring pengaman sosial, dan Rp 70,1 triliun insentif perpajakan.
Dari perppu itu nyata benar bahwa sektor pendidikan belum dianggarkan untuk subsidinya. Oleh karena itu, Kemendikbud perlu memindahkan dana-dana yang dialokasikan untuk program nonprioritas menjadi program subsidi belajar daring, baik untuk paket data maupun untuk perangkat keras yang diperlukan siswa dari keluarga tidak mampu.
Demikian pula dana UN yang dibatalkan, juga bisa digunakan untuk membantu anak-anak dari keluarga tidak mampu agar bisa ikut belajar secara daring atau paling tidak belajar melalui grup WA. Mengapa hal ini harus dilakukan? Karena kita tidak tahu kapan Covid-19 bisa ditaklukkan secara total sehingga anak-anak bisa belajar kembali secara normal di sekolah.
Modal sosial
Bisakah kita mengabaikan pendidikan dalam masa sulit ini? Tentu tidak. Jika pendidikan di masa sulit ini tidak juga diberdayakan seperti program pemulihan ekonomi, akan muncul benih-benih disparitas dalam arti kualitas dan kuantitas. Disparitas yang paling dirasakan semakin melebar nanti adalah Jawa-luar Jawa. Kemudian akan disusul bentuk-bentuk lain disparitas, seperti desa-kota, kota besar-kota kecil, kabupaten-kota.
Bahkan tidak tertutup kemungkinan akan muncul disparitas berbasis jender. Dalam keadaan ekonomi yang sulit, sehingga sumber daya yang dimiliki keluarga sangat minim, keputusan untuk tidak menyekolahkan akan jatuh pada anak perempuan.
Bisakah kita mengabaikan pendidikan dalam masa sulit ini? Tentu tidak.
Anak laki-laki akan menjadi prioritas untuk mendapatkan pendidikan. Kalau hal ini semua terjadi, dalam jangka panjang akan terjadi persoalan dalam pembentukan modal sosial di masyarakat. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, modal sosial yang tinggi di masyarakat sangat penting. Tanpa ada modal sosial memadai, program-program yang dilakukan pemerintah akan menghadapi fenomena resistensi.
Apa sebenarnya modal sosial? Modal sosial menurut Thomas Sander (2015) merupakan nilai-nilai kolektif yang dipahami bersama oleh semua jalinan sosial dalam masyarakat dan kecenderungan-kecenderungan yang muncul darinya untuk bertindak satu sama lain atas dasar norma resiprositas.
Modal sosial pada akhirnya sangat bertumpu pada sebuah kebermanfaatan yang bersumber dari kepercayaan, prinsip resiprositas, informasi, dan kerja sama dari jaringan-jaringan sosial yang ada. Modal sosial mampu menciptakan nilai-nilai yang dipegang teguh secara bersama dalam masyarakat.
Jika pendidikan kita penuh dengan disparitas, maka sulit untuk menumbuhkan modal sosial dalam masyarakat. Bahkan tidak tertutup kemungkinan masyarakat kita akan menderita defisit modal sosial. Ini sangat berbahaya bagi kehidupan berbangsa dan bernegara.
Kalau kita mengalami defisit modal finansial, pemerintah bisa mencari utangan ke lembaga keuangan dunia. Sebaliknya, jika kita mengalami defisit modal sosial, kita tak bisa meminjam ke negara lain untuk menutupinya. Oleh karena itu, dalam masa sulit Covid-19 ini, pendidikan hendaknya juga menjadi perhatian yang tinggi agar dalam jangka panjang tak memicu terjadinya defisit modal sosial.
(Suyanto Guru Besar UNY; Dirjen Mandikdasmen Kemdiknas (2005-2013); Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (2019-2023))
|