Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Celah Pelonggaran Moneter Terbuka
Tanggal 21 Juli 2016
Surat Kabar Bisnis Indonesia
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Badan Anggaran
Isi Artikel   JAKARTA — Arus dana masuk ke pasar yang semakin tinggi dan rendahnya tingkat inflasi di tengah masih melambatnya kinerja perekonomian menjadi momentum bagi Bank Indonesia untuk mengurangi dosis kebijakan moneternya. Mayoritas ekonom yang berhasil disurvei Bisnis memproyeksi akan ada pelonggaran moneter lanjutan pada bulan ini. Namun, ada pula yang memprediksi BI Rate akan tetap bertengger di level 6,5%. (lihat tabel). Ekonom PT Bank Mandiri Tbk. Andry Asmoro mengestimasi akan ada pengurangan dosis moneter hingga 25 basis poin menjadi 6,25% karena ada dukungan dari seluruh indikator makro ekonomi. “Inflasi rendah dan outlook-nya juga rendah, kurs menguat, flows kencang, CAD aman, growth masih jelek,” ujarnya di Jakarta, Rabu (20/7). Seperti diketahui, inflasi pada Juni tercatat hanya 0,66% (month-to-month/mtm) dan 3,45% (year-on-year/yoy). Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan tingkat inflasi menjelang Lebaran beberapa tahun sebelumnya yang jauh lebih tinggi dan hampir menyentuh 1%. Dalam APBN Perubahan 2016, pemerintah juga merevisi ke bawah asumsi inflasi menjadi 4% dari asumsi dalam APBN sebesar 4,7%. Bank Indonesia meyakini inflasi 4% pada tahun ini masih bisa tercapai dan sesuai dengan sasaran inflasi 4%±1%. Terkait dengan capital inflows, hingga 15 Juli 2016 mencapai sebesar Rp110 triliun. Andry mengatakan potensi capital inflows dari kebijakan pengampunan pajak atau tax amnesty juga mendukung momentum pelonggaran moneter bulan ini. BI juga melaporkan rata-rata nilai tukar rupiah terhadap dolar AS sejak awal tahun hingga 15 Juli 2016 sebesar Rp13.403 per dolar AS. Sementara itu, indeks harga saham gabungan ditutup di level 5.106 hingga akhir Mei 2016 atau naik 423 poin dari Desember 2015. Pasar surat berharga negara juga membaik dengan imbal hasil turun 7,45% (Juni 2016) dari 8,75% pada akhir tahun lalu. Jika bank sentral melakukan pelonggaran BI Rate pada bulan ini, ruang pelonggaran itu sudah tidak ada lagi ke depan. Apalagi, BI akan menggunakan BI 7-day (Reverse) Repo Rate sebagai acuan moneter yang saat ini berada di level 5,25%. “Saya rasa ini udah yang terakhir ya. spread BI Rate dan inflasinya sudah mepet,” katanya. KEBUTUHAN LIKUIDITAS Direktur Penelitian Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal mengatakan suku bunga Indonesia saat ini tertinggi di Asia bersama dengan India. Namun, Negeri Bollywood itu memiliki tingkat inflasi yang jauh lebih tinggi yakni 5,7%. Menurut dia, inflasi yang cenderung terkendali di dalam negeri berpeluang untuk menjadi ruang penurunan suku bunga. “Memang BI Rate sudah turun empat kali, tetapi respons BI kan baru 6 bulan terakhir. Artinya itu sudah lambat, ketika 2015 negara-negara sudah pada pangkas suku bunga, kita belum,” ucapnya. Ekonom Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih menilai setelah Lebaran penggerak ekonomi sudah bukan lagi dari rumah tangga melainkan belanja pemerintah dan swasta. Untuk itulah, sambungnya, ada kebutuhan likuditas. Menurutnya, ruang pemangkasan hingga 50 basis poin bisa dilakukan BI sebelum memakai benchmark rate yang baru mulai bulan depan. “Apalagi ditambah pelonggaran makro prudensial, likuditas jadi bagus. Apalagi, jika tax amnesty berhasil kan dana uang tebusan itu kesedot ke rekening pemerintah yang ujung-ujungnya ke BI kalau enggak langsung spending,” jelasnya. Lana melanjutkan, saat ini kondisi global, baik dari efek Brexit maupun pengetatan moneter The Fed juga aman sehingga pasar pun kondusif. Menurutnya, kondisi ini bukan semata-mata terkait tax amnesty karena keberhasilannya baru teruji pada akhir September nanti. Sementara itu, Ekonom DBS Bank Gundy Cahyadi memprediksi akan ada penahanan dosis BI Rate. Sejauh ini belum ada peningkatan yang signifikan pada pertumbuhan kredit karena terlambatnya penyesuaian rate perbankan meskipun suku bunga acuan BI sudah turun. Menurutnya, transmisi kebijakan moneter akan lebih efektif jika bank sentral mulai fokus di sisa tahun ini degan mengunakan BI 7-day (Reverse) Repo Rate. Apalagi, ada permasalahan demand masyarakat yang masih lemah. “Permintaan domestik telah dinyatakan naik dari tahun lalu, masih jauh dari level kuat. Tidak ada bantuan dari ekspor. Penyerapan anggaran yang lambat juga membuat beberapa sektor swasta mempertahankan sikap wait and see sebelum terjun untuk membuat investasi baru,” jelasnya. Sementara itu, pengusaha meyakini bank sentral akan memangkas 25 basis poin lagi suku bunga acuannya. Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengatakan transmisi ke bijakan moneter kedepan akan lebih mudah terlebih BI akan menerapkan 7-day repo rate menjadi basis acuan. “Justru dengan itu akan merefleksikan su ku bunga yang bisa merepresentasikan kondisi pasarnya. Makanya akan bagus,” katanya.
  Kembali ke sebelumnya