Isi Artikel |
JAKARTA - Tren pelemahan harga komoditas dan proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia yang stagnan pada posisi 3,1 persen turut meredupkan perekonomian Indonesia. "Pertumbuhan tak akan beda jauh dengan tahun lalu sebesar 4,9 persen," kata Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (Core), Hendri Saparini, kemarin.
Menurut Hendri, peluang ekonomi Indonesia tak terbawa perlambatan ekonomi global kecil. Sebab, terjadi pergeseran tren bisnis komoditas ke industri dan pembangunan infrastruktur besar-besaran memakan biaya banyak serta waktu panjang. Pemerintah, kata dia, seharusnya mengkalkulasi penerimaan lebih cermat sejak awal agar bujet tak berubah signifikan di tengah jalan. "Ini mengganggu kinerja kementerian dan menambah sentimen buruk," katanya.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi Sukamdani menilai hal tersebut sebagai dampak perhitungan yang kurang tepat. Kebijakan cenderung dibuat asal-asalan dengan mengatasnamakan penyelamatan fiskal. Misalnya, larangan rapat di hotel. "Perhotelan kan banyak mempekerjakan orang," dia mengeluh.
Direktur Peneliti Core, Mohammad Faisal, mengatakan perekonomian semakin berat lantaran daya beli masyarakat juga melemah. Indeks konsumsi kuartal I 2016 hanya 4,94 persen, lebih buruk dibanding pada periode yang sama tahun sebelumnya sebesar 4,96 persen. Padahal, 60 persen pertumbuhan ekonomi ditopang oleh konsumsi masyarakat.
Pemerintah sebenarnya telah mengeluarkan berbagai kebijakan untuk mengerek konsumsi masyarakat. Salah satunya, meningkatkan subsidi bunga kredit usaha rakyat (KUR) hingga Rp 100 triliun.
Deputi Bidang Koordinasi Sektor Keuangan dan Perbankan Kementerian Koordinator Perekonomian, Bobby Hamzar Rafinus, mengatakan minat masyarakat membuka usaha sebenarnya cukup besar. Hal ini terlihat dari realisasi penyerapan KUR sebesar Rp 54,8 triliun hingga Juni 2016.
Selain konsumsi, Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menyebutkan turunnya ekspor dan investasi membuat ekonomi stagnan. Praktis, pertumbuhan hanya ditopang oleh investasi pemerintah. Karena itu, kata Hendri, pemerintah mengoreksi pertumbuhan ekonomi dari 5,3 menjadi 5,1 persen agar lebih realistis. ANDI IBNU
|