Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS –Para pekerja rumah tangga di Indonesia masih belum dilindungi negara karena keberadaan mereka belum diakui secara formal sebagai pekerja. Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah didesak untuk segera membahas dan mengesahkan Rancangan Undang-undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang sudah 16 tahun di DPR. Kehadiran UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PPRT) penting untuk melindungi para PRT, yang sebagian besar adalah perempuan. Mereka berhak mendapatkan upah yang layak, jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan, serta hak libur atau cuti. ”RUU PPRT masuk dalam Prolegnas 2020. Kami berharap DPR dan pemerintah segera mewujudkannya. UU itu diharapkan 4,2 juta PRT di Indonesia,” ujar Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini, di Jakarta, Minggu (16/2/2020). Minggu lalu, Jala PRT bersama lebih 500 PRT di Jabodetabek menggelar Peringatan Hari PRT Nasional ke-13 yang jatuh setiap tanggal 15 Februari, dengan menggelar Dialog Sosial Jamsostek PRT, di Wisma PKBI Jakarta. Dialog dengan BPJS Ketenagakerjaan dihadiri perwakilan dari tiga serikat PRT (SPRT) yakni SPRT Sapu Lidi, SPRT Tangsel, dan organisasi PRT Panongan. Hari PRT diperingati para PRT setiap 15 Februari sejak tahun 2007, untuk memperingati peristiwa meninggalnya Sunarsih, PRT anak yang berusia 14 tahun yang dianiaya majikannya di Surabaya pada tahun 2001. Adapun Peringatan Hari Pekerja Rumah Tangga (PRT) Internasional yang diperingati setiap 16 Juni. Menurut Lita, hingga kini dari 4,2 juta PRT (berdasarkan survei ILO dan Universitas Indonesia 2015) baru 758 PRT yang terdaftar di Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan dengan tiga program utama yakni JKK (Jaminan Kecelakaan Kerja), JK (Jaminan Kematian), dan JHT (Jaminan Hari Tua) dengan membayar Rp 36.800 per bulan. “Dari 758 PRT peserta BPJS Ketenagakerjaan sebagian besar membayar sendiri, 75 persen PRT masih membayar sendiri, hanya sekitar 25 persen dibayar oleh majikan,” kata Lita. Sulitnya PRT mengakses BPJS Ketenagakerjaan karena sampai sekarang tidak ada satu pun UU yang mengakui PRT sebagai pekerja. Tak hanya BPJS Ketenagakerjaan, BPJS Kesehatan pun masih jauh dari jangkauan para PRT. Hampir setiap tahun terhadap 400 kasus PRT. “Hal ini sangat ironis dengan program pembangunan di Indonesia dan program Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB/SDGs) yang memiliki prinsip tidak seorangpun ditinggalkan dalam pembangunan. Realitanya, saat ini 4,2 juta PRT ditinggalkan dalam pembangunan dan dimarginallkan. Tujuan 8 TPB soal kerja layak, tapi tujuan ini tidak menyentuh PRT,” katanya. Padahal, selama ini PRT adalah kaum pekerja yang bekerja di belakang layar, yang menjadikan aktivitas publik berjalan karena merekalah tumpuan kerja domestik yang bekerja di sektor publik. Hampir setiap tahun terhadap 400 kasus PRT, mulai dari fisik sampai psikis. Kebanyakan tidak dibayar upahnya, atau upah dipotong karena sakit, tidak mendapat tunjangan hari raya. Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT), foto bersama usai RDPU dengan Baleg DPR, Senin (2/12/2019) di Ruang Rapat Baleg DPR di Kompleks Parlemen Senayan. Perjuangan untuk dapat pengakuan Leni Suryani, Ketua SPRT Sapu Lidi menegaskan, UU PPRT sangat penting, agar PRT terlindungi. “Selama ini tidak ada perlindungan. Kami belum diakui sebagai pekerja, dipandang sebelah mata. Masih banyak PRT bekerja pada situasi tidak layak, mendapar upah yang rendah sekitar Rp 500.000- Rp 1.000.000. Belum lagi jam kerja yang tidak beraturan dan tidak mempunyai libur mingguan serta tidak mendapatkan jaminan sosial,” papar Leni. Hal senada juga disampaikan Winaningsih Kuswadi, Bidang Humas SPRT Sapu Lidi dan Sargini dari SPRT Tunas Mulia DIY. Perjuangan untuk mendapat perlindungan terus dilakukan para PRT, agar mendapat pengakuan atas status pekerjaan mereka. Anggota Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas), Siti Aminah Tardi, menegaskan Komnas Perempuan mendukung pembahasan RUU PPRT segera dilakukan DPR dan Pemerintah, mengingat PRT membutuhkan payung hukum untuk pengakuan sebagai pekerja dengan hak-hak yg melekat didalamnya dan perlindungan dari setiap bentuk kekerasan.
|