Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS – Hari Pekerja Rumah Tangga Internasional 2020 diharapkan menjadi momen bagi Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah untuk memenuhi harapan pekerja rumah tangga mendapatkan perlindungan dan pengakuan dari negara. Karena itu, DPR diharapkan segera merampungkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga tersebut, sehingga pekerja rumah tangga yang jumlahnya lebih 4,2 juta orang bisa mendapatkan perlindungan.
Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT) mendesak disahkan, karena sudah mandek selama 16 tahun di DPR. Harapan tersebut terungkap dalam Diskusi dan Peringatan Hari PRT Internasional 2020, yang digelar Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Selasa (16/6/2020).
“Undang Undang PPRT tidak bisa ditunda lagi. Undang-Undang PPRT sangat penting, untuk mewujudkan keadilan sosial. Sebagai wujud dan implementasi dari Pancasila, maka PRT wajib mendapatkan perlakuan yang layak,” ujar Giwo Rubianto, Ketua Umum Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Menurut Giwo, RUU PPRT mendesak disahkan, karena dengan adanya Undang-undang tersebut pekerja rumah tangga mendapatkan pengakuan, perlindungan, kesejahteraan sebagai pekerja dan warga negara Indonesia sesuai yang diamanatkan Pancasila Sila kelima yakni Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Komisioner Komnas Perempuan Theresia Iswarini dalam pengantar diskusi menegaskan, pengesahan UU PPRT merupakan bentuk kehadiran negara dalam perlindungan PRT maupun pemberi kerja.
Sudah 16 tahun PRT dan organisasi masyarakat sipil berjuang untuk pengesahan UU Perlindungan PRT
“Sudah 16 tahun PRT dan organisasi masyarakat sipil berjuang untuk pengesahan UU Perlindungan PRT. Data menunjukan bahwa dalam jangka waktu tersebut, situasi PRT masih tetap sulit dan negosiasi antara PRT dan Pemberi Kerja pun masih terus mengalami tantangan,” kata Theresia.
Oleh karena itu, pada Hari PRT Internasional, Komnas Perempuan bersama JALA-PRT mendorong pemerintah dan semua pihak bergerak bersama, untuk memastikan adanya perlindungan tersebut termasuk perlindungan dalam ruang-ruang negosiasi antara PRT dan pemberi kerja.
Suasana Peringatan 90 Tahun Kongres Perempuan sekaligus konferensi perempuan pekerja, di Gedung Lembaga Bantuan Hukum Jakarta, Minggu (23/12/2018). Acara yang mengangkat tema “Derap Perempuan; Membangun Bangsa dan Melawan Penyingkiran, digelar Federasi Buruh Lintas Pabrik (FBLP), federasi serikat buruh anggota Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), bersama dengan Perempuan Mahardhika dan Radio Buruh Perempuan Marsinah FM. Tampak Lita Anggraini, Koordinator Nasional JALA PRT sedang menyampaikan materi.
Diskusi yang dipandu Mike Verawati, Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI) juga menampilkan Willy Aditya Pamenan, Ketua Panja RUU PPRT Badan Legislasi DPR; Lena Maryana Mukti, Koordinator Maju Perempuan Indonesia (MPI); dan Lita Anggraini, Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT).
Willy menyatakan setelah DPR periode 2019-2024 menyetujui RUU tersebut masuk dalam program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2020, hingga saat ini proses legislasi atas RUU tersebut terus berlanjut. Bahkan, rencananya, hari ini, Rabu (17/6/2020) Baleg DPR akan menggelar rapat dengan pendapat umum (RDPU) terakhir terkait RUU PPRT setelah melakukan beberapa kali RDPU.
“RDPU tersebut sebelum rapat pleno pengambilan keputusan dilanjutkan tahap kedua. Jadi masih ada tahapan pleno Baleg untuk mengambil keputusan dari fraksi-fraksi. Setelah itu masuk tahap dua, penyusunan daftar inventaris masalah dari pemerintah,” ujar Willy yang mengakui proses RUU PPRT sangat panjang karena pertarungan politik terkait RUU tersebut tidak sesederhana yang dipikirkan banyak orang.
Suasana Aksi Mencuci Pakaian Bersama yang dilakukan sejumlah PRT yang tergabung dalam JALA PRT di Kantor Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi di Jakarta, Kamis (15/2).
Lena menegaskan, UU PPRT mendesak, karena posisi PRT memiliki nilai strategis dalam kehidupan masyarakat Indonesia, yakni sebagai pilar rumah tangga, pengganti keluarga, dan penopang ekonomi. “Keengganan memformalkan hubungan PRT dan majikan karena kekhawatiran mengubah pola hubungan kekeluargaan mesti dijawab,” ujarnya.
Selama ini, PRT memang dipandang tidak seperti pekerja pada umumnya karena pola hubungan pekerja dan pemberi kerja sangat khas. PRT dianggap sebagai bagian keluarga, yang akhirnya bermplikasi pada upahnya yang tergantung kemampuan pemberi kerja.
Di sisi lain, hingga kini masyarakat juga masih belum familiar dengan penyebutan PRT, bahkan umumnya masih menyebutnya sebagai “pembantu”. Hal ini dipengaruhi, oleh kultur feodal di masyarakat yang masih kental. “Perubahan penyebutan menjadi pekerja rumah tangga bagian dari mengubah kultur/pola pikir,” katanya.
Adapun, Lita berharap Peringatan Hari PRT benar-benar menjadi momentum bagi DPR dan Pemerintah untuk mewujudkan UU PPRT, sebagai bentuk kehadiran negara bagi PRT.
|