Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS — Rencana pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mesti memperhatikan pekerja rumahan dan pekerja rumah tangga. Jumlahnya yang relatif banyak dan sebagian terkait dengan kinerja industri besar membuat perlindungan pada dua kelompok pekerja tersebut tidak bisa diabaikan.
Kita ingin undang-undang (ketenagakerjaan) memperluas cakupan perlindungannya pada buruh rentan yang selama ini tidak tercakup pada perlindungan UU Ketenagakerjaan. Utamanya, pekerja rumahan dan pekerja rumah tangga.
Diskusi tersebut dihadiri sejumlah peneliti yang berfokus pada riset mengenai sumber daya manusia dan ketenagakerjaan. Selain Wahyu, hadir pula peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Andy Ahmad Zaelany, selaku pembicara.
Wahyu mengatakan, berdasarkan data Organisasi Buruh Dunia, jumlah pekerja rumah tangga sekitar 10 juta orang. Sementara pekerja rumahan diperkirakan 2,5 juta orang.
Wahyu mengatakan, pada dasarnya pekerja rumahan merupakan penopang industri di Indonesia. Sebagian industri yang ditopang pekerja rumahan itu adalah sejumlah merek terkenal produk garmen dari luar negeri. Selain itu juga merek-merek peralatan olahraga.
Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo (tengah) dalam diskusi bertajuk “Gerakan Pekerja Perempuan: Tantangan Kerja Layak dan Perlindungan Sosial” di Jakarta, Selasa (23/7/2019).
Kalau (menurut) saya, urgensinya revisi (UU Ketenagakerjaan) ini dalam kerangka perlindungan paripurna kepada pekerja.
Ia menambahkan, dengan dicantumkannya pasal terkait keberadaan dan hak-hak pekerja rumah tangga dan pekerja rumahan, secara otomatis terjadi pula proses pengakuan terhadap kedua jenis pekerja itu. Menurut Wahyu, ketika ada pengakuan secara legal, pekerja rumahan dan pekerja rumah tangga juga akan tercakup dalam sistem jaminan sosial universal yang sudah dianut Indonesia. ”Selama ini belum ada (pengakuan),” kata Wahyu.
Sementara itu, Andy yang baru saja melakukan riset mengenai perempuan pekerja rumahan dan buruh gendong di Yogyakarta mengatakan, Indonesia mesti hati-hati dalam memperlakukan para pekerjanya. Dalam hal ini pekerja perempuan sehubungan dengan konsep kerja layak dan perlindungan sosial.
Di dalamnya termasuk mengenai upah, lama kerja, keberlanjutan kerja, dan proteksi sosial. Andy menambahkan, dalam kaitannya dengan rencana revisi UU Ketenagakerjaan, hal itu membawa konsekuensi mesti diperhatikannya pula sejumlah hal mendasar lain terkait dengan pekerja perempuan.
Misalnya saja, imbuh Andy, peraturan yang dijamin secara hukum terkait dengan hak cuti selama menstruasi. Atau hak untuk cuti dalam waktu ideal memberikan asupan air susu ibu setelah melahirkan yang lamanya sekitar dua tahun.
Jika dihubungkan dengan konteks keberadaan perempuan pekerja rumahan dan perempuan yang bekerja sebagai buruh gendong, sebagai bagian dari pekerja informal, Andy menambahkan, cakupan revisi UU Ketenagakerjaan seharusnya memang menjadi lebih luas lagi. Pada saat ini, imbuh Andy, gelombang pekerja perempuan di sektor informal relatif deras dan belum tercakup perlindungan hukum.
Dari kiri, Direktur Eksekutif Perkumpulan Prakarsa Ah Maftuchan, Senior Officer INFID Hamong Santoso, Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia Dian Kartikasari, Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, dan pengamat kebijakan publik, Mickael Bobby Hoelman. Mereka bersepakat bahwa kemiskinan tidak dapat hanya diukur dari angka. Apabila kemiskinan menurun tetapi ketimpangan masih tinggi, kesejahteraan pun tidak akan tercapai. Hal ini disampaikan di Jakarta beberapa waktu lalu.
Kerentanan global
Pada bagian lain diskusi tersebut, Wahyu membahas pula tentang kerentanan buruh migran terkait situasi global. Misalnya kebangkitan gerakan populisme kanan yang anti-migran.
Sementara di sisi lain, ada sebagian buruh migran yang diketahui pernah berjanji setia kepada kelompok ISIS. ’(Jumlahnya) Ada 50 orang. Ini menjadi catatan penting’.
Menurut Wahyu, hal tersebut mesti segera direspons. Ia menambahkan, jika tidak segera direspons, Indonesia akan terlambat dalam menerima konsekuensi selanjutnya.
Sejauh ini, mengenai buruh migran, Indonesia telah memiliki perangkat perundang-undangan yang mengaturnya, yakni UU Nomor 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Adapun, menurut Andy, gerakan sosial pekerja perempuan penting untuk memperhatikan keberadaan aktor mediasi, seperti aktivis lembaga nonpemerintah. Berdasarkan temuan Andy, upaya memperjuangkan nasib pekerja di kelompok tersebut dilakukan dengan cara-cara semi-formal dan belum menyasar ranah privat.
|