Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS — Ribuan perempuan dan aktivis pembela hak asasi manusia mendesak pemerintah dan DPR membahas serta mengesahkan sejumlah rancangan undang-undang yang melindungi perempuan. Beberapa RUU tersebut adalah RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, dan RUU Masyarakat Adat. Pemerintah juga diminta segera meratifikasi Konvensi ILO 190 tentang penghapusan kekerasan dan pelecehan di dunia kerja.
Tuntutan ini menguat dalam Peringatan Hari Perempuan Internasional 2020, Minggu (8/3/2020), di Jakarta. Ribuan peserta aksi damai yang tergabung dalam Gerak Perempuan turun ke jalan memperingati Hari Perempuan Internasional 2020. Mereka berjalan kaki di sepanjang Jalan MH Thamrin dari depan Kantor Badan Pengawas Pemilihan Umum menuju kawasan Monumen Nasional.
”Perempuan ditundukkan pikirannya, dihancurkan tubuh dan martabat kemanusiaannya, serta dijauhkan dari akses keadilan sehingga tidak memiliki ruang aman, mulai dari dalam rumah, dunia pendidikan, dunia kerja, ruang publik, hingga dunia maya,” kata Mutiara Ika dari Perempuan Mahardhika sekaligus perwakilan Gerak Perempuan.
Selain meminta pengesahan sejumlah RUU, mereka juga menuntut negara mencabut semua produk perundang-undangan yang diskriminatif, tidak berkeadilan jender, dan melanggar HAM. Mereka meminta pemerintah dan DPR membatalkan proses legislasi RUU Cipta Kerja (omnibus law) dan RUU Ketahanan Keluarga yang diyakini akan mengancam kehidupan perempuan di Tanah Air.
Kondisi perempuan yang masih jauh dari aman tergambar dari Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas
Perempuan) 2020. Menurut Komnas Perempuan, selama 12 tahun, jumlah laporan kasus kekerasan terhadap perempuan meningkat hampir delapan kali lipat.
”Kehadiran UU yang melindungi perempuan dari kekerasan seksual sangat mendesak karena ada kekosongan hukum. Hal ini tidak hanya menyangkut aspek pidana bagi pelaku, tetapi juga memastikan kehadiran negara dalam memenuhi hak korban atas keadilan, kebenaran, dan pemulihan,” kata Ketua Dewan Pendiri Institut Perempuan Valentina Sagala.
Aksi di Amerika Latin
Selain di Jakarta, peringatan Hari Perempuan Internasional juga digelar di kota-kota besar Amerika Latin, mulai dari Buenos Aires di Argentina hingga Mexico City di Meksiko. Perempuan turun ke jalan menyuarakan hak-hak mereka.
Di Meksiko, aksi pawai didorong kemarahan atas kasus pembunuhan perempuan di negara tersebut yang jumlahnya meningkat lebih dari dua kali lipat dalam lima tahun terakhir. ”Saya berpawai untuk setiap perempuan di negara ini, untuk yang mati dan yang masih hidup, untuk para korban kekerasan,” ujar Carmen Rojas (52), di Mexico City.
Di Chile, para senator menyetujui RUU yang ditujukan untuk memberikan suara yang setara bagi perempuan dalam menyusun konstitusi baru. Selain itu, Presiden Chile Sebastian Pinera juga memperkuat hukuman bagi pembunuh perempuan. Sementara itu, Argentina berencana membentuk Kementerian Perempuan. (SON/LOK/Reuters)
|