Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS — Meskipun banyak masalah menimpa pekerja migran, terutama perempuan, di banyak negara, aspirasi mereka kurang disuarakan di Dewan Perwakilan Rakyat. Perempuan anggota legislatif dari Daerah Pemilihan DKI Jakarta II, yang termasuk mewakili pemilih dari luar negeri, pun jarang menyuarakan kepentingan perempuan pekerja migran dan pekerja rumah tangga di Jakarta.
”Mereka yang selama ini memperjuangkan aspirasi buruh migran bukan dari wakil rakyat dari Dapil DKI Jakarta II tetapi nyaring menyuarakan kepentingan mereka adalah wakil dari daerah asal pekerja migran, seperti Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, Banyuwangi, dan daerah kantong pekerja migran,” tutur Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, di Jakarta, Jumat (1/3/2019), di Jakarta.
Karena itu, amat penting mempertanyakan komitmen para calon anggota legislatif perempuan terutama dari dapil luar negeri yang menjadi kantong pekerja migran perempuan. ”Dalam konteks perlindungan hak pekerja migran, seharusnya pemilihan umum menghasilkan pemimpin dan legislatif yang mengerti persoalan yang dihadapi pekerja migran,” ujarnya.
Menurut Wahyu, di Dapil DKI Jakarta II terdapat 16 partai politik dengan jumlah 105 calon anggota legislatif memperebutkan 7 kursi dengan persentase jender 49 caleg perempuan (47 persen) dan 56 caleg laki-laki (53 persen).
Namun, menurut sistem informasi di Komisi Pemilihan Umum, dari 105 caleg di Dapil DKI II, hanya 5 caleg eksplisit menyebut kepentingan buruh migran dalam motivasi dan visi-misinya. ”Kebanyakan caleg menonjolkan isu kesejahteraan secara umum, tidak spesifik membahas isu lebih strategis,” katanya.
Diskusi yang membahas perlindungan perempuan buruh migran, pekerja rumah tangga, dan soal perempuan lain juga menghadirkan Direktur Eksekutif Kapal Perempuan Misiyah dan Farida Indriani, Koordinator Penelitian dan Pengembangan Koalisi Perempuan Indonesia. Misiyah mengungkapkan, akses perempuan dalam proses politik untuk mengakomodasi isu-isu perempuan dan Farida memetakan masalah perempuan.
Misiyah menegaskan, moralitas caleg menjadi ukuran dalam Pemilu 2019 dan isu perempuan menjadi perhatian. Karena itu, agenda perempuan harus disuarakan. Untuk menjadi pemimpin, terutama perempuan di legislatif, setidaknya perlu ada perspektif jender, pluralisme, inklusif, serta memiliki keberpihakan kepada kelompok marjinal, perempuan, dan minoritas.
”Memiliki perspektif jender, tapi tidak punya keberpihakan, maka tidak akan berjalan programnya,” ungkapnya. Selain itu, perlu ada keberanian mengambil risiko dan memiliki komitmen untuk memperjuangkan aspirasi perempuan.
Memiliki perspektif jender, tapi tidak punya keberpihakan, maka tidak akan berjalan programnya.
Farida menambahkan, perlu pemetaan perempuan di dapil terkait, terutama masalah perempuan buruh migran. Contohnya, ada banyak buruh migran perempuan di luar negeri menikah tanpa dokumen resmi. ”Pernikahan mereka banyak yang tak diregister di Indonesia dan di luar negeri sehingga tidak mendapat kewarganegaraan,” ujarnya.
Menyambut Hari Perempuan Internasional 8 Maret mendatang dan Pemilu 2019, Migrant Care, Institut Kapal Perempuan, dan KPI mewakili koalisi masyarakat sipil penggerak isu perempuan menyelenggarakan acara ”Perempuan Bersuara: Dialog Calon Legislatif (Caleg) Perempuan Merespons Agenda Perlindungan Perempuan”, di Jakarta.
Dialog itu akan mengetengahkan tiga isu utama perlindungan perempuan, yaitu perlindungan dan jaminan sosial, kekerasan seksual terhadap perempuan, dan perlindungan perempuan pekerja migran yang direspons oleh lima caleg perempuan dari berbagai partai politik peserta Pemilu 2019; Christina Aryani (Partai Golkar), Dian Islamiati Fatwa (PAN), Nadhila Chairannisa (PKN), Nuraini (PDI-P), Shanti Ramchand Shamdasani (Partai Nasdem), dan Sri Saras Mundisari (PPP). Adapun panelis dari berbagai unsur.
|