Isi Artikel |
Basis Evaluasi Dipertanyakan Sebanyak 16 RUU diputuskan ditarik dari Prolegnas 2020. Tidak sedikit di antaranya RUU yang dinilai penting. Sementara RUU yang memantik protes publik dipertahankan. JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah, DPR, dan DPD sepakat menarik 16 rancangan undang-undang dari Program Legislasi Nasional Tahun 2020. Padahal, beberapa di antara RUU itu dinilai penting untuk segera disahkan. Pengurangan target Prolegnas justru disertai dengan penambahan dan penggantian sejumlah RUU sehingga membuat basis pijakan evaluasi Prolegnas dipertanyakan. Kesepakatan mengevaluasi Program Legislasi Nasional (Prolegnas) itu diputuskan dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR dengan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly serta Panitia Perancang Undang-Undang DPD yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Kamis (2/7/2020). Sebelum dievaluasi, total ada 50RUUyang masuk dalam Prolegnas 2020. Sekalipun disepakati pengurangan 16 RUU di antaranya, rapat memutuskan menambah tiga RUU untuk masuk dalam Prolegnas 2020. Kemudian, dua RUU di Prolegnas diputuskan untuk diganti dengan RUU lain. Namun, baik pimpinan Baleg DPR maupun Yasonna Laoly tidak mengelaborasi alasan mereka memasukkan RUU baru dan mengganti sejumlah RUU
dalam Prolegnas 2020. Adapun terkait pengurangan RUU dalam Prolegnas, Yasonna mengapresiasi hal tersebut sebagai bagian dari perbaikan. Sebab, selama ini target penyelesaian RUU dalam Prolegnas tak pernah tercapai. Sebelumnya, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, penarikan sejumlah RUU dalam Prolegnas dilakukan supaya tidak menjadi beban bagi lembaga. Pasalnya, penyelesaian RUU dalam Prolegnas menjadi salah satu penilaian publik atas kinerja DPR. Padahal, saat ini fungsi legislasi DPR menjadi tidak optimal karena imbas dari pandemi Covid-19 (Kompas, 1/7/2020). RUU penting
Di antara 16 RUU yang diputuskan ditarik, tak sedikit di antaranya yang dinilai penting.Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan menyesalkan penarikan RUU
Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS). Hal tersebut akan menambah lama upaya pemenuhan keadilan bagi korban kekerasan seksual. Dalam jumpa pers koalisi masyarakat sipil yang tergabung dalam Gerakan untuk Indonesia Adil dan Demokratis, penarikan RUU PKS salah satunya dinilai sebagai bentuk diskoneksi antara anggota DPR dan rakyat. ”Ada diskoneksi antara DPR dan rakyat,” kata Adinda Tenriangke Muchtar dari The Indonesian Institute.Menurut Supratman, Komisi VIII DPR yang meminta RUU PKS ditarik. Alasannya, pembahasan RUU masih harus menunggu pengesahan Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP). Hal ini terutama terkait dengan ancaman sanksi di kedua RUU agar ada kesesuaian satu sama lain. Selain RUU PKS, pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance, Enny Sri Hartati, mengkritisi penarikan tiga RUU di bidang ekonomi dan ketenagakerjaan dari Prolegnas 2020. Ketiga RUU adalah RUU Larangan Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat, RUU Otoritas Jasa Keuangan (OJK), serta RUU Perselisihan Hubungan Industrial. Sebagai contoh, RUU OJK. Menurut dia, RUU itu mendesak disahkan guna memperkuat peran pengawasan OJK. Hal ini untuk mencegah terulangnya kasus Jiwasraya dan maraknya investasi bodong. RUU problematik Di sisi lain, sejumlah RUU problematik yang memantik protes publik diputuskan dipertahankan, di antaranya RUU Cipta Kerja, RKUHP, dan RUU Pemasyarakatan. Sementara terkait RUU Ha-
luan Ideologi Pancasila, Supratman mengatakan, penarikan RUU itu dari Prolegnas 2020 harus diputuskan dalam Rapat Paripurna DPR. Direktur Advokasi dan Jaringan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia Fajri Nursyamsi menilai, basis evaluasi Prolegnas yang dilakukan oleh DPR dan pemerintah tidak jelas sehingga tidak dapat di ukur oleh publik.Publik dinilainya wajar mempertanyakan basis evaluasi tersebut karena UU bukan hanya milik DPR dan pemerintah, melainkan juga milik rakyat. Sikap DPR yang tidak mewadahi aspirasi publik, yakni dengan tidak memprioritaskan RUU yang menjadi kebutuhan
publik, dinilainya akan menambah kerenggangan hubungan DPR dan rakyat yang diwakili. Hal ini dalam jangka panjang tidak sehat bagi praktik demokrasi di Tanah Air. (REK/EDN
|