Isi Artikel |
Sejumlah ormas keagamaan meminta DPR dan pemerintah mencabut RUU Haluan Ideologi Pancasila dari daftar Prolegnas 2020. RUU tersebut dinilai berpotensi menimbulkan konflik dan prokontra tak perlu ditengah pandemi Covid-19.
Oleh ANITA YOSSIHARA DAN RINI KUSTIASIH
JAKARTA, KOMPAS – Pemerintah telah menolak untuk membahas Rancangan Undang-Undang tentang Haluan Ideologi Pancasila yang diusulkan Dewan Perwakilan Rakyat. Karena itu, semestinya parlemen tak perlu memaksakan diri melanjutkan pembahasan dengan mencabut RUU HIP dari daftar Program Legislasi Nasional.
Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siroj dalam pertemuan dengan pimpinan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), Jumat (3/7/2020), mengungkapkan aspirasi tersebut. Hadir dalam pertemuan itu, Ketua MPR Bambang Soesatyo, serta para Wakil Ketua MPR, yakni Ahmad Basarah, Syarief Hasan, Zulkifli Hasan, dan Arsul Sani.
Menurut Said Aqil, sikap PBNU sedari awal mendorong RUU HIP itu agar dicabut dalam pembahasan di DPR. Pembahasan RUU HIP itu sebaiknya diulang dari awal, baik dari kajian akdemiknya, nama RUU, serta substansinya.
“Namanya juga harus diubah total, supaya tidak multitafsir. Langsung saja RUU BPIP (Badan Pembinana Ideologi Pancasila). Fungsinya RUU kan itu,” katanya.
Sikap PBNU sedari awal mendorong RUU HIP itu agar dicabut dalam pembahasan di DPR. Pembahasan RUU HIP itu sebaiknya diulang dari awal, baik dari kajian akdemiknya, nama RUU, serta substansinya
Tak hanya PBNU, seruan untuk mencabut RUU HIP dari pembahasan di DPR juga dilontarkan oleh berbagai organisasi keagamaan seperti Muhammadiyah, Konferensi Waligereja Indonesia, Persatuan Gereja Indonesia (PGI), Persatuan Umat Buddha Indonesia (Permabudhi), Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI), dan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) yang disampaikan melalui pernyataan bersama.
“Semestinya DPR mencabut RUU Haluan Ideologi Pancasila dari Prolegnas,” kata Sekretaris Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Abdul Mu’ti melalui pesan singkat, Jumat (3/7/2020).
RUU HIP memang menjadi salah satu RUU prioritas Prolegnas 2020. Rumusan RUU telah selesai dibahas dan disepakati menjadi RUU inisiatif DPR pada bulan Mei lalu. Namun sampai saat ini pemerintah tak kunjung mengeluarkan Surat Presiden untuk membahas RUU HIP.
Dalam beberapa kesempatan, Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD menegaskan, pemerintah tidak akan membahas RUU HIP. Pemerintah tidak sependapat dengan usulan Pancasila diperas menjadi Trisila, bahkan Ekasila, seperti yang dirumuskan DPR. Tidak dicantumkannya Tap MPRS Nomor 25 Tahun 1966 yang mengatur pembubaran dan pelarangan Partai Komunis Indonesia juga menjadi alasan penolakan pemerintah.
Semestinya DPR tidak melanjutkan pembahasan RUU HIP. Untuk memastikan RUU HIP tak dibahas lagi, DPR harus mencabutnya dari daftar Prolegnas.
Atas penolakan pemerintah itu, lanjut Mu’ti, semestinya DPR tidak melanjutkan pembahasan RUU HIP. Untuk memastikan RUU HIP tak dibahas lagi, DPR harus mencabutnya dari daftar Prolegnas.
“Pemerintah menyatakan menunda, karena itu DPR hendaknya menunjukkan sikap kenegarawanan, menghentikan pembahasan RUU HIP,” kata Mu’ti.
Apalagi berbagai elemen bangsa pun menolak pembahasan RUU HIP. Sebagai wakil rakyat, seharusnya DPR lebih mendengar suara rakyat dibanding bersikukuh memperjuangkan kepentingan pribadi, partai politik, dan golongan.
Sejumlah organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, bahkan, sampai mengeluarkan pernyataan sikap meminta DPR menghentikan pembahasan RUU HIP. Dalam pernyataan bersama yang ditandatangani Abdul Mu’ti dari Muhammadiyah, Helmy Faisal Zaini (PBNU), Agustinus Heri Wibowo (KWI), Jacky Manuputty (PGI), Pandita Citra Surya (Permabudhi), KS Arsana (PHDI), dan Xs Budi S Tanuwibowo (Matakin), disebutkan bahwa Pancasila merupakan dasar negara dan sumber dari segala sumber hukum di Indonesia. Secara konstitusional, kedudukan dan fungsi Pancasila sudah sangat kuat, sehingga tidak memerlukan aturan lain yang berpotensi mereduksi dan memperlemah Pancasila.
Kontraproduktif
Selain itu, rumusan Pancasila sebagai dasar negara telah termaktub dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Dengan demikian, rumusan-rumusan lain yang disampaikan individu serta dokumen lain yang berbeda merupakan bagian dari sejarah yang tak perlu diperdebatkan lagi.
“Sekarang yang diperlukan adalah internalisasi dan pengamalan Pancasila dalam diri dan kepribadian bangsa, dan juga diimplementasikan dalam perundang-undangan, kebijakan, dan penyelenggaraan negara,” ujar Mu’ti.
Para pemuka agama itu juga mengingatkan bahwa pembahasan RUU HIP berpotensi memicu perdebatan yang kontraproduktif. Kondisi itu dikhawatirkan akan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa yang kini tengah diuji dengan pandemi Covid-19.
Dalam kondisi darurat dan krisis seperti saat ini, semua pihak semestinya saling memperkuat persatuan bangsa. Semua elemen bangsa hendaknya lebih fokus bekerja sama mengatasi pandemi Covid-19 serta dampak yang ditimbulkan. Selain itu penting pula menjaga situasi kehidupan bangsa yang kondusif, aman, dan damai.
Para pemuka agama itu juga mengingatkan bahwa pembahasan RUU HIP berpotensi memicu perdebatan yang kontraproduktif. Kondisi itu dikhawatirkan akan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa yang kini tengah diuji dengan pandemi Covid-19.
Sebelumnya, dalam pertemuan antara Ketua MPR Bambang Soesatyo dengan Wakil Presiden RI ke-6 Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, Ketua Umum Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI) Mayor Jenderal TNI (Purn) Saiful Sulun, dan Ketua Umum Persatuan Purnawirawan TNI Angkatan Darat (PPAD) Letnan Jenderal (Purn) Kiki Syahnakri, Kamis, muncul masukan agar RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) ditarik, dan diganti menjadi RUU Pembinaan Ideologi Pancasila (PIP).
Try menilai, Pancasila sebagai ideologi negara merupakan pembentuk norma hukum sehingga kedudukannya tidak bisa diatur oleh norma hukum seperti UU. Atas dasar itu, pengaturan Haluan Ideologi Pancasila dalam UU dinilai tidak tepat.
Bambang mengaku sepakat dengan seruan untuk mengakhiri perdebatan RUU HIP. Alasannya, yang sebenarnya diperlukan adalah UU tentang pembinaan ideologi Pancasila, bukan mengatur Pancasila sebagai sebuah ideologi, falsafah dan dasar negara. Agar pembinaan ideologi Pancasila bisa komprehensif dan diterima seluruh elemen bangsa, maka perlu adanya penguatan terhadap Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) agar tak bergantung atau terkesan milik satu rezim pemerintahan saja, lantaran dasar berdirinya berdasarkan peraturan presiden (perpres).
“Karena itu, dasar berdirinya BPIP harus diperkuat melalui undang-undang,” katanya.
Wakil Ketua MPR RI Ahmad Basarah menyampaikan hal serupa. Materi muatan RUU HIP, termasuk judulnya, harus diganti karena sudah jauh keluar dari kebutuhan hukum bangsa Indonesia.
Ada berbagai penyebab matinya sebuah ideologi, antara lain inkonsistensi dan lemahnya pemahaman generasi muda bangsa, serta pragmatisme dan sikap oportunis penyelenggara negara
Pembinaan
Bambang menambahkan, ada berbagai penyebab matinya sebuah ideologi, antara lain inkonsistensi dan lemahnya pemahaman generasi muda bangsa, serta pragmatisme dan sikap oportunis penyelenggara negara. Agar ideologi Pancasila tak mati di tengah jalan, perlu pembinaan komprehensif yang disepakati berbagai elemen bangsa dengan diikat dalam suatu UU.
“Setiap anak bangsa yang lahir, mereka belum mengenal apa itu Pancasila dan betapa pentingnya Pancasila dalam menjaga perdamaian dan persatuan. Karenanya setiap anak bangsa perlu mendapatkan pola pembinaan yang komprehensif dari sejak dini. Dimulai dari pendidikan di PAUD hingga jenjang perguruan tinggi. Plus juga pembinaan diluar institusi resmi pendidikan. Disinilah letak urgensi perlunya UU Pembinaan Ideologi Pancasila,” katanya.
Terkait mekanisme panarikan, pembatalan atau pengantian judul dan subtansi RUU HIP menjadi RUU PIP berpulang kepada DPR sebagai pembuat UU bersama pemerintah.
Menurut Bambang, setidaknya ada dua opsi yang bisa ditempuh sesuai mekanisme aturan dan perundang-undangan yang berlaku. Pertama, karena RUU sudah ada di pemerintah, maka pemerintah bisa mengubah seluruh substansi di dalam RUU HIP yang terdiri dari 10 bab dan 60 pasal dengan DIM (Daftar Inventarisasi Masalah) yang baru termasuk judulnya. DIM itu kemudian dibahas dengan DPR.
“Misalnya, karena hanya menyangkut teknis implementasi Pancasila dan penguatan payung hukum untuk BPIP, cukup 6 atau 7 bab dengan 15-17 pasal saja,” ujarnya.
Bagi kami, perdebatan tentang Pancasila sudah final dan sudah selesai. Tugas kita selanjutnya sebagai bangsa adalah mengimplementasikannya secara konsisten dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk tekad kita, bahwa Pancasila harus menjiwai seluruh kebijakan negara (Bambang Soesatyo)
Opsi kedua, RUU HIP inisiatif DPR itu dapat ditarik, dan dimasukan kembali sebagai inisiatif DPR yang baru, menjadi RUU PIP (Pembinaan Ideologi Pancasila) dengan perubahan total.
“Bagi kami, perdebatan tentang Pancasila sudah final dan sudah selesai. Tugas kita selanjutnya sebagai bangsa adalah mengimplementasikannya secara konsisten dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Termasuk tekad kita, bahwa Pancasila harus menjiwai seluruh kebijakan negara,” ucap Bambang.
|