Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS—Disrupsi di dunia pendidikan menghasilkan bentuk perkuliahan baru yang mengombinasikan sistem kelas tradisional dengan pembelajaran jarak jauh melalui internet. Sumber daya dosen harus segera disiapkan agar bisa memproduksi konten yang diunggah secara daring sehingga bisa diakses mahasiswa maupun masyarakat luas. “Sejauh ini, baru segelintir dosen yang bisa menggunakan maupun membuat pembelajaran daring,” kata Kepala Sekretariat Asosiasi Dosen Indonesia (ADI) Dwi Andayani di sela-sela seminar “Digitalisasi Pembelajaran: Inovasi Perguruan Tinggi di Era 4.0” di Jakarta, Sabtu (22/12/2018). Baru segelintir dosen yang bisa menggunakan maupun membuat pembelajaran daring. Ia memaparkan, umumnya baru dosen-dosen di program studi yang terkait teknologi informasi dan komunikasi yang sudah membuat konten perkuliahan daring. Hal itu karena dosennya memiliki pengetahuan memakai teknologi tidak sebatas sebagai konsumen, tetapi juga produsen. Adapun dosen-dosen program studi di luar yang terkait dengan komputer relatif tradisionalis dalam menyelenggarakan kuliah. Maka dari itu, para dosen dari berbagai jenis dan level perguruan tinggi perlu mengenal perkuliahan jarak jauh maupun perkuliahan kombinasi daring dengan klasikal. Ke depannya, ADI juga merencanakan membuat pelatihan bagi para dosen. Dalam seminar itu, hadir Direktur Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang baru dilantik, Ismunandar. “Kuliah daring merupakan upaya pemerataan akses pendidikan tinggi kepada masyarakat karena tidak terhalang ruang dan waktu,” ujarnya. Kemenristek Dikti mengembangkan Sistem Pembelajaran Daring Indonesia yang bisa diakses di spada.ristekdikti.go.id sebagai wadah materi perkuliahan daring yang dibuat oleh dosen-dosen dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Materi yang diunggah pada laman itu sudah diseleksi dan dievaluasi mutunya. Perubahan pola pikir Dosen Teknologi Informasi Universitas Budi Luhur, Muhammad Ainur Rony menjelaskan, kuliah daring tidak sekadar mengunggah materi ke internet. Semuanya harus bermula dari perubahan pola pikir dosen dari prinsip tradisional dosen sebagai pusat ilmu menjadi dosen sebagai produsen ilmu yang kemudian dibagi dan didiskusikan bersama mahasiswa, bahkan khalayak ramai. “Menghilangkan ego dosen ini membutuhkan empati. Empati memberdayakan dosen agar peka melihat permasalahan yang ada di sekitar, termasuk pada metode perkuliahan, dan mencari solusinya sehingga membuat inovasi,” paparnya. Rony yang juga CEO perusahaan aplikasi Ngampooz, wadah pengelola berbagai kelas dan seminar daring, menjabarkan, materi yang diunggah secara daring hendaknya diperkaya dari berbagai aspek. Dalam hal ini, kuliah daring membuka pintu kolaborasi para dosen antarprogram studi, bahkan antarfakultas maupun antarperguruan tinggi. Setelah memiliki materi, dosen mendekonstruksikannya sesuai kebutuhan mahasiswa ataupun pemirsa. Contohnya, tidak semua materi harus berwujud video, grafik, dan animasi. Ada materi yang cukup berupa rekaman suara. Ada pula yang hanya perlu berupa transkrip. Dosen Magister Manajemen Universitas Binus, Gerald Ariff, menambahkan, dosen kerap terintimidasi kerepotan memecah materi dan memikirkan cara penyampaiannya. Terlebih, dosen tidak hanya disibukkan dengan mengajar dan mengevaluasi siswa, tetapi juga melakukan penelitian dan sumbangsih kepada masyarakat. Perguruan tinggi mapan umumnya mulai melakukan investasi pada profesional di bidang TIK, contohnya adalah desainer instruksi. Mereka bertugas mendengarkan materi yang disampaikan oleh dosen kemudian menerjemahkannya ke dalam berbagai bentuk interaktif yang diunggah ke internet. Namun, itu tidak merupakan kewajiban bagi setiap perguruan tinggi. “Sekarang sudah banyak perusahaan aplikasi yang dengan senang hati bekerja sama dengan para dosen untuk membungkus ulang materi perkuliahan mereka ke dalam wujud ramah internet,” kata Gerald yang juga pendiri Pintaria.com, wadah pembelajaran daring.
|