Isi Artikel |
Pembelajaran jarak jauh bukan perkara mudah untuk dijalankan oleh setiap guru dengan kondisi daerah yang beragam di Indonesia. Ketersediaan sarana dan prasarana seperti jaringan internet dan perangkat pintar yang terbatas menjadi kendala yang paling banyak dikeluhkan.
Meski begitu, keterbatasan tersebut tidak membuat sebagian guru menyerah. Mereka justru tertantang untuk terus berinovasi dan berkreasi, sekalipun harus melakukannya secara mandiri. Itu dilakukan untuk memastikan setiap muridnya tetap bisa belajar optimal.
Hampir tiga bulan, Hifni Djafar (37) mengajar setiap muridnya tanpa tatap muka. Sebagai guru ekonomi untuk kelas XI SMA Negeri Pulau Ende, Nusa Tenggara Timur, metode pengajaran jarak jauh sulit diimplentasikan. Bukan sekadar tidak bisa menjelaskan materi secara langsung, pengajaran dengan metode ini tidak bisa diterima oleh seluruh muridnya.
”Pertama, tidak semua anak punya handphone Android sehingga tidak bisa mengunduh aplikasi pembelajaran. Kemudian, secara geografis kita ini berada di tengah laut sehingga sinyal internet kurang stabil. Tidak mungkin jika memaksa setiap anak bisa mengikuti pembelajaran dengan sistem daring,” ujarnya saat dihubungi, Selasa (9/6/2020).
Selama ini, Hifni hanya memanfaatkan aplikasi Whatsapp untuk memberikan materi pengajaran kepada muridnya. Jadwal pengajaran sebelumnya sudah diinformasikan seminggu sebelum kelas daring dilakukan. Pada saat pelajaran dimulai, biasanya satu jam sebelumnya Hifni akan mendata murid yang hadir. Setiap murid diminta melakukan presensi diri di grup Whatsapp yang telah dibuat. Jika sampai kelas selesai ada murid yang tidak menyebutkan kehadirannya, murid ini dianggap tidak hadir.
Untuk memudahkan pemberian materi, Hifni akan menyederhanakan pelajaran dan menyampaikannya dalam bentuk audiovisual. Sementara materi akan dikirimkan dalam bentuk dokumen. Tanya jawab pun akan dilakukan melalui perbincangan di aplikasi Whatsapp selama kelas berlangsung.
Sesekali Hifni juga membuat konten pengajaran yang diunggah di Youtube. Dengan begitu, murid-muridnya bisa melihat tayangan tersebut ketika sudah bisa mendapatkan akses internet yang baik.
”Tidak semua anak punya handphone dengan aplikasi Whatsapp. Jadi, saya sudah bentuk kelompok, masing-masing berisi tiga anggota. Dengan tetap menjalankan protokol kesehatan seperti menggunakan masker dan mencuci tangan sesering mungkin, anggota kelompok ini bisa belajar bersama-sama,” kata Hifni.
Ia juga sering mengikuti berbagai pelatihan dari berbagai lembaga dengan materi yang terkait dengan peningkatan kapasitas pengajaran jarak jauh. Tidak jarang ia harus mengeluarkan biaya pribadi untuk mengikuti pelatihan tersebut.
Meski begitu, selama pembelajaran jarak jauh berlangsung, pihak sekolah telah memberikan anggaran khusus pulsa dan paket internet untuk dia. Setidaknya selama satu bulan, ia memperoleh dana pulsa sekitar Rp 160.000.
”Jika disuruh memilih, saya lebih senang nanti tahun ajaran baru bisa langsung masuk sekolah. Belajar jarak jauh sangat mengurangi hubungan emosional antara guru dan siswa. Beban biaya orangtua untuk membeli pulsa juga sangat besar. Belum lagi beban orangtua yang harus mengawasi anaknya di rumah, sementara mereka juga punya tugas pekerjaan lainnya,” katanya.
Baca juga : Atasi Kendala di Setiap Pilihan: Belajar Jarak Jauh atau Buka Sekolah
Kerja sama dengan orangtua
Tantangan pembelajaran jarak jauh juga dialami oleh Yosephine Saras (27), salah satu wali kelas yang juga guru Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP Kristen Lentera Ambarawa, Jawa Tengah. Tidak semua murid bisa terpantau dengan baik selama pemelajaran jarak jauh berlangsung. Bahkan, ada murid yang tidak mengumpulkan satu pun tugas selama sepekan.
Sebagai wali kelas, ia biasanya langsung menghubungi orangtua murid dan berkomunikasi terkait kendala yang dihadapi di rumah. ”Kalau memang tidak memungkinkan untuk belajar di rumah, saya biasanya jemput murid ini ke rumahnya dan mengantarnya ke sekolah. Setidaknya agar dia bisa menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya. Kasihan jika dia sampai tidak punya nilai dan tidak belajar,” katanya.
Ia memilih untuk mengantar dan menjemput setiap murid dari rumah ke sekolah dan kembali ke rumah. Meski jarak rumah dan sekolah tidak jauh, cara ini dipilih untuk memastikan murid aman dari berbagai risiko yang bisa timbul selama perjalanan ke sekolah.
Bagi Yosephine, pembelajaran jarak jauh tetap harus dijalankan meski berbagai tantangan dihadapi saat ini. Menurut dia, keamanan dan keselematan setiap muridnya lebih utama meskipun ia harus bekerja lebih keras untuk memastikan muridnya tetap belajar secara optimal.
|