Isi Artikel |
Meski mendapat sorotan karena dianggap terlalu luasnya objek pengampunan pajak, tarif tebusan yang terlampau murah, mau pun potensi pencucian uang, UU Tax Amnesty akhirnya diteken Presiden Joko Widodo pada 1 Juli 2016.
Pengampunan pajak menjadi sangat strategis karena tidak hanya menyentuh aspek fiskal saja, tetapi juga stabilitas dan fundamental makroekonomi. Tujuan itu sangat relevan dengan tantangan ekonomi saat ini, dari persoalan tingginya suku bunga dibandingkan dengan kawasan, kapasitas dana investasi dalam negeri yang mendekati limit serta investasi yang masih terbatas.
Tax Amnesty diharapkan dapat membawa pulang dana WNI yang banyak diparkir di luar negeri. Berdasarkan data Global Financial Integrity Report 2015, diperkirakan dana tersebut bernilai hingga Rp3.147 triliun, Pasar pun menyambut baik kebijakan tax amnesty.
Selama Juli, nilai tukar rupiah menguat mendekati level Rp13.000 per dolar AS. Indeks saham pun menembus level 5.200. Imbal hasil SBN juga terus menurun hingga mencapai 6,99%, terendah dalam 3 tahun terakhir.
Aliran dana dari luar terus masuk meskipun tax amnesty belum efektif dilaksanakan. Dana repatriasi diperkirakan akan terus meningkat mendekati akhir 2016.
Menghadapi arus dana repatriasi yang besar dalam waktu singkat tentu membutuhkan antisipasi yang matang. Jika diasumsikan 1/3 dari dana parkir di luar negeri mendaftar tax amnesty dan separuhnya saja direpatriasi, akan ada sekitar Rp 500 triliun menyerbu perekonomian dalam negeri.
Salah mengantisipasi bisa membuat dana repatriasi kembali. Atau justru turut menyebabkan sudden capital reversal khususnya di pasar keuangan.
Kehadiran dana tersebut juga dapat mendorong kenaikan harga aset yang terlampau tajam atau bubble. Pengalaman menunjukkan aliran dana masuk yang masif tidak selalu menguntungkan untuk perekonomian seperti Indonesia.
Arus capital inflow yang deras terdekat yang pernah dialami perekonomian Indonesia terjadi pada periode Quantitative Easing (QE) The Fed 2010-2012. Sebelum QE diluncurkan, transaksi finansial yang masuk Indonesia dalam Neraca Pembayaran Indonesia berkisar US$3 miliarUS$5 miliar per tahun.
Namun pasca QE The Fed, arus transaksi finansial masuk meningkat tajam mencapai US$26 miliar pada 2010. Positifnya, aliran dana QE mendorong kenaikan indikator pasar keuangan domestik.
Nilai tukar rupiah menguat tajam dari kisaran Rp10.000 per dolar AS (2009) menjadi kisaran Rp8.700 (2011). Posisi cadangan devisa tumbuh pesat dari US$66 miliar (2009) menjadi US$99 miliar (2012).
Kredit perbankan pun tumbuh cukup kencang mencapai 18% hingga mendorong LDR naik dari 73% (2009) menjadi 89% (2013). Namun, berbagai efek samping pun muncul.
Pertama, tertekannya sektor eksternal Indonesia. Di tengah penguatan nilai tukar yang tajam dan dipersepsikan semakin murah, impor pun semakin meningkat baik migas maupun nonmigas bahkan barang konsumsi. Memburuknya kinerja ekspor akibat melemahnya harga komoditas andalan kita seperti minyak, batu bara dan CPO membuat kita memasuki rezim current account deficit pada 2012 sebesar -2,8% terhadap PDB. Padahal pada 2009, neraca transaksi berjalan Indonesia masih positif.
Kedua, kerentanan nilai tukar meningkat. Hal ini diperburuk dengan semakin tingginya posisi utang luar negeri korporasi namun belum dilakukan lindung nilai. Akibatnya, pada saat The Fed akan melakukan tapering pada Mei 2013, terjadi pembalikan dana secara massif dan nilai tukar kembali melemah bahkan sempat overshoot mencapai level Rp14.000 per dolar AS.
Beberapa perusahaan membukukan kerugian selisih kurs akibat tidak melakukan hedging. Indonesia pun sempat masuk negara fragile five, lima negara yang rentan nilai tukar akibat tingginya ketergantungan dari dana asing. Ketiga, meningkatnya ongkos moneter untuk penyerapan likuiditas.
Posisi operasi moneter selama pelaksanaan QE terus meningkat dari kisaran Rp257 triliun per bulan (2009) menjadi Rp390 triliun di 2011. Biaya operasi moneter yang digelontorkan Bank Indonesia meningkat tajam hingga menyebabkan defisit sebesar Rp46 triliun selama 2010-2011.
REPATRIASI NYAMAN
Berbekal pengalaman Indonesia dalam menghadapi QE 2009-2013 di atas, lima hal berikut perlu diperhatikan oleh pengambil kebijakan maupun pelaku ekonomi.
Pertama, instrumen keuangan perlu diperkaya. Program pendalaman pasar keuangan perlu diperkuat baik di pasar uang maupun pasar modal. Kebutuhan investor perlu dipahami baik untuk pengelolaan likuiditas, pengelolaan risiko nilai tukar, hingga optimalisasi pendapatan.
Di sinilah pentingnya koordinasi dan sinergi antar otoritas di pasar keuangan untuk berbagi tugas dalam penerbitan instrumen. Penerbitan instrumen di pasar uang, hedging maupun pengelolaan moneter untuk likuiditas jangka pendek dilakukan oleh BI, khususnya untuk antisipasi aliran likuiditas serta penguatan lindung nilai.
Sementara itu, OJK bisa mendorong pengayaan instrumen pembiayaan investasi korporasi jangka panjang di pasar modal baik saham maupun obligasi. Kementerian Keuangan juga dapat melakukan diversifikasi dan efisiensi pembiayaan APBN dengan meningkatkan penerbitan SPN yang lebih murah daripada SBN bertenor panjang.
Kedua, term structure suku bunga yang mendukung diversifikasi investasi ke instrumen jangka panjang. Pada tahap awal, investasi akan masuk melalui perbankan. Jika kondisi perekonomian masih belum meningkat, likuiditas akan mengalir ke BI melalui instrumen operasi moneter seperti SBI, reverse repo SBN maupun Term Deposit.
Di sinilah terdapat risiko bahwa dana tersebut nyaman di BI dan tidak ditransmisikan ke sektor riil. Waktu tiga tahun sebenarnya tidak terlampau lama bagi investor untuk menunggu sebelum dana tersebut dapat ditransfer kembali ke luar negeri jika kondisi dalam negeri tidak menguntungkan.
Potensi pembiayaan akan hilang sementara biaya stabilisasi moneter yang dilakukan cukup besar. Oleh karena itu, perlu dipastikan terwujudnya term structure suku bunga antar instrumen di pasar keuangan yang mendorong investor melakukan diversifikasi investasi tidak hanya di perbankan namun juga di pasar keuangan dan memiliki horison jangka panjang.
Ketiga, waspadai bubble harga aset dengan segera mentransmisikan dana repatriasi dan men dorong penerbitan instrumen pembiayaan investasi dan sektor riil. Supply penempatan investasi perlu segera didorong agar dana bisa segera ma suk ke sektor riil. Korporasi, baik BUMN maupun swasta, didorong untuk melakukan shifting dari utang luar negeri untuk pembiayaan investasi menjadi pembiayaan dalam negeri dengan menerbitkan obligasi maupun menambah emisi saham.
Instrumen pun perlu dipilih yang memiliki keterkaitan erat dengan pembiayaan sektor riil seperti sukuk. Sukuk berbeda dengan obligasi biasa karena memiliki underlying berupa aset atau proyek. Kepastian adanya underlying dapat meyakinkan investor untuk masuk ke instrumen ini sekaligus mendorong harga yang lebih efisien.
Keempat, pemahaman investor atas penempatan dana domestik menjadi penting. Investor perlu memahami keranjang investasi yang tersedia di domestik. Kita perlu belajar dari pengalaman Tiong kok yang sempat mengalami bullish pada 2015 hingga indeks saham naik dua kali naik akibat perluasan basis investor, tetapi jatuh pada awal 2016 akibat sentimen pertumbuhan ekonomi yang diluar ekspektasi.
Kelima, percepatan dan konsistensi reformasi struktural. Kebijakan fiskal dan moneter saja tidak cukup dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Penguatan infrastruktur, pembangunan sumber daya manusia, serta penguasaan riset dan teknologi sebagai daya saing perekonomian nasional terus diupayakan secara konsisten.
Pada akhirnya, sinergi antarotoritas di pasar keuangan dan reformasi struktural memegang kunci keberhasilan optimalisasi dana repatriasi tax amnesty untuk mendukung pertumbuhan perekonomian.
*) Agung Bayu Purwoko, Staf Deputi Gubernur Bank Indonesia
|