Judul | KETENAGAKERJAAN. Uji Coba Penempatan Pekerja Migran Dinilai Abaikan Perlindungan |
Tanggal | 07 Oktober 2019 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 9 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi I - Komisi IX |
Isi Artikel | Kerja sama pemerintah daerah dan perusahaan di luar negeri terkait penempatan tenaga kerja dinilai melanggar aturan perlindungan pekerja migran. Oleh MEDIANA JAKARTA, KOMPAS — Kerja sama pemerintah daerah dan perusahaan di luar negeri terkait penempatan tenaga kerja dinilai melanggar aturan perlindungan pekerja migran. Pemerintah berencana memulai uji coba penempatan pekerja migran sektor perkebunan untuk penempatan Malaysia. Daerah kantong pekerja migran yang jadi sasaran uji coba adalah Nusa Tenggara Timur. Akan tetapi, dasar hukumnya dipertanyakan. Sebab, nota kesepahaman bilateral perlindungan pekerja migran Indonesia-Malaysia sudah habis masa berlakunya dan hingga sekarang belum diperpanjang. Uji coba dikemas dalam nota kesepahaman kerja sama antara Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) dan PT Felda Global Ventures Holding Berhard (FGV). Penandatanganan dilakukan di Kupang, NTT, Jumat (4/10/2019). Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Aris Wahyudi, dalam keterangannya, menyatakan, nota kesepahaman kerja sama juga mencakup penempatan tenaga kerja. Sekitar 1.000 calon pekerja asal NTT akan diikutsertakan dalam uji coba tersebut. Lokasi kerja mereka nantinya adalah perkebunan kelapa sawit milik FGV. Menurut Aris, Kementerian Ketenagakerjaan pernah mendampingi Pemprov NTT saat berkunjung ke perusahaan kelapa sawit milik FGV di Malaysia. Berdasarkan hasil kunjungan itu disimpulkan bahwa FGV telah menerapkan standar ataupun norma ketenagakerjaan internasional. Sebelum ditempatkan ke Malaysia, calon pekerja migran akan dilatih di Balai Latihan Kerja Kupang dan Maumere. Seusai dilatih, mereka wajib mengikuti ujian sertifikasi dari Badan Nasional Sertifikasi Profesi. Mereka akan menerima pelatihan lanjutan di Malaysia selama enam bulan dan tetap menerima gaji. Sesuai data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah pekerja migran Indonesia yang bekerja di perkebunan Malaysia mencapai 15.587 orang. Mayoritas di antaranya bekerja khusus di perkebunan kelapa sawit. NTT dipilih karena dikenal sebagai salah satu provinsi kantong pekerja migran di Indonesia. Menurut Aris, NTT juga menjadi daerah darurat kasus perdagangan orang. Oleh karena itu, penempatan melalui kerja sama seperti yang dilakukan Pemprov NTT dengan FGV dinilai pas. Pekerja migran Indonesia juga akan mendapat kepastian perlindungan karena FGV menganut norma ketenagakerjaan internasional. Rekrut langsung Ketua Pusat Studi Migrant Care Anis Hidayah, Minggu (6/10/2019), di Jakarta, mempertanyakan dasar hukum pelaksanaan nota kesepahaman tersebut. Menurut dia, nota kesepahaman bilateral perlindungan pekerja migran Indonesia-Malaysia sudah habis masa berlakunya dan hingga sekarang belum diperpanjang. Nota kesepahaman itu dinilai bertujuan merekrut pekerja migran secara langsung. Padahal, cara ini tidak boleh dilakukan sesuai dengan undang-undang perlindungan pekerja migran Indonesia. ”Kekhawatiran kami, penempatan secara langsung yang kemudian dikerjakan oleh subcontractor base on productivity untuk menentukan upah. Mirip alih daya,” katanya. Pada tahun ini, kata Anis, jumlah kasus perdagangan orang dan pemulangan jenazah korban mencapai 90 orang. Persoalan migrasi di NTT dinilai bermasalah, terutama menyangkut dua kasus itu, sehingga harus segera dituntaskan. Selama ini, migrasi swadaya telah mengakar di NTT, termasuk pekerja ke sektor perkebunan. Apabila nota kesepahaman kerja sama jadi dilakukan, migrasi swadaya dikhawatirkan akan terkikis. Direktur Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Luar Negeri Kementerian Ketenagakerjaan Eva Trisiana menyatakan, pihaknya terus mengembangkan desa migran produktif yang melayani informasi migrasi sampai pengembangan potensi produk desa. Kementerian Ketenagakerjaan juga membentuk layanan terpadu satu atap (LTSA) yang bertujuan memudahkan pengurusan kebutuhan administrasi dan persoalan pekerja. Di NTT, kini telah berdiri 3 LTSA dan 60 desa migran Produktif. (MED) |
Kembali ke sebelumnya |