Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Program Kartu Prakerja yang Efektif, Bekal Pekerja Hadapi Tantangan
Tanggal 01 Desember 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman 10
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel Manajemen pelaksana Kartu Prakerja akan mengevaluasi program untuk menyiapkan pelaksanaannya pada tahun depan. Oleh AGNES THEODORA   JAKARTA, KOMPAS — Tantangan disrupsi di bidang ketenagakerjaan mesti bisa dijawab program Kartu Prakerja melalui pelatihan yang lebih efektif. Oleh karena itu, program yang akan dilanjutkan pada tahun depan itu perlu diikuti pemetaan keahlian serta kurikulum pelatihan yang terarah dan relevan dengan keperluan industri. Dengan bekal pelatihan itu, peserta Kartu Prakerja bisa lebih mudah mencari kerja. Hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) oleh Badan Pusat Statistik, per Agustus 2020, penyelenggaraan Kartu Prakerja memuaskan pesertanya. Sebanyak 88,9 persen penerima Kartu Prakerja yang menyelesaikan pelatihan menilai program itu meningkatkan keterampilan kerja mereka. Adapun hasil survei Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja menunjukkan, sebanyak 91 persen peserta akan melampirkan sertifikat pelatihan Kartu Prakerja saat melamar kerja di kemudian hari. Hasil survei ini kerap dijadikan patokan pemerintah dan Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja dalam mengevaluasi penyelenggaraan program. Namun, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad, Senin (30/11/2020), berpendapat, program Kartu Prakerja seharusnya dapat dibuat lebih efektif. Perubahan industri yang semakin cepat akibat Covid-19 menuntut terobosan dan evaluasi program secara terus-menerus agar relevan dengan kebutuhan pasar kerja. Pemerintah perlu mengevaluasi dua hal, yakni kelas pelatihan dalam jaringan yang ditawarkan dan target sasaran peserta program. Sementara, untuk menyiapkan tenaga kerja Indonesia memasuki era revolusi industri, pelatihan yang diberikan tidak cukup berupa pelatihan daring jangka pendek. ”Dunia usaha tidak butuh sekadar sertifikat dari pelatihan daring, tetapi pengalaman praktik. Kalau metode pelatihan masih seperti ini, dilakukan secara daring dengan intensitas rendah, pengusaha belum tentu mau melirik sertifikasi pelatihan Kartu Prakerja,” kata Tauhid. Ia menambahkan, pendekatan pelatihan Kartu Prakerja perlu mulai beralih ke pelatihan luar jaringan dengan waktu yang lebih lama dan intensitas pelatihan yang tinggi. Lembaga pelatihan yang dilibatkan dalam ekosistem program harus mendapat pengakuan di dunia usaha. Rekomendasi dan sertifikasi dari lembaga pelatihan yang diakui akan memudahkan peserta mencari kerja setelah menuntaskan pelatihan. ”Intinya, program pelatihan di program Kartu Prakerja harus disambungkan dengan industri,” katanya. Tauhid juga menyoroti target sasaran program yang masih keliru. Data BPS menunjukkan, sekitar 66,47 persen peserta Kartu Prakerja berstatus masih bekerja. Dari peserta program yang masih bekerja, sekitar 63 persen di antaranya bekerja penuh dan 36 persen berstatus setengah pengangguran. Pekerja berstatus pengangguran penuh hanya 22,24 persen dari total peserta yang disurvei. Menurut dia, efektivitas sasaran peserta program berkaitan erat dengan efektivitas pelatihan. Peserta yang masih bekerja memang membutuhkan pelatihan dan peningkatan keterampilan. Namun, mereka masih memiliki jaminan pekerjaan. Situasi ini berbeda dengan peserta berstatus pengangguran. Di tengah situasi saat ini, peningkatan keterampilan lebih dibutuhkan para penganggur yang sedang bersaing ketat di pasar kerja. ”Agar lebih efektif, sasaran utama seharusnya adalah mereka yang menganggur. Mereka lebih butuh pelatihan, pelatihan kemampuan, dan peningkatan keterampilan karena mereka memang sedang betul-betul mencari kerja di tengah situasi saat ini,” kata Tauhid. Direktur Eksekutif Manajemen Pelaksana Kartu Prakerja Denni Puspa Purbasari mengatakan, sejauh ini, dari hasil survei, mayoritas peserta program puas dengan program pelatihan daring yang tersedia. Menurut dia, penjaringan program pelatihan juga tidak main-main. Pelatihan daring harus lolos penilaian berlapis manajemen pelaksana Kartu Prakerja, platform digital, serta tim ahli dari sejumlah universitas dan Indonesia Mengajar. Program pelatihan itu juga dievaluasi lagi oleh peserta melalui ulasan dan peringkat. ”Kalau pelatihan Kartu Prakerja jelek, pasti itu terlihat dari hasil survei dan orang-orang pasti tidak akan mau melampirkan sertifikat hasil pelatihan saat melamar kerja. Hal ini menunjukkan, seharusnya pelatihan yang ada sudah cukup berkualitas,” kata Denni. Denni menekankan, pemerintah dan manajemen pelaksana Kartu Prakerja tetap akan mengevaluasi program untuk penyelenggaraan tahun depan. Salah satunya, mempertimbangkan penyelenggaraan pelatihan luring meskipun anggaran yang dibutuhkan diperkirakan lebih tinggi daripada pelatihan daring. ”Kalau pelatihan luring akan lebih mahal, maka dengan anggaran yang sama (Rp 10 triliun) kuota peserta bisa lebih sedikit,” ujar Denni. Menurut Denni, salah satu pertimbangan untuk mempertahankan format pelatihan daring adalah agar lebih banyak peserta mendapat kesempatan mengikuti pelatihan. Ia menilai, peserta yang tinggal di pelosok daerah akan kesulitan menghadiri pelatihan yang biasanya diadakan di kota besar atau di ibu kota provinsi. ”Kalau mau merata, dengan anggaran yang sama, memang pelatihan tetap lebih banyak secara daring karena lebih murah. Akan tetapi, kami ini pelaksana sehingga kami juga menunggu dari komite,” kata Denni. Terkait keterhubungan program pelatihan dengan penempatan kerja, Denni mengatakan, hal itu akan sulit dilakukan. Alasannya, peserta program terlalu banyak dan luas. Selain itu, program Kartu Prakerja yang bersifat mendaftar secara terbuka memberi keleluasaan bagi peserta untuk memilih jenis pelatihan sesuai potensi diri.
  Kembali ke sebelumnya