Isi Artikel |
PENDIDIKAN. Rapor Merah Pengelolaan Guru. Demi peningkatan mutu, keselamatan masa depan anak-anak kita, dan keselamatan hari depan kita bersama, negara diharapkan hadir mengelola pendidikan serta anggarannya secara baik. Juga membebaskan dari politik sempit. Oleh HAFID ABBAS. Pada peringatan Hari Ulang Tahun Ke-75 Persatuan Guru Republik Indonesia pada 28 November 2020, Presiden Joko Widodo menyampaikan rencana pemerintah merekrut guru pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja dalam jumlah besar. Presiden telah mengeluarkan pula Perpres Nomor 98 Tahun 2020 tentang guru yang berstatus pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K) dengan hak mendapatkan gaji setara dengan PNS. Perekrutan guru baru ini akan dimulai pada 2021 yang jumlahnya akan mencapai 1 juta. Pemerintah juga telah mengalokasikan bantuan subsidi upah (BSU) Rp 3,6 triliun pada 2020 ini bagi sekitar 2 juta guru dan tenaga kependidikan berstatus non-PNS di lingkungan Kemendikbud. Kebijakan ini patut diapresiasi semua kalangan, terutama para guru honorer yang selama ini telah amat berjasa membantu pendidikan anak-anak kita. Kebutuhan dan rasio guru-siswa Kebijakan baru ini dapat ditelaah dari berbagai perspektif berikut. Pertama, data menunjukkan bahwa saat ini jumlah guru pendidikan dasar dan menengah sudah mencapai 4 juta yang melayani sekitar 50 juta siswa (Kemendikbud, 20/11/2020). Ini berarti setiap guru hanya mengajar 12-13 siswa. Sementara rata-rata standar rasio internasional 20-21 siswa per guru. Jika digunakan standar internasional, Indonesia terlihat sudah kelebihan sekitar 1,6 juta guru. Di Jepang, rasionya 27-28 siswa per guru dan Korea Selatan sebagai salah negara terbaik pendidikannya di dunia, rata-rata 34,7 atau 34-35 siswa per guru (UNESCO, 2017). Jika digunakan standar internasional, Indonesia terlihat sudah kelebihan sekitar 1,6 juta guru. Dengan merujuk data Mendikbud Nadiem Makarim yang mengutip data dapodik (2020) bahwa jumlah guru ASN yang tersedia saat ini di sekolah negeri hanya 60 persen dari jumlah kebutuhan seharusnya, berarti sudah terdapat 2,4 juta guru ASN bagi 50 juta siswa sehingga rasionya amat ideal, sama dengan rata-rata standar internasional, 20-21 siswa per guru. Jika saja negara hadir untuk mengatur penempatan dan distribusi guru ASN ini secara merata dengan baik di seluruh Tanah Air, maka tak perlu lagi pengangkatan guru baru. Kedua, data menunjukkan bahwa anggaran 20 persen APBN dan APBD untuk pendidikan, sebagaimana yang diamanatkan oleh konstitusi, ternyata hampir semuanya habis dibelanjakan bukan bagi peningkatan mutu pendidikan. Bank Dunia melaporkan, 86 persen dana APBN dan APBD untuk pendidikan habis dikonsumsi untuk gaji serta kesejahteraan guru dan tenaga kependidikan, bahkan di 32 kabupaten/kota jumlahnya mencapai 90 persen, bukan untuk peningkatan mutu pembelajaran. Jumlah ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Vietnam yang mengalokasikan anggaran untuk kesejahteraan hanya 42 persen, Finlandia 55 persen, AS 62 persen (Revealing How Indonesia’s Subregional Government Spend their Money on Education, 2020, hal 68). Data lain, Bank Dunia dalam publikasinya, Spending More or Spending Better: Improving Education Financing in Indonesia (2013), menunjukkan, para guru yang telah memperoleh tunjangan sertifikasi dan yang belum, ternyata memperlihatkan prestasi relatif sama. Program sertifikasi guru yang diselenggarakan Kemendikbud selama beberapa tahun terakhir, yang menghabiskan dana ratusan triliun rupiah, ternyata tak memberikan dampak pada peningkatan mutu pendidikan nasional (hlm 68). Kesimpulan Bank Dunia itu diperoleh setelah meneliti sejak 2009 di 240 SD negeri dan 120 SMP di seluruh Indonesia, dengan melibatkan 39.531 siswa. Hasilnya, tidak terdapat pengaruh program sertifikasi guru terhadap hasil belajar siswa, baik di SD maupun SMP. Sekiranya negara hadir untuk mengelola anggaran 20 persen APBN dan APBD itu dengan baik, tentu tidak akan terjadi pembiaran penghabisan anggaran ratusan triliun rupiah setiap tahun tanpa memberikan manfaat bagi perbaikan mutu pendidikan nasional. Yang berubah hanya penurunan jumlah guru yang bekerja rangkap dari 33 persen sebelum sertifikasi ke 7 persen setelah sertifikasi (hal 73). Kesimpulan Bank Dunia itu diperoleh setelah meneliti sejak 2009 di 240 SD negeri dan 120 SMP di seluruh Indonesia, dengan melibatkan 39.531 siswa. Negara belum hadir Kedua paradoks itu (kekurangan vs kelebihan guru, dan peningkatan anggaran vs penurunan mutu) kelihatannya akan terus terjadi jika akar masalahnya tidak tersentuh. Pertama, kelihatannya negara belum hadir untuk menertibkan dan membina lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) sebagai penghasil guru dan tenaga kependidikan yang menghasilkan guru. Data menunjukkan bahwa saat ini terdapat 423 LPTK, terdiri dari 12 eks IKIP, 34 FKIP universitas, dan 377 LPTK swasta (Kemristekdikti, 2019). Dari jumlah itu, yang sudah terakreditasi A hanya 18 dan 81 terakreditasi B, selebihnya tak terakreditasi atau terakreditasi rendah. LPTK swasta terlihat terus-menerus merekrut dan meluluskan mahasiswa calon guru tanpa kendali sehingga setiap tahun terdapat kelebihan sekitar 200.000 calon guru baru yang kebanyakan direkrut menjadi guru honorer di sekolah-sekolah swasta. Jika mutu akan menjadi prioritas, perekrutan calon guru yang berstatus P3K selayaknya diprioritaskan dari lulusan 18 LPTK yang berakreditasi A. Ke depan, semua LPTK yang belum berorientasi pada mutu perlu ditata ulang secara menyeluruh. Kelihatannya, Indonesia perlu belajar dari negara lain bagaimana mengelola LPTK-nya. Singapura, Finlandia, dan Korea Selatan, contohnya, hanya merekrut 30 persen, 20 persen, dan 10 persen lulusan SMA terbaik untuk dipersiapkan menjadi guru. Kedua, kelihatannya negara belum hadir untuk mengatur dengan baik pengangkatan dan penempatan guru yang telah dihasilkan LPTK. Tak mengherankan jika ada sekolah atau daerah yang kekurangan guru, tetapi di tempat lain kelebihan guru. Jika terdapat 2 persen guru yang pensiun setiap tahun, maka hanya sekitar 80.000 lulusan LPTK yang diperlukan setiap tahun. Kebutuhan ini dapat dilayani cukup oleh 18 LPTK yang sudah berakreditasi A. Di era Orde Baru, pengangkatan dan penempatan guru diatur dengan baik. Selama era Orde Baru telah dibangun sekitar 150.000 sekolah. Pada 1973-1978 telah dibangun 61.000 SD. Pada 1975, misalnya, ketika akan dibangun tambahan 10.000 SD inpres baru, penempatan satu sekolah sudah diatur lokasi dan kapasitas daya tampungnya. Penentuan lokasi itu ditetapkan bupati/wali kota setelah berkonsultasi dengan Kepala Kantor Pembinaan Dasar dan Luar Biasa (Ka Kabin PDPLB) yang bersangkutan dengan memperhatikan daerah perdesaan yang masih banyak terdapat anak-anak berumur sekitar tujuh tahun yang belum mendapat tempat di sekolah-sekolah dasar yang ada; bagian dari daerah perkotaan yang penduduknya berpenghasilan rendah; serta proyek-proyek transmigrasi dan daerah-daerah perbatasan yang memerlukan sekolah dasar (Pasal 4 Inpres No 6/1975). Setiap SD yang dibangun untuk melayani 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka. Setiap SD yang dibangun untuk melayani 1.000 anak di wilayah kelahiran mereka. Selanjutnya, di setiap SD diangkat dan ditempatkan 9 guru ASN (6 guru kelas, 1 guru olahraga, 1 guru agama, dan 1 kepala sekolah) serta 1 pegawai tata usaha. Dengan pola seperti ini dapat dihindari adanya kelebihan atau kekurangan jumlah guru di satu sekolah. Ketiga, kelihatannya negara belum hadir untuk mengatur pembinaan dan perlindungan karier guru dengan baik. Dalam hal promosi karier guru, jumlah guru perempuan, misalnya, diperkirakan 53 persen dari seluruh jumlah guru SD, 43 persen di SLTP, dan 34 persen di SLTA, tetapi yang dipromosikan menjadi kepala sekolah di SD hanya 27 persen, di SLTP 11 persen, dan di SLTA 10 persen (Katarina, 2002). Data ini kelihatannya belum berubah, bahkan kian memburuk. Sebagai ilustrasi, dari 1,4 juta guru SD, 70 persen perempuan, tetapi total kepala sekolah perempuan kurang dari 20 persen (Inovasi, 2/5/2020). Dengan kebijakan desentralisasi pendidikan, guru dan kepala sekolah terlihat pula tergiring ke arus politik lokal oleh bupati/wali kota setempat. Jika mereka tak terlibat dalam proses pemenangan bupati/wali kota terpilih, mereka dapat dimutasi atau diganti. Sebaliknya, jika mereka dinilai berjasa dalam proses kontestasi itu, mereka dapat dipromosikan ke satu posisi yang belum tentu terkait dengan kariernya sebagai guru, misalnya menjadi camat atau lurah, dan sebagainya. Akibatnya, sekolah tidak pernah stabil dari guncangan kepentingan politik lokal. Terakhir, semoga ke depan negara sungguh-sungguh hadir untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan mengelola pendidikan dengan baik, membebaskan pendidikan dari belenggu romantisisme politik sempit, dan mengelola anggarannya secara bermartabat bagi peningkatan mutunya demi keselamatan masa depan anak-anak kita, keselamatan hari depan kita bersama. Hafid Abbas, Guru Besar FIP UNJ dan Profesor Tamu di Tsai Lecture Series, Harvard University, 2006.
|