Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Survei. Zona ragu pembukaan sekolah
Tanggal 07 Desember 2020
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi X
Isi Artikel SURVEI Zona Ragu Pembukaan Sekolah Keputusan pemerintah membuka kembali sekolah di masa pandemi Covid-19 dibayangi keraguan sebagian masyarakat. Melanjutkan belajar dari rumah akan berdampak pada mutu pembelajaran, sementara membuka sekolah berisiko. Oleh MB DEWI PANCAWATI. Keputusan pemerintah membuka kembali sekolah di masa pandemi Covid-19 dibayangi keraguan sebagian masyarakat. Melanjutkan belajar dari rumah akan berdampak pada mutu pembelajaran, sementara membuka sekolah berisiko pada kesehatan siswa. Dampak pembelajaran jarak jauh (PJJ) yang berjalan 9 bulan sampai Desember nanti menjadi pertimbangan pemerintah mengizinkan sekolah memberlakukan kembali pembelajaran tatap muka awal tahun 2021 dengan persyaratan yang ketat. Namun, Surat Keputusan Bersama (SKB) 4 menteri yang diterbitkan pertengahan November lalu itu memunculkan kegamangan. Publik dihadapkan pada pilihan yang sulit. Di satu sisi, banyak masyarakat mengharapkan pembelajaran tatap muka diaktifkan kembali karena PJJ yang berlangsung lama semakin tidak efektif dan menimbulkan kejenuhan. Pada sisi lain, publik khawatir karena pembelajaran tatap muka akan dilakukan saat risiko Covid-19 meningkat. Suara publik ini terekam dalam Jajak Pendapat Kompas pada akhir November lalu. Sekitar 85 persen responden setuju dengan kebijakan pemerintah tersebut dan mengharapkan pembelajaran tatap muka kembali dilaksanakan. Namun demikian, masih ada 14 persen responden yang tidak setuju dengan pertimbangan kasus aktif Covid-19 masih tinggi. Kehilangan kualitas Ketidakefektifan PJJ menjadi alasan utama sebagian responden menginginkan pembukaan sekolah tahun depan. Metode pembelajaran daring dengan segala kelebihan dan keterbatasannya berdampak juga pada penurunan capaian pembelajaran dan akses pendidikan yang semakin timpang. Kesenjangan itu terjadi di antara siswa perkotaan dan perdesaan, atau kaya dan miskin. Perbedaan akses dan kualitas jaringan teknologi antara daerah 3T (tertinggal, terdepan, terluar) dan daerah non-3T, serta penyandang disabilitas dan nondisabilitas juga menimbulkan persoalan tersendiri. Di samping itu, ancaman meningkatnya angka putus sekolah juga membayangi PJJ. Kendala PJJ bisa mendorong peningkatan angka putus sekolah yang sebelumnya sudah berhasil dikurangi. Melihat situasi tersebut, tak mengherankan jika pemerintah memproyeksikan ada sekitar 68 juta siswa di Indonesia mengalami lost of learning, kehilangan kualitas pembelajaran. Badan Pusat Statistik juga mencatat, angka putus sekolah semakin tinggi seiring meningkatnya jenjang pendidikan. Angka putus sekolah di perdesaan juga lebih tinggi dibandingkan di perkotaan. Penurunan kuantitas dan kualitas pendidikan akibat wabah Covid-19 ini merupakan ancaman nyata. Fenomena lost of learning dan ancaman putus sekolah juga terjadi secara global. Hal ini terekam dalam laporan Bank Dunia bertajuk ”Simulating the Potential Impacts Of Covid-19 School Closures On Schooling And Learning Outcomes: A Set Of Global Estimates”, 18 Juni 2020. Laporan itu menemukan bahwa telah terjadi penurunan kualitas pendidikan di seluruh dunia akibat pandemi Covid-19. Penutupan sekolah telah menurunkan nilai rata-rata ujian sebanyak 25 persen. KHal yang sama juga terjadi pada penurunan efektivitas tahun sekolah dasar dari 7,9 tahun menjadi 7,3 tahun. Selain itu, hampir 7 juta siswa dari pendidikan dasar hingga menengah bisa putus sekolah karena guncangan pendapatan akibat pandemi. Kehilangan generasi Dampak lebih jauh yang dikhawatirkan dari PJJ yang berkepanjangan ini adalah terjadinya lost generation atau generasi yang hilang. Generasi yang mengalami kebingungan, kehilangan arah, pegangan, dan tidak tahu hendak berbuat apa, seperti situasi yang terjadi pasca-Perang Dunia I. Pandemi Covid-19 ini membuat anak-anak sekolah berisiko mengalami beberapa masalah psikologi seperti yang terjadi pada pasca-Perang Dunia I tersebut. Kondisi psikososial dan tumbuh kembang anak menjadi pertimbangan pemenuhan layanan pendidikan selama pandemi. Namun, pembelajaran jarak jauh yang terlalu lama telah menimbulkan kejenuhan, kemalasan, dan demotivasi belajar pada anak. Sebuah survei yang dilakukan Tony Blair Institute for Global Change (TBI) baru-baru ini mengenai pengalaman kaum muda tentang Covid-19 dan dampaknya pada kehidupan mereka melaporkan peningkatan perasaan takut/cemas, sedih dan marah setelah pandemi. Sementara kaum muda dari tujuh negara, termasuk Indonesia, dengan jumlah responden terbanyak (29 persen) ini mengaku kehilangan perasaan bahagia, semangat, dan penuh harapan secara signifikan. Ungkapan perasaan kaum muda dalam survei ini merupakan dampak dari kehilangan pembelajaran yang luar biasa, kurangnya interaksi sosial dengan guru dan teman sebaya, peningkatan risiko kerapuhan sosial ekonomi jangka panjang, dan paparan kekerasan di rumah. Risiko kekerasan dalam rumah, pernikahan dini, eksploitasi anak, terutama anak perempuan, dan kehamilan remaja merupakan dampak riil dari masalah psikososial akibat PJJ yang berkepanjangan. Tidak adanya aktivitas di sekolah membuat kegiatan anak tidak terkontrol. Kekerasan dalam rumah, pernikahan dini, eksploitasi anak, terutama anak perempuan, dan kehamilan remaja merupakan dampak riil dari masalah psikososial akibat PJJ yang berkepanjangan. Di Kabupaten Ponorogo, Jawa Timur, misalnya, pernikahan dini meningkat secara signifikan selama pandemi Covid-19. Pengadilan Agama (PA) Ponorogo mencatat, selama Januari hingga Agustus 2019 ada 78 pernikahan dini. Sedangkan tahun 2020 di periode yang sama sudah ada 165 pernikahan dini, meningkat lebih dari 100 persen (Kompas.com). Sementara dalam catatan Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama, dari 97 persen permohonan pernikahan dikabulkan pada Januari hingga Juni 2020, 60 persen yang mengajukan adalah anak di bawah 18 tahun. Masalah psikososial ini bisa berdampak pada menurunnya Indeks Akhir Masa Kanak-kanak, di mana tahun 2019 Indonesia berada di peringkat ke-101 dari 180 negara dengan skor 815, masih di bawah Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Pendidikan menjadi salah satu faktor pemicu masa kanak-kanak berakhir terlalu cepat selain faktor kesehatan dan gizi yang buruk, pekerja anak, pernikahan anak, kehamilan dini, ataupun konflik dan kekerasan. Prioritas. Tak dapat dimungkiri, dunia pendidikan akan menghadapi beban berat jika pandemi Covid-19 belum mereda dan terus menjalankan PJJ. Namun kekhawatiran publik dan sebagian pihak akan kesehatan dan keselamatan anak dan pendidik yang tidak bisa dijamin jika sekolah dibuka kembali harus dipertimbangkan. Data Satgas Penanganan Covid-19 melaporkan, pada 29 November 2020 dari 534.261 kasus terkonfirmasi positif Covid-19, sebanyak 60.798 kasus (11,38 persen) adalah anak usia 0-18 tahun dengan akibat 521 kematian. Hal ini menggambarkan bahwa anak juga rentan terpapar virus korona. Pada 29 November 2020, dari 534.261 kasus terkonfirmasi positif Covid-19, sebanyak 11,38 persennya adalah anak usia 0-18 tahun dengan akibat 521 kematian. Sementara jika dilihat dari perkembangan zonasi risiko per kabupaten/kota, sejak Mei hingga November zona hijau justru semakin menyempit, sedangkan zona oranye di kategori risiko sedang cenderung melebar. Dua bulan terakhir, zona merah Covid-19 pun kembali meningkat. Hal ini perlu menjadi pertimbangan pemerintah daerah yang mempunyai wewenang membuka sekolah atau tidak, di samping melihat kesiapan sekolah menyediakan sarana kebersihan dan kesehatan. BPS dalam Potret Pendidikan 2020 mencatat, masih ada 20 persen sekolah yang tidak memiliki sumber air yang layak dan sarana mencuci tangan. Pertimbangan yang matang dan kehati-hatian diperlukan dalam mengambil keputusan pembelajaran sekolah tahun depan karena risiko terpapar Covid-19 masih tinggi. Mengembalikan siswa ke sekolah seaman mungkin harus menjadi prioritas utama. (LITBANG KOMPAS)
  Kembali ke sebelumnya