Isi Artikel |
Kebebasan Akademik. Menjaga Kebebasan Akademik. Dalam kurun lima tahun terakhir, 2015-2020, serangan terhadap kampus dan akademisi terus terjadi dan meningkat. Pemerintah perlu segera menghentikan rezim anti-sains, dan wajib menjamin kebebasan akademik. Oleh HERLAMBANG P WIRATRAMAN. Our institution must always be a safe haven where all questions can be asked and answered freely. Carel Stolker, 2018 Tajuk Rencana "Kompas" (9/12/2020) mengangkat topik ‘Hargai Mimbar Akademik’. Memang, realitas dalam kurun lima tahun terakhir, 2015-2020, serangan terhadap kampus dan akademisi terus terjadi dan meningkat. Kecenderungannya, kampus-kampus di Indonesia kian terpolitisasi kekuasaan. Serangan-serangan terhadap sivitas dan aktivitas akademik dibiarkan tanpa pertanggungjawaban. Bahkan, ada pula dosen yang diancam dibunuh hanya karena mengembangkan metode pembelajaran. Sementara, di sisi lain, kampus sibuk bersolek melakukan internasionalisasi demi peringkat. Tak jarang, kampus menghalalkan segala cara untuk membayar tinggi jurnal predatorik, akibat tekanan ‘scopusisasi’, istilah untuk jurnal terindeks Scopus. Praktik ketidakjujuran menjadi jamak tanpa ragu nan malu dipertontonkan dan terinstitusionalisasi. Bahkan, obral gelar honoris causa pada para politisi dilakukan untuk mengeruk keuntungan ekonomi-politik para elite kampusnya. Sayangnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud), termasuk Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi (Ditjen Dikti) seakan mendiamkan fenomena tersebut. Sementara, di sisi lain, kampus sibuk bersolek melakukan internasionalisasi demi peringkat. Hadirnya Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, dengan gagasan ‘Kampus Merdeka’, seakan membawa angin perubahan bagi dunia pendidikan tinggi. Sejauh mana gagasan tersebut memberi ruang kebebasan akademik yang sekaligus mengembalikan fungsi kampus sebagai ruang produksi ilmu pengetahuan untuk kebijakan maupun kemanfaatan publik? Penyangkalan Dalam studi Inaya Rakhmani dan Zulfa Sakhiyya (2019) disebutkan, bahwa pembuatan kebijakan di Indonesia kerap tidak didukung riset berkualitas dan kebebasan akademik. Riset kampus, begitu mudahnya tersubordinasi oleh kepentingan ekonomi dan politik kekuasaan. Tentu ini bukan hal baru, karena dalam kumpulan tulisan yang disunting Vedi Hadiz dan Daniel Dhakidae (2006) memperlihatkan adanya kendali kekuasaan terhadap ilmu sosial. Berbasis laporan yang diadukan ke Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), hal ini tak hanya terjadi pada ilmu sosial. Pendisiplinan riset dan proses saintifikasi terjadi pula dalam bidang ilmu eksak, seperti kesehatan publik, kehutanan, geologi, dan kebencanaan. Jokowi dan bawahannya pada awalnya begitu meremehkan bahaya pandemi Covid-19 sekalipun telah diingatkan para epidemilog, ahli kesehatan publik, medis dan ahli virologi. Kebijakan insentif bagi wisatawan, kekebalan dengan ‘nasi kucing’, hingga pengiklanan Istana dengan anjuran minuman tradisional, telah melahirkan disinformasi di tengah masyarakat, sekaligus antisains. Sebaliknya, ketika epidemiolog Universitas Idonesia (UI), Pandu Riono, mengkritisi obat Covid-19 hasil penelitian Universitas Airlangga, BIN dan TNI Angkatan Darat, ia justru mendapat serangan balik dalam bentuk peretasan akun media sosialnya. Dalam struktur kekuasaan yang antisains, ilmu pengetahuan hanya menjadi aksesori politik. Sementara, intelektual di lingkungan birokrasi berakrobat membela kekuasaan dengan mengingkari sains. Benteng kebebasan Kutipan pernyataan Carel Stolker, Rektor Universitas Leiden, menegaskan bahwa kampus harus menjadi benteng kebebasan (bastion libertatis). Intelektual, secara antagonis meskipun satu atap, memang berpotensi menimbulkan kontroversi. Namun di sanalah arah untuk menghasilkan percikan pengetahuan baru. Menurut Stolker, ini adalah tradisi yang harus dijunjung tinggi oleh universitas. Kampus harus menjadi benteng kebebasan (bastion libertatis). Secara hukum, kebebasan akademik dibentengi dengan instrumen hukum hak asasi manusia, baik Pasal 13 Kovenan Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (Ekosob) maupun Pasal 19 Kovenan Hak Sipil dan Politik (Sipol). Komentar Umum Komite Hak Ekosob No 13, tentang Hak atas Pendidikan (Pasal 13), menegaskan doktrin benteng perlindungannya mencakup dua elemen. Pertama, elemen sebagai sivitas akademik, baik secara individual maupun kolektif. Sivitas akademik memiliki kebebasan berpendapat, berekspresi, termasuk kritik atas institusinya sendiri. Itu sebab, kasus yang menimpa Dr Saiful Mahdi di Universitas Syiah Kuala Banda Aceh, maupun Dr Ramsiah Ahmad di UIN Alauddin Makassar, sudah sepatutnya dikeluarkan dari ancaman pemidanaan. Begitu juga atas kasus mahasiswa Frans Napitu yang melaporkan dugaan korupsi Rektor Universitas Negeri Semarang, tidak bisa direpresi dengan menghukum skorsing dengan alasan yang dicari-cari, seperti keterlibatan dalam aksi anti rasisme Papua. Kedua, elemen otonomi kampus. Kebebasan akademik harus disertai jaminan menjalankan kemandirian institusi untuk memudahkan efektivitas pengambilan keputusan. Hal demikian diikuti oleh akuntabilitas publik, apalagi bila kampus menggunakan dana negara. Integritas dan budaya akademik, harus dijunjung tinggi. Birokratisme negara tidak boleh mencampuri terlalu jauh, apalagi berkuasa atas penentuan jabatan di kampus. Intinya, kampus tidak boleh menjadi kepanjangan tangan penguasa. Plagiarisme maupun pemalsuan, jelas bukan budaya akademik. Sehingga, budaya peer review (kolegialitas menguji di kalangan para ahli) diberi ruang yang lebih kuat menciptakan iklim kebebasan akademik di kampus. Kedua elemen inilah benteng kebebasan yang harus dijaga, tidak hanya oleh sivitas akademik, melainkan pula oleh manajemen kampus, pemerintah, maupun publik luas. Merdeka Serangan terhadap kebebasan akademik paralel dengan merosotnya ruang kebebasan sipil, yang hari ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan pula menjadi fenomena global. Hal ini seiring dengan menguatnya otoritarianisme kekuasaan. Dalam catatan KIKA (2020), ada tujuh tren serangan. Dalam catatan KIKA (2020), ada tujuh tren serangan. Pertama, serangan siber terhadap aktivitas akademik (digital violence). Kedua, penundukan kampus maupun lembaga riset oleh otoritas negara. Surat imbauan Dirjen Dikti (1035/E/KM/2020) yang melarang demonstrasi menolak Undang-Undang Cipta Kerja, merupakan contoh ini. Ketiga, tekanan terhadap pers mahasiswa. Keempat, kriminalisasi dengan dalih pencemaran reputasi atau gugatan balik. Kelima, pembungkaman terhadap solidaritas sosial Papua. Keenam, meningkatnya eskalasi penangkapan/penahanan dalam aksi tolak UU Cipta Kerja. Ketujuh, skorsing terhadap dosen maupun mahasiswa atas alasan tanpa dasar. Kepentingan nasional sering dianggap sebagai alasan bagi negara untuk membungkam kebebasan ekspresi, termasuk akademik. Sayangnya, kebijakan soal ‘Kampus Merdeka’, sama sekali tak menyentuh elemen dasar kebebasan akademik sebagai prasyarat untuk pengembangan institusi pendidikan tinggi. Itu sebabnya, orientasi ‘Kampus Merdeka’ tak cukup pada aspek kelembagaan/stuktural kebijakan perguruan tinggi, melainkan merdekakan sivitas akademik dan kampusnya membangun ekosistem riset dan kebebasan pengembangan keilmuan secara lebih kuat. Semoga pemerintah hari ini memutar arah untuk menghentikan rezim anti-sains yang justru menjauhkan dari cita-cita pencerdasan kehidupan bangsa. Sekaligus, kewajiban untuk menghargai dan melindungi serta memastikan langkah-langkah untuk menjamin kebebasan akademik. Herlambang P Wiratraman, Ketua Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
|