Isi Artikel |
Pendidikan
Problem Pendidikan dari Sudut Pandang Lain
Pendidikan karakter harus mulai ditekankan sejak dini kepada anak-anak kita. Mereka perlu diperkenalkan dengan karakter positif, agar bangsa kita tak terus berkubang dengan karakter negatif (ketidakjujuran, korupsi, dll)
Oleh ALI KHOMSAN
23 Desember 2020 14:00 WIB · 5 menit baca
SUPRIYANTO
ils
Artikel Prof Syamsul Riza menyoal pandangan umat Islam tentang pendidikan (Kompas, 1/12/2020). Dikatakan bahwa mubalig atau ustaz mengarahkan umat Islam untuk lebih mengutamakan ilmu yang terkait agama Islam atau ilmu akhirat daripada ilmu dunia. Akhirnya para siswa tidak fokus dalam menuntut ilmu dunia.
Terbukti dari hasil PISA (Programme for International Student Assessment) bahwa kemampuan siswa Indonesia di bidang sains, matematika, dan membaca hanya sejajar dengan negara-negara miskin dan berkonflik.
Saya juga sering mengaji, tetapi tidak sepenuhnya setuju dengan pandangan Prof Syamsul Riza. Pendidikan di Indonesia problemnya sungguh kompleks, bukan melulu ustaz menganjurkan ilmu akhirat (ini hal wajib yang juga harus dipelajari).
Seperti bangsa-bangsa lain di dunia, Indonesia menyelenggarakan pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Bahkan, kini pendidikan anak usia dini juga mendapatkan perhatian serius dari pemerintah.
Akses pendidikan yang semakin mudah akan menjadikan bangsa Indonesia yang semakin terdidik.
Adalah suatu langkah positif ketika pemerintah menggratiskan pendidikan dasar 9 tahun, yang mungkin nantinya akan ditingkatkan menjadi pendidikan gratis 12 tahun. Akses pendidikan yang semakin mudah akan menjadikan bangsa Indonesia yang semakin terdidik.
Kemajuan teknologi tidak menginginkan manusia-manusia penghafal informasi karena informasi kini bisa diakses dalam hitungan detik melalui internet. Anak-anak yang semakin melek teknologi harus lebih diarahkan sehingga kegemarannya menggunakan gadget bukan sekadar untuk bermedsos atau main gim.
Pendidikan kita selama ini menekankan pada pendalaman iptek. Setiap hari siswa menelan kurikulum yang padat di sekolah dan kemudian masih harus mengikuti berbagai les karena tuntutan orangtua atau tuntutan keadaan. Akhirnya, anak-anak kita kelelahan dan menjadi kurang kreatif dan rendah kemampuan analisisnya.
Meski saat ini anak didik belajar secara daring akibat pandemi, tak kurang banyak orangtua yang mengeluhkan tugas-tugas sekolah via daring sehingga para orangtua pun ikut stres memikirkan PR anaknya.
Kurikulum pendidikan di Indonesia sepertinya diharapkan untuk mencetak anak super. Ketika anak saya masih duduk di kelas III SD, saya yakin kompetensi yang diharapkan dikuasai dengan baik adalah membaca, menulis, dan berhitung (matematika). Namun, pada kenyataannya, siswa kelas III SD menerima banyak mata pelajaran dengan tingkat kedalaman yang luar biasa.
Bayangkan, untuk mata pelajaran IPA mereka sudah harus memahami berbagai jenis tanah, seperti tanah aluvial, litosol, organosol, andosol. Mereka juga harus dapat membedakan bebatuan, seperti batu granit, obsidian, basal, breksi. Apakah pendidikan kita akan mengarahkan anak-anak menjadi seorang geolog?
Kita jangan berpikiran bahwa mumpung otak anak-anak sedang berkembang, maka perlu diisi sepadat-padatnya dengan informasi ilmu pengetahuan. Padahal, informasi yang berlebihan akhirnya akan luber dan tumpah sehingga tidak ada gunanya.
Materi pelajaran yang terlalu dalam dan sangat beragam tidak akan menghasilkan anak-anak brilian.
Materi pelajaran yang terlalu dalam dan sangat beragam tidak akan menghasilkan anak-anak brilian. Kurikulum harus sesuai dengan perkembangan usia anak. Kurikulum yang padat dan mendalam menyebabkan hanya sebagian kecil siswa yang dapat menyerap pelajaran dengan baik. Sementara yang kemampuannya pas-pasan, apalagi di bawah rata-rata, lebih banyak bengong.
Masih ingat ketika nilai UN siswa beberapa tahun lalu drop sangat rendah, ternyata soal-soal UN dibuat untuk higher order thinking skills. Ini mengindikasikan bahwa siswa selama ini ternyata hanya mampu berpikir baik bila soal ujiannnya lower order thinking skills.
Persoalan lain yang harus dihadapi oleh dunia pendidikan adalah adanya keluhan bahwa sistem pendidikan kita tidak melatih siswa untuk berani mengemukakan pendapat. Mereka diberikan banyak latihan-latihan (drill) dengan informasi-informasi yang bersifat hafalan. Ini jelas berbeda dengan sistem pendidikan Barat (baik yang formal maupun nonformal) yang selalu merangsang curiousity atau keingintahuan seorang anak.
Pada era persaingan dewasa ini, dunia orangtua seakan kiamat kalau anaknya tidak bisa meraih peringkat 10 besar di dalam kelasnya. Orangtua pun akhirnya membiayai anaknya untuk ikut berbagai kursus tambahan (les). Citra yang muncul adalah bahwa pendidikan di sekolah, yang meskipun muatan kurikulumnya sudah sangat padat, toh belum dianggap cukup oleh orangtua.
Berbagai kursus tersebut memang dapat meningkatkan wawasan anak, tetapi tak jarang anak menjadi sangat kelelahan baik mental maupun fisik karena tiada hari tanpa kursus. Kesibukan berkursus ini juga menghilangkan kesempatan anak untuk bersosialisasi dengan lingkungan di sekitar tempat tinggalnya yang merupakan sarana hidup bermasyarakat.
Kehidupan sosial anak seyogyanya harus tetap terfasilitasi, di samping kebutuhannya akan sarana belajar yang baik. Dengan demikian prestasi akademik dan prestasi sosial akan berjalan beriringan. Bukankah keberhasilan hidup bukan semata-mata ditentukan oleh faktor inteligensi akademik?
Dunia yang semakin kompetitif menuntut individu-individu dengan emotional quotient (EQ) yang tinggi.
Dunia yang semakin kompetitif menuntut individu-individu dengan emotional quotient (EQ) yang tinggi. Pandangan yang menganggap IQ merupakan hal terpenting dalam karier seseorang telah dikoreksi karena EQ (bukan IQ) dalam kehidupan modern saat ini dianggap lebih dapat memprediksi kesuksesan seseorang.
Menghadapi perubahan teknologi yang demikian cepat, kualitas anak Indonesia yang diharapkan adalah: memiliki kemampuan bekerja sama (teamwork), mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat, dapat berkomunikasi dengan baik, berpikir kreatif, memiliki jiwa kepemimpinan, serta motivasi yang tinggi.
Pendidikan bukan hanya menghasilkan SDM yang siap menjadi pekerja, tetapi SDM yang memiliki jiwa entrepreneurship, kemampuan analitik, berpikir efektif dan efisien, serta lebih dari itu semua adalah adanya karakter positif (disiplin, kerja keras, jujur) yang melekat kuat dalam dirinya.
Pendidikan karakter harus mulai ditekankan. Kejujuran, kedisiplinan, etos kerja keras, mau mengakui kelebihan orang lain, legowo menerima kekalahan adalah dagangan langka di republik ini. Bila tidak sejak dini anak-anak kita diperkenalkan dengan karakter positif, bangsa ini akan terus berkubang dengan karakter negatif (ketidakjujuran, korupsi, hanya pandai mengkritik, dan lain-lain).
(Ali Khomsan, Guru Besar dan Dosen Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) IPB)
|