Isi Artikel |
PENDIDIKAN
Merekrut Satu Juta Guru, Harapan dan Kecemasan
Guru honorer selama bertahun-tahun mengabdi, bahkan tak sedikit yang sudah bertugas mengajar lebih dari 20 tahun. Rencana ambisius itu merupakan sebuah keniscayaan dan mendesak dilakukan.
Oleh SATRIWAN SALIM
11 Desember 2020 06:15 WIB · 6 menit baca
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Duradin (51), guru SDN 1 Kaliwulu (kiri) bersama Dede Juhadi (36), guru SDN 1 Astapada, saat ditemui di Kabupaten Cirebon, Jawa Barat, Jumat (20/11/2020). Duradin merupakan guru honorer yang telah mengabdi 31 tahun sedangkan Dede mengajar delapan tahun terakhir.
”Seorang guru adalah korban, korban untuk selama-lamanya. Dan kewajibannya terlampau berat, membuka sumber kebajikan yang tersembunyi dalam tubuh anak-anak bangsa. Dan mereka yang tiga orang itu dengan sungguh-sungguh. Kami bercita-cita jadi guru walau bagaimanapun sukarnya. Dan aku angguk-anggukkan kepala kepada tiga orang itu”. Demikian Pramoedya Ananta Toer dalam Bukan Pasar Malam, 2015.
Rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bersama Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi membuka perekrutan satu juta guru secara nasional pada 2021, dengan status pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (P3K), memberi para guru honorer harapan sekaligus kecemasan.
Baca juga: Mengelola Guru dengan Janji
Guru honorer selama bertahun-tahun mengabdi, bahkan tak sedikit yang sudah bertugas mengajar lebih dari 20 tahun. Rencana ambisius itu merupakan sebuah keniscayaan dan mendesak dilakukan. Hal ini mengingat lima tahun ke depan sampai 2024 secara nasional kita kekurangan 1.312.799 guru, sebuah angka yang fantastis. Lebih dari dua kali lipat dibandingkan dengan jumlah penduduk Brunei Darussalam.
Rencana ambisius itu merupakan sebuah keniscayaan dan mendesak dilakukan.
Kekurangan guru secara nasional berturut-turut 1.020.921 (2020), 1.090.678 (2021), 1.167.802 (2022), dan 1.242.997 (2023). Saat ini jumlah guru berstatus pegawai negeri sipil (PNS) di sekolah negeri sebanyak 1.236.112 orang dan guru bukan PNS alias honorer 742.459 orang (Kemendikbud, 2020). Artinya, sekarang pun, sekolah-sekolah negeri masih kekurangan guru berstatus aparatur sipil negara (ASN).
Keberadaan guru honorer sangat membantu pelayanan pendidikan terhadap peserta didik kita sehingga proses pembelajaran tetap berlangsung. Keberadaan guru honorer sangat penting dan strategis hingga kini, memiliki tugas dan beban mengajar yang relatif sama, bahkan terkadang lebih berat daripada guru ASN. Namun, mereka minim mendapatkan kesejahteraan, penghargaan, dan perlindungan.
Baca juga: Problematika Guru Honorer
Ambil contoh, para guru honorer K-1 (Kategori 1) di Kabupaten Blitar, yang terus didampingi dan diadvokasi Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) hingga kini. Sudah mengajar belasan tahun, bahkan ada yang mengajar sejak 1997 sebagai guru honorer sampai sekarang, dengan upah per bulan ”hanya” Rp 1 juta bersih. Di Kabupaten Konawe, guru honorer sudah lama mengabdi, diberi pilihan dilematis: menerima upah per bulan dari daerah atau menerima tunjangan profesi guru dari pusat. Tak boleh ambil keduanya.
DOKUMENTASI PRIBADI
Sriyani Wongkar (27) guru honorer di SD Inpres Boyongpante, Kecamatan Sinonsayang, Kabupaten Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, sedang mengajarkan siswa Kelas II saat pembelajaran dari rumah.
Para guru honorer diberikan pilihan pahit seperti itu. Padahal, memperoleh tunjangan profesi guru merupakan hak sebagai guru profesional karena mereka sudah memiliki sertifikat pendidik, berdasarkan UU No 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Menerima imbalan upah per bulan juga merupakan hak profesional karena sudah menunaikan kewajiban.
Oleh karena itu, membuka lowongan guru honorer jadi ASN (P3K) merupakan impian yang selama ini didambakan. Kebijakan yang jadi strategi nasional untuk memenuhi kebutuhan guru.
Baca juga: Pendidikan Bertumpu pada Guru Honorer
Selanjutnya, agar perekrutan satu juta guru lebih terbuka, berkeadilan, proporsional, dan dengan prinsip sistem merit, ada beberapa catatan penting yang perlu disadari pemerintah pusat dan daerah.
Guru PNS dan P3K
Pertama, sebagaimana dipahami, UU No 5 Tahun 2014 tentang ASN membagi ASN menjadi dua: PNS dan P3K. Untuk guru PNS, syarat maksimal usia pelamarnya 35 tahun, sebagaimana lazim dilakukan selama ini. Adapun syarat guru P3K, memberikan kesempatan kepada honorer yang berusia di atas 35 tahun.
Kesempatan bagi guru honorer "tua" sangat besar mengikuti seleksi P3K.
Kesempatan bagi guru honorer ”tua” sangat besar mengikuti seleksi P3K. Adapun bagi guru honorer ”muda” dan calon guru lulusan anyar lebih besar lagi. Tak hanya berpeluang menjadi guru P3K, mereka juga semestinya berkesempatan jadi guru PNS. Di sisi lain, mereka yang lulusan baru dan guru honorer muda banyak yang sudah memegang sertifikat pendidik. Yang berarti, sudah diakui jadi guru profesional oleh negara.
Jadi, seharusnya lowongan satu juta guru tak hanya diisi oleh guru P3K, tetapi juga guru PNS. Artinya, harapan para guru honorer, agar di tahun 2021 pemerintah pusat tetap membuka lowongan guru PNS umum kepada publik, tak hanya lowongan guru P3K. Dengan catatan, prioritas tetap diberikan kepada guru honorer tua, khususnya yang sudah memiliki sertifikat pendidik, menjadi nilai tambah dalam seleksi.
Baca juga: Guru Belum Diperlakukan secara Profesional
Kedua, prinsip kepastian hukum, profesionalitas, nondiskriminatif, keadilan, kesetaraan, dan kesejahteraan merupakan beberapa asas dalam penyelenggaraan kebijakan dan manajemen ASN. Implikasinya adalah adanya perlakuan yang adil terhadap guru P3K. Sebab, baik guru P3K maupun guru PNS sama-sama abdi negara.
KOMPAS/YUNIADHI AGUNG
Suhendi, guru honorer mengajar di kelas jauh SD Kuta Karang 3, Kecamatan Cibitung, Kabupaten Pandeglang, Banten, Sabtu (21/11/2015). Sekolah ini kekurangan guru karena lokasinya terpencil sehingga tidak banyak guru yang berminat mengajar di tempat ini.
Bentuk adanya ketidakpastian hukum, diskriminasi, ketidaksetaraan, dan ketidakadilan terhadap guru P3K adalah para guru honorer yang sudah lolos seleksi P3K berjumlah 34.954 orang (seleksi 2019) hingga akhir 2020 ini masih terkatung-katung nasibnya. Mereka belum dapat NIP kepegawaian, belum ditempatkan, belum mengikuti latihan dasar sebagai ASN, bahkan belum menerima gaji dari negara.
Padahal, P3K ini sudah dipayungi Peraturan Pemerintah No 49 Tahun 2018 tentang Manajemen P3K. Bahkan, skema gaji dan tunjangan P3K pun sudah dikeluarkan pemerintah dalam Perpres No 98 Tahun 2020. Lantas, mengapa nasib mereka masih demikian?
Baca juga: Pengangkatan Guru Honorer Menjadi PPPK Dipermudah
Fakta sebaliknya, guru PNS seleksi tahun 2019 sudah tuntas dan beres semua, sudah menerima NIP, sudah diberi penempatan tugas, sudah mengikuti pelatihan dasar sebagai ASN, bahkan sudah menikmati gaji. Adanya perbedaan perlakuan (diskriminasi) dari negara terhadap guru PNS dan P3K menimbulkan kecemasan bagi para guru honorer untuk ramai-ramai mengikuti tes seleksi satu juta guru pada 2021.
Kecemasan ini hendaknya diantisipasi jauh-jauh hari oleh pemerintah jika tak ingin peminat jadi guru menjadi lesu.
Kecemasan ini hendaknya diantisipasi jauh-jauh hari oleh pemerintah jika tak ingin peminat jadi guru menjadi lesu. Caranya, segera tunaikan dan tuntaskan ”utang” pemerintah kepada 34.954 guru P3K tadi.
Mesti diingat, dalam Peraturan Menpan dan RB No 14 Tahun 2019 tentang Pembinaan P3K yang Menduduki Jabatan Fungsional, Pasal 14 (3) menyebutkan klausul, pemutusan hubungan perjanjian kerja jika tidak memenuhi target kinerja. Artinya, posisi guru P3K sangat lemah, secara sepihak dapat dipecat di tengah jalan jika performa mengajarnya tidak baik. Berbanding terbalik dengan pemberhentian guru PNS, tidak semudah itu aturannya.
Ketiga, di antara persoalan guru yang pelik adalah rendahnya kompetensi. Salah satu strategi agar kompetensi guru lebih baik adalah pembenahan perekrutan di awal. Reformulasi penerimaan guru ASN sepatutnya dibedakan dari format perekrutan ASN selain guru.
Dalam seleksi awal guru PNS/P3K ke depan, masukkan variabel passion ’hasrat’ menjadi guru. Agar individu-individu yang lolos seleksi benar-benar pilihan, sangat berminat menjadi guru, sejak dalam pikiran. Bukan karena tak ada lagi pekerjaan lain atau yang penting menjadi ASN.
KOMPAS.COM
Satriwan Salim
Proses pembedaan dan pemilahan tes perekrutan guru ASN dari awal akan memengaruhi kompetensi guru ke depan. Persyaratan dan proses menjadi guru profesional memang berliku. Menjadi guru tak sekadar ikut tes CPNS/P3K dengan serangkaian ujian pengetahuan. Apalagi persyaratan batiniah (hasrat) menjadi guru, jelas tidak semua orang punya. Meski demikian, ”kami bercita-cita jadi guru walau bagaimanapun sukarnya”, seperti kutipan novel Pram di awal tulisan ini.
Satriwan Salim, Koordinator Nasional Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G)
|