Isi Artikel |
Presiden Joko Widodo (kedua kiri) didampingi Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan Muliaman Hadad (kiri), Menteri Keuangan Sri Mulyani (kedua kanan) dan Dirjen Pajak Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi saat sosialisasi pengampunan pajak (amnesti pajak), di JI-Expo Kemayoran, Jakarta, Senin (1/8).
“Feeling saya, minggu ketiga dan keempat Agustus, paling lambat awal-awal September, akan banyak sekali yang masuk. Akan kelihatan,” ungkap Presiden Joko Widodo.
Lebih dari 5.000 orang undangan, bahkan 10.000 orang menurut Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia Hariyadi B. Sukamdani, memadati Hall D2 Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta.
Ribuan orang tersebut hadir untuk mendengarkan pidato sosialisasi tentang amnesti pajak dari Presiden dalam acara yang diinisiasi oleh Apindo.
Dua pintu yang dibuka sejak pukul 12.00 WIB nampak dipadati oleh warga yang berderet, bersabar menunggu giliran masuk. Sejumlah warga yang ditemui Bisnis mengaku ingin melihat Jokowi menyampaikan sosialisasi pengampunan pajak.
Sebagian besar mengaku rela berpanaspanas dan mengular di koridor aula. Bahkan, hingga pintu ditutup sekitar pukul 14.00 WIB karena Presiden RI masuk ke aula, masih banyak calon pengunjung yang tidak dapat masuk.
“Saya ingin dengar dari Pak Jokowi,” kata salah seorang pengunjung, atau, “Tidak apa-apa , kan ada Pak Jokowi,” kata pengunjung lainnya.
Antusiasme warga yang ingin mendengarkan sosialisasi ini nampaknya ditangkap oleh Jokowi. Sesaat setelah menyapa dan bersalaman dengan para undangan, dalam pidatonya Jokowi menyinggung mengenai ramainya hadirin yang datang.
“Saya diberi tahu, ketika sosialisasi di Surabaya yang diundang 2.000 orang, yang datang 2.700 orang. Di Medan, yang diundang dari 2.000 orang ditambah jadi 3.000 orang, yang datang 3.500 orang.
Di sini, kemarin saya diberi tahu oleh Pak Hariyadi yang diundang 5.000 orang, kok banyak sekali yang hadir, 10.000 orang,” kata Presiden disambut tepuk tangan meriah.
Dalam pidatonya, Jokowi memperlihatkan kalau antusiasme itu seiring dengan optimisme pemerintah untuk menjaring tebusan, baik dari deklarasi dalam negeri dan luar negeri serta repatriasi.
Jokowi mengaku di hadapan hadirin kalau dirinya memiliki rangkaian data yang menunjukkan kalau aset WNI di luar negeri yang bahkan lebih besar dari rilis resmi oleh Kementerian Keuangan sebesar Rp11.000 triliun. Hingga Senin (1/8), Ditjen Pajak Kementerian Keuangan Ken Dwijugiasteadi melaporkan baru Rp4,45 triliun yang diungkapkan oleh Wajib Pajak kepada otoritas dari 344 surat pernyataan harta.
Angka tersebut menghasilkan uang tebusan yang langsung masuk ke dalam kas negara sebesar Rp98,4 miliar. Dari keseluruhan pengungkapkan harta itu, repatriasi hanya menyumbang Rp583 miliar, diiringi oleh deklarasi luar negeri Rp713 miliar dan porsi terbesar masih dipegang oleh deklarasi dalam negeri Rp3,15 triliun.
DANA LIKUID
Seperti biasa dan yang sering terjadi, setiap kebijakan pasti menemui kendala. Seorang bankir senior yang memiliki koneksi luas terhadap pengusaha di Indonesia memaparkan salah satunya.
Apabila Pemerintah menyatakan ada sekitar Rp1.000 triliun dana yang bisa pulang ke Indonesia alias repatriasi berlandaskan program ini, dia mengestimasi dana likuid WNI yang berada di Singapura tidak lebih dari 10%. Oleh sebab itu, dia menuturkan kecil kemungkinan terjadi ‘perebutan likuiditas’ antar kedua negara akibat program ini.
“Kalaupun direpatriasi, likuiditas itu tidak mungkin berpengaruh ke Negeri Singa,” ujarnya melalui sambungan telepon dari Singapura.
Namun demikian, dia mengakui kalau program ini merupakan gebrakan yang berpeluang memberikan efek besar bagi ekonomi Indonesia. Menurutnya, isu mengenai langkah bank maupun wealth management di Singapura yang berniat menghambat uang WNI untuk ‘mudik’ tidak perlu ditakutkan.
“Bank-bank di Singapura harus menerima kenyataan bahwa orang Indonesia sudah berpikir terbuka dan inovatif. Jadi hadapi saja dengan baik, bersaing saja dengan sehat.” Ekonom DBS Bank Gundy Cahyadi mengatakan, Pemerintah Indonesia tidak perlu khawatir apabila dana besaran dana yang direpatriasi tidak sesuai dengan yang ditargetkan.
“Kita mesti ingat bahwa program tax amnesty ini mencakupi deklarasi dan repatriasi. Menurut kami, pendapatan pajak dari deklarasi ini yang akan membawa dampak signifikan kepada posisi fiskal indonesia,” katanya.
Menurut Gundy, aspek paling penting untuk menarik dana repatriasi adalah kesiapan dan kejelasan mengenai detail-detail instrumen untuk menampung dana tersebut.
Kalau instrumen ini menarik, tuturnya, jumlah dana yang pulang ke Indonesia akan meningkat. Beberapa ekonom lainnya justru melontarkan kecemasan berbeda mengenai pelaksanaan program pengampunan pajak.
Kepala Ekonomi Samuel Asset Management Lana Soelistianingsih mengatakan ada peluang likuiditas di perbankan akan tersedot ke rekening pemerintah ketika membayar tarif tebusan.
“Ini perlu koordinasi dengan Bank Indonesia dan mudahmudahan secepatnya direalisasikan untuk belanja negara. Jangan terlalu lama disimpan di rekening pemerintah di Bank Indonesia,” kata Lana.
Meski realisasi hingga kemarin tersebut relatif sangat kecil, Presiden tidak khawatir. Dengan yakin, dia mengatakan telah bertemu dengan berbagai kalangan pengusaha.
Dari pertemuan tersebut, Kepala Negara memaklumi apabila WP pada mingguminggu pertama pelaksanaan program pengampunan pajak ini masih dalam tahap menghimpun informasi, belum sampai fase mendeklarasi dan membayar uang tebusan.
Untuk itu, dia mengajak pengunjung untuk memanfaatkan amnesti pajak. Apalagi, katanya, program ini untuk yang terakhir kalinya, setelah dua kali pelaksanaan amnesti pajak pada 1964 dan 1984 menemui kegagalan.
“Kita hidup, kita makan, kita bertempat tinggal dan mencari rezeki dengan segala kemudahan di Indonesia. Kami membutuhkan bantuan Anda, untuk negara yang kita cintai ini,” ujarnya.
|