Judul | Garuda Putuskan Kontrak Pesawat yang Merugikan |
Tanggal | 10 Februari 2021 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 0 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi V - Komisi VI |
Isi Artikel | PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk siap menanggung konsekuensi bisnis dari pemutusan kontrak sewa Bombardier CRJ1000 secara sepihak. Oleh AGNES THEODORA JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah dan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk menghentikan secara sepihak kontrak sewa pesawat Bombardier CRJ1000 dari Nordic Aviation Capital. Kontrak pengadaan pesawat itu merugikan Garuda lebih dari 30 juta dollar AS per tahun selama tujuh tahun berturut-turut. Dari 18 pesawat tipe Bombardier CJ1000 yang dioperasikan Garuda saat ini, 12 pesawat dikontrak dari perusahaan penyewa pesawat Nordic Aviation Capital (NAC) di Denmark dengan skema murni menyewa. Sementara enam pesawat lainnya dikontrak dari perusahaan asal Kanada, Export Development Canada EDC, dengan skema tersedia opsi membeli. Pemutusan kontrak secara sepihak terhadap 12 pesawat Bombardier CRJ1000 dari NAC dimulai pada 1 Februari 2021 atau enam tahun lebih cepat dari masa kontrak yang seharusnya jatuh tempo pada 2027. Saat ini, pesawat yang dikontrak sejak 2011 itu diparkir di Bandara Soekarno-Hatta, Tangerang, Banten, dengan status tidak digunakan lagi. Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra, Rabu (10/2/2021), mengatakan, dari tahun ke tahun, Garuda rugi besar akibat menggunakan pesawat Bombardier CRJ1000. Selama tujuh tahun terakhir, Garuda merugi sampai lebih dari 30 juta dollar AS atau Rp 419,6 miliar setiap tahun. Sementara biaya menyewa pesawat itu adalah 27 juta dollar AS. Menurut Irfan, kerugian dialami karena pesawat Bombardier CRJ1000 tidak sesuai dengan kebutuhan pasar Indonesia. ”Apabila kita terminasi dari Februari ini, kita bisa menyelamatkan lebih dari 220 juta dollar AS. Ini upaya untuk menghilangkan atau minimal mengurangi kerugian dari penggunaan pesawat ini di Garuda. Ditambah dengan kondisi pandemi seperti ini, kami tidak punya pilihan selain secara profesional menghentikan kontrak ini,” kata Irfan dalam konferensi pers daring di Jakarta. Penghentian kontrak itu berlangsung sepihak karena setelah berulang kali mencoba bernegosiasi, upaya Garuda tidak kunjung mendapat sambutan positif dari pihak NAC. Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, pemerintah mendukung penuh langkah Garuda untuk menghentikan kontrak. Langkah tegas itu dinilai paling tepat untuk menyelamatkan uang perseroan dan negara dari kerugian terus-menerus. ”Negosiasi sudah kita lakukan. Akan tetapi, kalau negosiasinya dicuekin atau bertepuk sebelah tangan, kita bisa tepuk tangan sendiri. Jadi, kita ambil posisi saja. Landasan hukum kita kuat, karena di sini KPK sudah terjun dan di luar negeri juga kasus ini masih terus dieksplorasi,” kata Erick. Negosiasi lagi Selain kontrak dengan NAC, Garuda juga sedang melakukan negosiasi pemutusan kontrak serupa dengan perusahaan penyewa lainnya, yaitu EDC dari Kanada. ”Kami sudah sampaikan proposal ke EDC, keinginan kami untuk menyelesaikan sisa pembayaran. Kami masih menunggu respons balik dari mereka,” ujar Irfan. Secara bisnis, Irfan menyadari ada konsekuensi dari langkah menghentikan kontrak secara sepihak dengan NAC. Namun, pihaknya siap menanggung konsekuensi itu secara profesional. Saat ini, Garuda juga masih menunggu hasil investigasi dari Serious Fraud Office Inggris terkait kasus suap seputar kontrak pesawat tersebut. Hal itu dijadikan alasan kuat untuk mengambil keputusan terminasi kontrak. ”Kami akan menjadikan itu alasan kuat untuk meyakinkan pihak NAC bahwa keputusan kami bukan keputusan yang emosional, tetapi keputusan yang bersifat komersial dan ada landasan legalnya,” kata Irfan. Untuk memastikan konektivitas tetap berlangsung, Garuda memutuskan mengganti armada di rute penerbangan yang selama ini menggunakan 12 Bombardier CRJ1000 dengan Boeing 737-800 yang dimiliki Garuda. ”Tidak ada niat dalam waktu dekat untuk membeli pesawat baru untuk menggantikan ini. Kami akan memanfaatkan pesawat yang saat ini ada,” katanya. Pada 8 Mei 2020, bekas Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar divonis 8 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 3 bulan kurungan. Ia juga harus membayar uang pengganti 2.117.315,27 dollar Singapura atau sekitar Rp 22,38 miliar subsider 2 tahun kurungan. KPK mendalami kasus itu bersama SFO Inggris sejak pertengahan 2016. Dalam dakwaan pertama, Emirsyah terbukti menerima uang suap setidaknya Rp 48 miliar dalam bentuk rupiah dan sejumlah mata uang asing. Uang itu diterimanya untuk memuluskan beberapa pengadaan yang dikerjakan Garuda Indonesia. Pengadaan itu antara lain Total Care Program mesin (RR) Trent 700, pengadaan pesawat Airbus A330-300/200, pesawat Airbus A320 untuk PT Citilink Indonesia, pengadaan pesawat Bombardier CRJ1000, dan pesawat ATR 72-600. Dalam dakwaan kedua, Emirsyah terbukti melakukan pencucian uang dengan tujuh cara, seperti melunasi kredit dan merenovasi rumah (Kompas, 9/5/2020). |
Kembali ke sebelumnya |