Isi Artikel |
BUMDes Au Wula menampung hasil pertanian dari warga yang selama ini sulit dipasarkan. BUMDes ini juga memelopori pariwisata lokal menawarkan ”home stay” hingga pemandangan Danau Kelimutu.
Oleh KORNELIS KEWA AMA
”Hi, Moms, susah ke pasar dan sulit dapat sayuran di musim pandemi, yuk mari belanja di dapur kita. Cukup klik di WA, paket sampai di rumah. Cara pembayaran pun mudah, bisa pake transfer, COD bisa juga pakai QRIS (QR Code). Juga, kunjungilah Detusoko Barat, nikmati keindahan alam dan keramahan warganya.”
Demikian promosi hasil produk pertanian dan pariwisata oleh Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) Au Wula, Desa Detusoko Barat, Kecamatan Detusoko, Ende, Nusa Tenggara Timur, yang viral di media sosial.
Cerita BUMDes di Nusa Tenggara Timur sebenarnya tidak begitu menggembirakan. Dari 3.026 desa penerima dana desa, baru 2.156 desa memiliki BUMDes. Itu pun yang aktif 1.419 unit, sisanya737 unit tidak aktif. Dari yang aktif, baru 657 BUMDes yang mampu bekerja secara daring.
Ada 682 BUMDes masih bekerja secara tradisional alias secara luring. BUMDes yang bekerja secara daring ini pun sebagian besar belum menunjukkan hasil kinerja memuaskan.
Hambatan bertambah saat pandemi Covid-19 menerjang. Hampir 99 persen dana desa untuk menangani Covid-19 dan dampaknya, yakni pengadaan alat pelindung diri (APD) desa, pemberian bantuan langsung tunai (BLT) desa, dan proyek padat karya desa. Sebagian besar kepala desa fokus pada penanggulangan pandemi dan mengesampingkan pengembangan BUMDes.
Namun, seakan melawan kondisi, BUMDes Au Wula Desa Detusoko Barat, Ende, menolak menyerah dan mati di masa pandemi ini. Meski baru berdiri pada 2017, BUMDes di desa yang terletak sekitar 33 kilometer dari Ende, NTT, ini sudah meraih penghargaan 10 besar nasional sebagai BUMDes yang mampu berinovasi di tengah pandemi Covid-19 tahun 2020.
Kepala Desa Detusoko Barat, Ende, NTT, Ferdinandus Watu kala dihubungi Minggu (21/2/2021) mengatakan, situs dapurkita.bumdesmart.id yang digagas pada Maret 2020 ternyata menjadi role model pengelolaan BUMDes nasional oleh Kementerian Dana Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi.
Penggagas dan inspirator BUMDes Au Wula adalah Ferdinandus Watu sendiri. Kepala desa yang menduduki jabatannya sejak 2019 itu disebut lulusan magister pariwisata di salah satu perguruan tinggi di Amerika Serikat dan sarjana filsafat Katolik di Sekolah Tinggi Filsafat Katolik Ledalero, Maumere, NTT.
Ferdinandus Watu, yang akrab disapa Nando, jauh sebelumnya telah berkiprah di desanya dengan menghimpun anak-anak muda membangun desa melalui beberapa kegiatan, antara lain, meningkatkan literasi dengan pengadaan perpustakaan desa, pembentukan organisasi remaja mandiri, dan kepariwisataan berbasis kearifan lokal. Ia juga terlibat dalam sejumlah pertemuan internasional tentang pertanian desa.
Nando mengatakan, ada dua unit usaha BUMDes, yakni perdagangan dan pariwisata. Di bidang perdagangan, komoditas yang dijual ke pengunjung adalah kopi detusoko dengan varian-variannya, antara lain kopi bubuk, pengharum ruangan, kendaraan, dan gelang kopi untuk perhiasan. Kopi yang dipasarkan ini jenis robusta, yang sudah lama dibudidayakan petani setempat.
”Ada juga beras merah, beras hitam, dan hortikultura berupa kol, sawi, wortel, kacang, kentang, daun bawang, dan lainnya. Hortikultura ini dijual secara online dan offline. Ada market place local di desa untuk menjual hasil-hasil produk dari petani ini, juga bisa dijual secara online dan offline,” kata Nando.
Hasil penjualan hortikultura senilai Rp 35 juta per bulan. Tetapi bukan itu yang paling utama. Rantai nilai dari BUMDes, yaitu usaha berkelanjutan dari setiap kelompok warga yang terlibat di dalamnya, itu yang paling penting. BUMDes hadir bukan sekadar menumpuk omzet, melainkan pemberdayaan masyarakat setempat agar mampu mandiri secara ekonomi.
KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Inilah salah satu promosi penjualan secara daring oleh BUMDes Au Wula Desa Detusoko Barat, Ende, NTT.
BUMDes Au Wula menampung hasil pertanian dari warga, yang selama ini sulit dipasarkan. Sebelum ada BUMDes, warga desa yang ingin memasarkan produk hortikulturanya harus ke Ende. Mereka harus sewa kendaraan dan harus menunggu di pasar-pasar tradisional sampai barang-barang itu habis terjual. Jika tidak laku, produk pertanian itu rusak atau dibuang.
Sekarang tidak ada lagi produk hortikultura yang terbuang. Selain dijual secara daring dan luring, BUMDes membantu mendistribusikan produk hortikultura itu ke sejumlah toko dan swalayan di Ende dan Maumere. Dua kabupaten ini siap menerima hasil produk pertanian dari petani Detusoko Barat melalui BUMDes Au Wula.
”Kami sedang jajaki penjualan produk hortikultura ke Labuan Bajo. Tentu mereka butuh, tetapi kondisi pandemi seperti sekarang, juga ada kendala. Keunggulan kami adalah menjamin mutu, memberi layanan terbaik dan berkesinambungan,” kata Nando.
Ia mengatakan, BUMDes ini memulai penjualan secara daring dengan produk hortikultura Maret 2020, saat pandemi Covid-19 mulai melanda Indonesia termasuk NTT. Justru pandemi Covid-19 dengan larangan tatap muka dan berkontak erat fisik, kesempatan berjualan secara online dimanfaatkan betul BUMDes Au Wula.
”Orang takut datang ke pasar menghindari korona, petani pun enggan menjual hasil produk mereka ke pasar, sementara hasil produk pertanian melimpah. BUMDes Au Wula memanfaatkan peluang ini, awalnya menjual hasil produk pertanian melalui Facebook, kemudian berkolaborasi dengan Keuskupan Agung Ende,” kata Nando.
Tetapi dalam perjalanannya, aktivitas BUMDes Au Wula ini mendapat tanggapan baik dari Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi. Pihak BUMDes Au Wula kemudian membuat situs Dapur Kita.Bumdesmart.id.
Awalnya hanya dikenal di Ende dan Sikka, 120 toko memanfaatkan BUMDesmart untuk mendatangkan hasil produk pertanian dan dijual di tempat usaha mereka. Sekarang situs ini sudah meluas dikenal di seluruh Indonesia.
”BUMDesmart ini kami yang rintis. Kita salah satu BUMDes terbaik 2020, untuk inovasi di tengah pandemi Covid-19,” kata suami Norma Sidameng ini.
Jumlah karyawan yang terlibat dalam BUMDes ini 14 orang. Selain melayani permintaan daring, juga luring. Lokasi pemasaran BUMDes Au Wula, selain di Ende juga telah dibuka cabang di Maumere, Sikka, sekitar 60 km dari Detusoko Barat.
Memperlancar barang-barang pesanan ke konsumen di Ende dan Maumere, BUMDes memberdayakan semua jasa ojek dan mobil pikap di desa dan desa-desa sekitar.
”Kami berdayakan ratusan tenaga ojek. Mereka antar sayur-sayuran ke Ende dan Maumere, baik di toko-toko, swalayan, dan rumah-rumah warga yang sudah menjadi pelanggan BUMDes,” katanya.
Pariwisata lokal
Selain memasarkan produk pertanian, BUMDes Au Wula merintis pengelolaan pariwisata dengan membenahi desanya dan menjual paket-paket wisata desa seperti rumah adat, Danau Kelimutu, tarian dan lagu daerah, serta kehidupan tradisional masyarakat desa secara keseluruhan.
Fasilitas home stay mulai ada di 2018. Awalnya, ada tiga wisatawan yang menginap di rumah Nando. Karena jumlah wisatawan terus bertambah, mereka diinapkan di rumah tetangga, kemudian satu dusun, dan akhirnya satu desa.
Melihat potensi ini, warga desa sepakat untuk membenahi rumah-rumah mereka agar wisatawan merasa nyaman untuk tinggal. Dengan biaya Rp 150.000 per malam, termasuk makan minum dan kebutuhan Wi-Fi, home stay makin ramah terhadap wisatawan. Tahun 2020 total uang dari pariwisata Rp 168 juta, hasil dari 1.120-an wisatawan yang menginap.
”Saya mulai dari diri dulu. Pengalaman ini saya tularkan ke tetangga dan akhirnya satu desa. Semua warga desa paham bagaimana membuat wisatawan nyaman, terkesan, dan akan kembali lagi ke Detusoko Barat,” kata Nando.
Alokasi dana desa untuk BUMDes Au Wula tahun 2020 senilai Rp 50 juta dan 2021 senilai Rp 100 juta. ”Saya baru menjabat, jadi jumlah dana desa tahun sebelumnya saya tidak tahu,” kata Nando.
Kepala Badan Pembangunan Desa dan Transmigrasi NTT Viktor Manek mengatakan, BUMDes Au Wula merupakan salah satu dari dua BUMDes terbaik di NTT saat ini. Sebelumnya ada juga beberapa BUMDes, tetapi saat pandemi muncul, hanya BUMDes Au Wula dan BUMDes ”Tujuh Maret” Desa Hadakewa, Lembata, yang mampu memanfaatkan peluang untuk menjual produk-produk secara daring.
”Mestinya BUMDes lain di NTT mengikuti jejak dua BUMDes ini. Kerja sama, studi banding, dan saling belajar menimba pengetahuan di antara BUMDes, itu penting,” kata Manek.
|