Isi Artikel |
Secara umum, hutan memiliki peranan sebagai berikut, di antaranya hutan berfungsi sebagai penyerap karbon, hutan berperan sebagai penyedia jasa lingkungan, hutan berfungsi sebagai habitat bagi biodiversitas, dan hutan sebagai sumber ekonomi. Dalam konteks penyedia jasa bagi lingkungan, tidak dapat terbantahkan bahwa hutan sampai saat ini adalah teknologi tercanggih dalam pengaturan tata air, udara bersih, dan pengaturan siklus karbon.
Deforestasi hutan adalah isu yang tidak pernah usang sampai saat ini. Hampir 17 juta hektar per tahun deforestasi hutan terjadi di daerah tropis, sedangkan pada kurun waktu 2000-2005 deforestasi terjadi 13 juta hektar per tahun. Berdasarkan data Walhi, setiap tahun hutan di Indonesia berkurang 2,7 juta hektar.
Hutan Indonesia pada awalnya 126,8 juta hektar, saat ini sudah berkurang 72 persen. Tanpa perbaikan dan pengelolaan yang bersih, sudah barang tentu beberapa tahun ke depan kita akan kehilangan teknologi termutakhir dalam pengelolaan air, udara, dan karbon.
Hutan Indonesia pada awalnya 126,8 juta hektar, saat ini sudah berkurang 72 persen.
Penurunan kualitas tersebut sebenarnya sudah dapat terbaca sejak lama, indikasinya terlihat pada fenomena banjir, kekeringan, dan erosi yang sering kali berpapasan dengan kehidupan kita. Fenomena banjir, kekeringan, bahkan sering kali menjadi lumrah karena menjadi langganan pada daerah-daerah tertentu.
Ini jelas merugikan bagi kita yang berharap pembangunan mampu memberikan solusi terhadap perbaikan kualitas kehidupan. Sayangnya, harapan ini masih jauh dari benak kita. Sebagai ilustrasi, Pulau Jawa saja merugi hampir Rp 5,1 trilliun setiap tahun karena peristiwa erosi yang diakibatkan kegagalan dalam pengelolaan air hujan.
Fakta ini tentu berkaitan erat dengan situasi saat ini, La Nina, dan juga konsekuensi dari dihapuskannya ketentuan minimal 30 persen luas kawasan hutan dalam UU Cipta Kerja.
Tanah dan air
La Nina adalah peristiwa turunnya suhu air laut di Samudra Pasifik di bawah suhu rata-rata sekitarnya. Fenomena ini mengakibatkan peningkatan akumulasi curah hujan 20-40 persen. Menurut BMKG, peristiwa ini akan berlangsung hingga Maret 2021.
Dengan atau tanpa La Nina pun sebenarnya Indonesia merupakan wilayah dengan iklim tropis basah. Hal ini mengakibatkan Indonesia berada dengan curah hujan yang relatif tinggi.
Pada umumnya Indonesia berada pada curah hujan dengan kisaran di atas 2.000 mm per tahun. Dengan kondisi seperti ini, seharusnya kita mampu memperhitungkan berapa areal yang akan dibangun serta berapa areal yang harus dilindungi dan atau dikonservasi.
Perlu diketahui, curah hujan yang tinggi harus mampu terserap dalam tanah (infiltrasi) sehingga besaran aliran permukaan atau run off menjadi berkurang. Semakin besar areal yang terbangun, semakin memperbesar run off yang berakibat pada banjir dan juga kekeringan. Sebaliknya, semakin besar luasan hutan yang dilindungi/dikonservasi akan berdampak pada perbaikan stabilitas tanah dan kondisi fisika tanah.
Hal ini memungkinkan air hujan yang turun mampu dijerap tanah dengan lebih efektif. Jerapan air tersebut berfungsi dalam menahan laju limpasan air sehingga banjir lebih terkendali. Selain itu, hal ini akan meningkatkan cadangan air bagi kehidupan, pada saat kritis atau musim kemarau tiba.
Kelalaian dalam pengelolaan hutan bisa jadi berakibat fatal, bahkan melibatkan nyawa manusia.
Hal ini yang rasanya mendasari mengapa ketetapan kawasan hutan minimal 30 persen dicantumkan dalam UU No 41/2009. Prinsip keberlanjutan dan kehati-hatian menjadi dasar agar hutan mampu dikelola sebaik mungkin sehingga bermanfaat bagi kehidupan. Kelalaian dalam pengelolaan hutan bisa jadi berakibat fatal, bahkan melibatkan nyawa manusia.
Hal ini tentu tidak kita kehendaki, tetapi fenomena betonisasi, pembangunan kawasan bisnis perumahan, dan perambahan kawasan hutan menjadi lahan pertanian merupakan bagian tak terelakkan yang harus mampu kita kendalikan.
Tantangan
Fakta ini diperparah dengan disahkannya UU Cipta Kerja. Penghapusan ketentuan kawasan hutan minimal 30 persen menjadi titik balik, bagaimana sebenarnya kita memandang hutan. Akankah semua lahan yang ada hanya dinilai dari aspek ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan aspek sosialnya.
Mata air di kaki perbukitan karst Kampung Merabu, Kelay, Kabupaten Berau, Kaltim, ini menjadi tempat favorit warga, terutama anak-anak dan remaja, untuk berenang atau bersantai, Selasa (13/5/2014). Merabu adalah salah satu kampung percontohan penerapan program pengelolaan hutan lestari melalui skema Program Karbon Hutan Berau (PKHB) yang mendukung penerapan program pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD+).
Hal ini jelas menjadi kemunduran karena hadirnya UU Cipta Kerja akan memberikan dampak pada pembentukan cara pandang masyarakat dalam menilai setiap bentangan lahan, termasuk hutan. Nuansa ekonomistik yang kental pada UU ini berakibat pada dikesampingkannya pandangan lahan yang juga berfungsi secara sosial.
Sebagai pertimbangan, dengan semangat UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang kehutanan saja, kita tidak mampu mengalokasikan 30 persen luasan hutan minimal, apalagi semangat 30 persen tersebut dihapuskan. Ketentuan 30 persen luasan hutan seharusnya dibaca sebagai hasil dari kajian ilmiah dan bersifat sangat hati-hati guna kepentingan saat ini dan yang akan datang.
Inilah yang menjadi tantangan di depan kita, prinsip kehidupan pragmatis dan komersial akan sangat kental terasa, seiring dengan perubahan paradigma dan pandangan tersebut. Lebih jauh, orientasi ekonomi tentu saja akan mengubah pola ekosistem hutan ke depan, yang sangat mungkin memperburuk kualitas lingkungan hidup. Bagi saya, hal ini jelas kemunduran dari bangsa yang selalu mengelukan-elukan lagu ”Rayuan Pulau Kelapa”.
(Marenda Ishak S, Dosen Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran)
|