Isi Artikel |
JAKARTA, KOMPAS – Rancangan Peraturan Pemerintah turunan Undang Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja Bidang Kehutanan dinilai berpotensi tak efektif pelaksanaannya. Rancangan aturan pelaksanaan itu juga bisa menghadirkan pemaksaan kewenangan dan birokrasi berlebihan.
Guru besar Kebijakan Kehutanan IPB University Hariadi menilai, Rancangan Rancangan Peraturan Pemerintah Pelaksana Undang Undang Cipta Kerja (UUCK) Bidang Kehutanan (RPP Kehutanan) belum menjawab tujuan UUCK untuk menyesuaikan berbagai aspek pengaturan akibat lemahnya tata kelola. Di sisi lain, asas RPP ini tidak lengkap dan tidak dijabarkan operasionalnya.
“Dari sisi cara menetapkan pengaturan, RPP ini mengulangi kelemahan sama pada regulasi sebelumnya. Ini terutama terkait cara merumuskan solusi seperti pengukuhan kawasan,” ujarnya dalam diskusi daring bertajuk “Menarik Aspirasi Ilmuwan Kehutanan-Tentang UUCK dan Kebijakan Turunan Peraturannya”, Senin (14/12/2020), di Jakarta.
Baca juga Penyusunan PP Lingkungan Hidup dan Kehutanan agar Terbuka
Dalam mengulas RPP ini, Hariadi meninjau substansi lain dengan pendekatan corruption risk assessment (CRA) atau identifikasi kerawanan dan risiko korupsi secara spesifik. Hasil ulasannya menunjukkan dari 21 fokus topik pengaturan di RPP ini, 52 persennya berpotensi tak efektif, 24 persen ada pemaksaan kewenangan, 14 persen ada risiko suap, dan 10 persen adanya birokrasi berlebihan.
KOMPAS/P RADITYA MAHENDRA YASA
Buruh tani memetik daun kayu putih yang dikembangkan di lahan milik Perum Perhutani di Desa Cungkup, Kecamatan Juwangi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, Senin (17/9/2018).
Dasar pertimbangan CRA tersebut yakni dari riset Kantor PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bidang kehutanan. Hasil riset itu menunjukkan aspek perizinan berusaha hingga penataan batas terdapat unsur suap di lapangan.
Dari sisi cara menetapkan pengaturan, RPP ini mengulangi kelemahan sama pada regulasi sebelumnya. Ini terutama terkait cara merumuskan solusi seperti pengukuhan kawasan.
“Saya khawatir harapan kita terlalu besar dengan UUCK ini termasuk peraturan pemerintahnya. Tetapi ketika tata kelolanya tidak terbenahi, jangan-jangan harapan itu keliru ketika tidak mengidentifikasi permasalahan tata kelola,” tuturnya.
Guru besar Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin, Yusran Jusuf, mencatat sejumlah substansi yang perlu dimasukkan dalam RPP Kehutanan. Salah satu substansi itu yakni memasukkan ketentuan jaminan kepastian data akurat dan terverifikasi secara partisipatif khususnya masyarakat lokal atau adat.
Baca juga Perubahan Skema Mempercepat Proses Penilaian Amdal
Substansi itu perlu ditegaskan untuk menguatkan aturan penggunaan kawasan hutan dalam Pasal 4A. Pasal itu menyatakan penggunaan kawasan hutan di luar kegiatan kehutanan untuk kegiatan tanpa memiliki perizinan berusaha di bidang kehutanan, dapat diterbitkan persetujuan penggunaan kawasan hutan setelah dipenuhinya sanksi administratif.
KOMPAS/VINA OKTAVIA
Ketua Gabungan Kelompok Tani Mandiri Lestari, KPH Batu Tegi Kabupaten Tanggamus, Lampung, Eko P. Juliana menanam pohon di lahan kritis di dalam kawasan Hutan Lindung Batu Tegi, Tanggamus, Rabu (19/2/2020).
Substansi terkait pengelolaan perhutanan sosial menurut Yusran juga perlu ketentuan yang lebih tegas dalam RPP. Ia menilai bahwa proses pengajuan dan persetujuan perhutanan sosial oleh menteri perlu didesain lebih sederhana, mudah diakses, murah dengan tata waktu yang lebih singkat. Besaran kewajiban membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNPB) dan dana reboisasi untuk perhutanan sosial juga perlu pengaturan tersendiri.
Substansi RPP
Perencana Madya Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Sigit Nugroho mengatakan, kerangka penyusunan RPP ini disajikan dengan format omnibus atau melingkupi berbagai ketentuan. Hal ini membuat pemerintah merevisi sejumlah pasal dalam delapan PP sebelumnya dan dijadikan satu RPP baru.
Sigit menjelaskan, substansi UUCK yang perlu pengaturan lanjutan dalam RPP di antaranya terkait prioritas percepatan pengukuhan kawasan hutan (Pasal 15), luas area hutan yang harus dipertahankan (Pasal 18), dan tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan (Pasal 19).
Selain itu, terdapat substansi pemanfaatan hutan (Pasal 26-28 dan 30-32), perhutanan sosial (Pasal 29A dan B), pembinaan dan pengolahan hasil hutan (Pasal 33), pungutan PNPB pemanfaatan (Pasal 35), dan perlindungan hutan (Pasal48-49).
KOMPAS/RHAMA PURNA JATI
Kondisi Desa Lubuk Seberuk, Kecamatan Lempuing Jaya, Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan, Sabtu (29/6/2019). Desa ini merupakan satu dari 104 kawasan yang mendapatkan izin perhutanan sosial dari pemerintah. Keberadaan perhutanan sosial diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat yang tinggal di hutan.
Selain RPP tentang Peraturan Pelaksana UUCK Bidang Kehutanan, saat ini pemerintah menyusun RPP tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif Atas Kegiatan Usaha yang Telah Terbangun di Dalam Kawasan Hutan.
Direktur Penegakan Hukum Pidana KLHK Yazid Nurhuda mengatakan, penyusunan RPP ini dilatarbelakangi kondisi lapangan perkebunan kelapa sawit yang berizin dan bersinggungan dengan kawasan hutan karena ada perubahan kebijakan tata ruang. Namun, perkebunan itu belum memiliki perizinan di bidang kehutanan.
“Oleh karena itu, Undang-Undang Cipta Kerja dalam Pasal 110 nanti mewajibkan kepada pemegang pelaku berizinan tersebut untuk mengurus izin di bidang kehutanan. Mudah-mudahan dengan adanya aturan ini dapat memberikan kepastian berusaha terhadap kegiatan di dalam kawasan hutan,” tuturnya.
|