Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Peraturan Perundang-undangan. Organisasi Profesi Beda Sikap soal RUU Praktik Psikologi
Tanggal 07 April 2021
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel Peraturan Perundang-undangan Organisasi. Profesi Beda Sikap soal RUU Praktik Psikologi Sejumlah organisasi psikologi belum satu suara menyikapi Rancangan Undang-Undang Praktik Psikologi yang kini dibahas Dewan Perwakilan Rakyat. Keberadaan RUU itu berpeluang bertentangan dengan undang-undang yang ada. Oleh MUCHAMAD ZAID WAHYUDI. Rancangan Undang-Undang Praktik Psikologi yang masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021 mulai dibahas Dewan Perwakilan Rakyat sejak akhir Maret 2021. Namun, hingga kini, organisasi psikologi masih berbeda pandangan terkait sejumlah hal yang diatur dalam undang-undang tersebut. Beda pandangan itu setidaknya terjadi antara Himpunan Psikologi Indonesia (Himpsi), yang menjadi organisasi induk psikologi di Indonesia, dan Ikatan Psikolog Klinis (IPK) Indonesia sebagai organisasi profesi psikolog klinis. ”RUU Praktik Psikologi berpeluang bertentangan dengan UU yang sudah ada,” kata Ketua Bidang Hubungan Masyarakat IPK Indonesia A Kasandra Putranto di Jakarta, Selasa (6/4/2021). Undang-Undang (UU) Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, UU No 18/2014 tentang Kesehatan Jiwa, dan UU No 36/2014 tentang Tenaga Kesehatan menyebut psikolog klinis sebagai bagian dari tenaga kesehatan. Karena itu, mereka dituntut memiliki organisasi profesi yang homogen. Baca juga : Pandemi Covid-19 Masih Panjang, Antisipasi Potensi Masalah Psikologis. Dalam RUU Praktik Psikologi, organisasi profesi yang diakui hanyalah Himpsi. Sementara dalam UU No 36/2014, satu jenis tenaga kesehatan hanya bisa membentuk satu organisasi profesi.  Persoalannya, ”Himpsi bukanlah organisasi yang homogen karena di dalamnya juga banyak terdapat yang bukan berprofesi sebagai psikolog klinis,” katanya. IPK Indonesia pernah mengajukan nama Himpsi sebagai organisasi profesi psikolog klinis yang terdaftar di Konsil Tenaga Kesehatan Indonesia (KTKI), tetapi ditolak karena sifat Himpsi yang tidak homogen. Anggota Himpsi terentang amat luas, ada profesi psikolog dan juga tenaga psikologi. Profesi psikolog yang ada pun terbagi dalam banyak bidang, mulai dari klinis, pendidikan, industri organisasi, hingga forensik. Sementara tenaga psikologi dapat berupa ilmuwan atau tenaga pendidikan psikologi, asisten psikolog, dan sarjana psikologi. Dari sekitar 16.000 anggota Himpsi yang terdaftar, 10.000 anggota di antaranya masuk dalam profesi psikolog. Namun, dari seluruh profesi psikolog itu, 70 persen adalah profesi psikolog nonklinis. Keragaman jenis profesi psikolog dan tenaga psikologi itu membuat kewenangan yang dimiliki masing-masing berbeda. Menurut Kasandra, hanya profesi psikolog yang boleh memberikan asesmen, diagnosis, terapi, dan konseling. Sementara tenaga psikologi tidak boleh melakukan praktik psikologi, tetapi mereka masih bisa melakukan layanan psikologi atau edukasi psikologi. Selain itu, RUU Praktik Psikologi dinilai terlalu mengatur detail ruang lingkup kerja psikolog klinis. Namun, ruang lingkup kerja profesi psikologi yang lain kurang detail diatur. Menanggapi hal itu, Ketua Umum Himpsi Seger Handoyo berharap tetap ada satu organisasi induk psikologi seperti saat ini. Meskipun kini profesi psikolog dan tenaga psikologi tersebar dalam berbagai bidang, mereka sejatinya berasal dari satu pendidikan yang sama. Himpsi saat ini membawahkan 18 asosiasi dan ikatan psikologi atau psikolog. ”Secara de facto dan de jure, IPK Indonesia masih menjadi bagian dari Himpsi meski mereka memiliki badan hukum sendiri,” katanya. IPK Indonesia memang lahir dari Himpsi dan anggaran dasar/anggaran rumah tangga Himpsi juga menyebut IPK Indonesia menjadi bagian dari Himpsi. Mengenai isi RUU Praktik Psikologi yang dianggap mengatur terlalu detail lingkup kerja psikolog klinis, Seger menegaskan bahwa RUU ini dibuat detail agar masyarakat lebih mengenal profesi dan lingkup kerja psikolog atau tenaga psikologi. Model ini juga ditiru dari UU serupa yang ada di Amerika Serikat, Australia, dan Filipina. Pengaturan lebih detail itu juga untuk mempermudah penyusunan aturan turunan di bawahnya. Dengan demikian, hak dan kewajiban semua pihak yang terkait dengan praktik psikologi bisa menjadi lebih jelas. Baca juga : Beranjak dari Kelelahan Jiwa di Masa Pandemi Covid-19. ”Sejatinya, praktik psikologi bisa diberikan oleh psikolog, tenaga psikologi, ataupun orang lain yang mendapat pelatihan tertentu, seperti pertolongan psikologis pertama yang bisa dilakukan sukarelawan terlatih. Namun, hak dan kewenangan yang akan membatasi kerja masing-masing pihak,” katanya. Telepsikologi di Masa Pandemi UU payung RUU Praktik Psikologi diusulkan oleh DPR. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan bertindak selaku wakil pemerintah dalam pembahasan RUU ini. Meski demikian, saat ini profesi psikolog dan tenaga psikologi tersebar di sejumlah kementerian. Selain tiga UU yang mengatur psikolog klinis, setidaknya ada tujuh UU lain yang juga mengatur profesi psikolog dan tenaga psikologi lain, seperti UU No 3/2005 tentang Sistem Keolahragaan Nasional dan UU No 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. Ada pula UU No 31/2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban; UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara; UU No 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota; UU No 7/2017 tentang Pemilu; dan UU 18/2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia. Seger berharap RUU Praktik Psikologi bisa menjadi UU payung atau induk yang mengakui praktik dan profesi psikologi di Indonesia. UU ini diharapkan juga akan melengkapi dan memperkuat UU yang sudah ada yang mengatur profesi psikolog dan tenaga psikologi lainnya. ”RUU ini diharapkan bisa menaungi praktik psikologi yang ada di berbagai bidang dan di bawah koordinasi berbagai kementerian,” tambahnya. Sementara itu, terkait perizinan, IPK Indonesia keberatan dengan ketentuan mengenai surat tanda registrasi (STR) dan surat izin praktik (SIP) yang diatur dalam RUU Praktik Psikologi. Selama ini, psikolog klinis hanya mengurus STR ke KTKI dan SIP ke pemerintah daerah. Jika nantinya psikolog klinis juga diminta mengurus STR ke Himpsi, hal itu dikhawatirkan memberatkan psikolog klinis dan ujungnya memberatkan masyarakat yang akan mengakses layanan psikolog.   Seger mengatakan, tersebarnya profesi psikolog dan tenaga psikologi di banyak kementerian saat ini membuat Himpsi berharap pengurusan STR nantinya cukup mengacu pada aturan teknis di setiap kementerian. Meski demikian, izin itu tetap bisa diakui Himpsi. Dengan cara ini, anggota Himpsi tidak akan direpotkan untuk mengurus STR dua kali pada dua lembaga berbeda ”Dengan diatur dalam satu payung UU, bisa dilakukan satu pengaturan administrasi yang saling mengakui,” katanya.
  Kembali ke sebelumnya