Isi Artikel |
Untuk merestrukturisasi utang secara fundamental, utang Garuda yang sebesar 4,5 miliar dollar AS itu harus turun di kisaran 1 miliar dollar AS hingga 1,5 miliar dollar AS.
Oleh HENDRIYO WIDI
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah tengah mematangkan opsi moratorium pembayaran utang dan standstill agreement atau penghentian pembayaran bunga untuk menyelamatkan PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Langkah ini akan dibarengi dengan pemangkasan struktur biaya operasional minimal 50 persen.
Wakil Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Kartika Wirjoatmodjo mengatakan, masalah utama yang dialami Garuda Indonesia memang terjadi sebelum Covid-19. Sewa pesawat melebihi biaya yang wajar, jenis pesawatnya terlalu banyak, dan rute-rute penerbangannya banyak yang tidak menguntungkan sehingga menyebabkan inefisiensi.
Pada saat pandemi Covid-19, muncul masalah baru terkait dengan pencatatan laporan keuangan berdasarkan pedoman standar akuntansi keuangan (PSAK). Ada perubahan pengakuan kewajiban pada biaya sewa pesawat, dari semula tercatat sebagai biaya operasional (opex), kini diwajibkan dicatat sebagai utang.
”Hal ini menyebabkan utang Garuda membengkak dari Rp 20 triliun menjadi Rp 70 triliun. Garuda menjadi semakin insolven (tidak memiliki cukup dana untuk membayar utang) karena antara utang dan ekuitasnya tidak memadai,” kata Kartika dalam rapat kerja dengan Komisi VI Dewan Perwakilan Rakyat yang digelar secara hibrida, di Jakarta, Kamis (3/6/2021).
Menurut Kartika, untuk merestrukturisasi utang secara fundamental, utang Garuda yang sebesar 4,5 miliar dollar AS itu harus turun di kisaran 1 miliar dollar AS hingga 1,5 miliar AS. Hal ini berdasarkan penghitungan kondisi keuangan normal perusahaan, yakni rasio utang terhadap EBITDA (pendapatan perusahaan sebelum dikurangi bunga, pajak, depresiasi, dan amortisasi) maksimum enam kali.
Dengan EBITDA Garuda berkisar 200 juta-250 juta dollar AS, maka utang Garuda dalam kondisi normal seharusnya berkisar 1 miliar-1,5 miliar AS. Kalau utangnya masih di atas itu, Garuda masih akan tertatih-tatih menjalankan bisnisnya.
Untuk merestrukturisasi utang tersebut, lanjut Kartika, Kementerian BUMN bersama manajemen Garuda Indonesia dan Kementerian Keuangan tengah membahas opsi moratorium dan standstill agreement secara intensif. Pembahasan itu mencakup pula pola-pola restrukturisasi dan legal prosesnya lantaran restrukturisasi ini terkait erat dengan perusahaan yang menyewakan pesawat (lessor) dan pemegang sukuk dari luar negeri, terutama Timur Tengah.
Lantaran proses ini sangat kompleks dan menyangkut juga hukum internasional, konsultan hukum dan keuangan akan dilibatkan. Moratorium ini harus segera dilakukan karena tanpa upaya ini, kas Garuda akan habis dalam waktu dekat.
”Langkah ini memang ada risikonya. Kalau kreditor tidak setuju dan tidak mencapai kuorum, serta mengajukan tuntutan hukum, bisa jadi justru akan mengarah ke kebangkrutan Garuda. Hal ini akan kami hindari semaksimal mungkin dalam proses legalnya dengan mendorong tercapainya kesepakatan,” katanya.
Kartika menambahkan, langkah ini akan dibarengi dengan memangkas biaya operasional minimal 50 persen. Saat ini, biaya operasional Garuda sebesar 150 juta dollar AS per bulan dan pendapatannya sekitar 50 juta dollar AS per bulan sehingga Garuda merugi 100 juta dollar AS per bulan.
Kartika juga menjelaskan bahwa Garuda Indonesia tidak dapat mencairkan sisa dana talangan pemerintah melalui penerbitan obligasi wajib konversi (mandatory convertible bond) yang akan dibeli oleh PT Sarana Multi Infrastruktur (Persero) sebesar Rp 7,5 triliun. Dari rencana penerbitan obligasi senilai Rp 8,5 triliun, Garuda Indonesia baru mendapatkan Rp 1 triliun.
”Hal ini terjadi karena Garuda Indonesia dinilai tidak lagi memenuhi persyaratan indikator kinerja utama (KPI) sehingga sisanya tidak bisa ditarik. KPI menjadi salah satu syarat dari perjanjian bantuan dana tersebut,” ujarnya.
Audit dan model bisnis
Dalam kesempatan yang sama, Menteri BUMN Erick Thohir mengatakan, pandemi Covid-19 memang membuat kinerja mayoritas perusahaan milik BUMN anjlok. Laba konsolidasi yang diperoleh seluruh perusahaan BUMN pada 2020 diperkirakan hanya Rp 28 triliun atau turun 77 persen dibandingkan dengan realisasi laba bersih perusahaan BUMN pada 2019 yang mencapai Rp 124 triliun.
”Sementara itu, pendapatan dari semua BUMN ditaksir mencapai Rp 1.200 triliun pada 2020, turun 25 persen dibandingkan dengan 2019 yang sebesar Rp 1.600 triliun akibat pandemi Covid-19,” katanya.
Terkait dengan Garuda Indonesia, Erick yakin bahwa beban terbesarnya adalah lessor. Ada 36 lessor yang harus dipetakan ulang, mana lessor lama yang terlibat dalam kasus korupsi tempo dulu dan lessor yang benar-benar bersih, tetapi tetap menetapkan biaya sewa yang kemahalan. Semuanya akan dinegosiasi ulang.
Menurut Erick, Garuda perlu mengubah modal bisnisnya agar lebih fokus pada penerbangan domestik. Pangsa pasar domestik sebelum pandemi sangat besar, yaitu 78 persen atau Rp 1.400 triliun, sedangkan penumpang mancanegara hanya berkontribusi 22 persen atau Rp 300 triliun.
”Untuk itu, kami telah berkoordinasi dengan Kementerian Perhubungan agar tidak membuka semua bandara-bandara di Indonesia bagi maskapai asing sehingga penerbangan-penerbangan lanjutan bisa dilayani oleh maskapai-maskapai domestik, termasuk Garuda Indonesia,” ujarnya.
Anggota Komisi VI DPR, Evita Nursanty, berharap pemerintah dan manajemen Garuda Indonesia membuat terobosan-terbosan yang luar biasa atau out of the box untuk menyelamatkan Garuda. Salah satunya adalah terobosan yang mampu meningkatkan penetrasi pasar penerbangan domestik.
Selain itu, untuk menyelesaikan persoalan fundamental Garuda, evaluasi rute penerbangan yang merugi serta audit arus kas dan biaya sewa pesawat perlu dilakukan. Perusahaan-perusahaan pelat merah, terutama Garuda Indonesia, perlu tim audit eksternal untuk melihat dan mengevaluasi kondisi keuangan mereka.
Sementara itu, anggota Komisi VI DPR, Deddy Yevri H Sitorus, menekankan, apa pun opsi penyelamatan Garuda, masalah fundamentalnya harus dibereskan juga. Pasalnya, kalau biaya operasional masih terus membengkak, upaya penyelamatan menjadi tidak berguna.
Salah satu masalah utama terkait dengan beban biaya ini adalah biaya sewa pesawat. Garuda memiliki 142 pesawat dan saat ini yang digunakan hanya 41 pesawat.
”Dengan total pesawat yang dimilikinya itu, Garuda harus mengeluarkan 80 juta dollar AS per bulan. Padahal, kalau mau menego biaya sewa menjadi per jam atau saat pesawat dioperasikan, biaya yang dikeluarkan bisa lebih hemat menjadi sekitar 25 juta dollar AS,” katanya.
Pada triwulan III-2020, Garuda Indonesia merugi 1,07 miliar dollar AS atau sekitar Rp 15,32 triliun. Hal ini berbanding terbalik dengan kinerja pada triwulan III-2019 ketika maskapai milik negara tersebut meraih laba bersih 122,42 juta dollar AS atau sekitar Rp 1,74 triliun.
Pada 2019, liabilitas (utang atau kewajiban yang harus dibayar) GIAA sudah 3,73 miliar dollar AS dengan rasio utang terhadap ekuitas (debt to equity ratio/DER) 5,18 kali. Kemudian, pada triwulan III-2020, liabilitasnya membengkak menjadi 10,36 miliar dollar AS dengan DER 22,77 kali.
Garuda Indonesia juga dikenal sebagai salah satu maskapai dengan rasio biaya sewa terhadap pendapatan tertinggi di dunia, yaitu 24,7 persen. Rasio ini di atas rasio biaya sewa terhadap pendapatan maskapai global yang sebesar 6,1 persen. Sementara rasio biaya sewa terhadap pendapatan maskapai-maskapai lain berada di bawah Garuda Indonesia, seperti AirAsia 19,7 persen, PAL Holding 11,8 persen, dan Thai Airways International 7,7 persen.
|