Isi Artikel |
Dulu Indonesia termasuk dalam jajaran negara-negara yang menjadi pionir dalam menunjukkan keberpihakan pada lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan. Kini, regulasi yang ada justru dinilai sebagai kemunduran.
Oleh AHMAD ARIF
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia pernah terlibat aktif dalam gerakan global dalam mewujudkan hukum lingkungan dan pembangunan berkelanjutan. Namun, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi titik baliknya.
Perjalanan hukum lingkungan di Indonesia ini disampaikan CEO Indonesia Ocean Justice Initiative Mas Achmad Santosa dalam diskusi yang diselenggarakan Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL), Kamis (22/7/2021). Diskusi ini dalam rangka ulang tahun ICEL ke-28.
”Gerakan politik hijau global memengaruhi perkembangan kebijakan nasional. Dimulai dengan Deklarasi Stockholm pada 1972 yang melahirkan UNEP (Program Lingkungan PBB),” kata Mas Achmad, ahli hukum lingkungan yang turut mendirikan ICEL.
Pada 1973, menurut Mas Achmad, untuk pertama kali Garis-garis Besar Haluan Negara memuat tentang bagaimana memadukan pembangunan dengan perlindungan lingkungan. Tahun 1978, Indonesia membentuk Kementerian Negara Pengawasan Pembangunan Lingkungan Hidup. ”Indonesia termasuk generasi pertama negara di dunia yang membentuk kantor ini,” katanya.
Pada 1982, Indonesia mengesahkan UU No 4/1982 tentang Perlindungan Lingkungan Hidup. UU ini dinilainya sangat progresif karena sudah menerapkan perlunya peran serta masyarakat.
Tahun 1987, menurut Mas Achmad, Indonesia menunjuk Emil Salim sebagai anggota Komisi Dunia untuk Lingkungan Hidup dan Pembangunan (WECED), yang menerbitkan laporan tentang pentingnya pembangunan berkelanjutan dan bagaimana melakukannya.
”Ini merupakan penugasan dari PBB, di mana laporan WECED menjadi masukan penting dalam pengembangan Konferensi Rio 1992 yang menghasilkan Deklarasi Rio yang memberi pengaruh besar bagi hukum lingkungan,” katanya.
Baca juga : Aturan Turunan UU Cipta Kerja Dinilai Kian Mengancam Lingkungan
Mas Achmad menambahkan, berikutnya Indonesia melahirkan UU No 23/1997 yang mengadopsi Deklarasi Rio. Kemudian dikembangkan Tujuan Pembangunan Milenium (MDG), berisi delapan misi pembangunan yang salah satunya memastikan keberlanjutan lingkungan hidup.
”Tahun 2002, Indonesia melakukan amendemen ke-4 UUD 1945 yang mengakui pembangunan keberlanjutan sebagai konstitusional imperatif bukan lagi wacana. Ini juga menegaskan bahwa pembangunan yang dilakukan harus dengan prinsip berawasan lingkungan,” katanya.
Kemunduran
Langkah progresif di bidang hukum lingkungan ini kemudian mengalami titik balik dengan dikeluarkannya UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja. ”UU No 11/2020 menjadi titik balik, yang tadinya hukum lingkungan kita progresif dari waktu ke waktu, kemudian mengalami kemunduran,” ujarnya.
Baca juga : Kemudahan Investasi Dianggap Abaikan Dampak Jangka Panjang
Mas Achmad mengatakan, UU Cipta Kerja mengubah berbagai peraturan terkait dengan sumber daya alam. ”Di sini tidak ada referensi pembangunan lingkungan berkelanjutan, dalam konsideran dan batang tubuhnya. Padahal, undang-undang sektoral saja, seperti pertambangan dan kehutanan, umumnya memberi referensi pada perlindungan lingkungan,” ucapnya.
Tokoh ekonomi dan lingkungan hidup Indonesia, Emil Salim, juga melihat ada kemunduran dalam hukum lingkungan dan pembangunan berkelanjutan ini. ”Tolong selamatkan lingkungan Tanah Air kita. Lama kita berjuang untuk lingkungan, tapi ujung jalan tidak cerah,” katanya.
Dia meminta agar semua pihak membangkitkan kepercayaan pemerintah pada perlunya pembangunan keberlanjutan. ”Ini bukan persoalan pribadi. Ini kepentingan antargenerasi. Generasi 2045 harus kita selamatkan dengan menyelamatkan lingkungannya. Dengan hukum lingkungan yang tegak dan diakui, bahwa lingkungan bukan hanya dipidatokan, tetapi dihidupi sebagai bagian Tanah Air Indonesia,” ujarnya.
|