Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Manajemen Oksigen Dalam Masa Pandemi
Tanggal 04 Agustus 2021
Surat Kabar Kompas
Halaman 0
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel Antrean masyarakat mengisi ulang tabung oksigen menambah panjang persoalan pandemi Covid-19 di tanah air. Fenomena krisis oksigen di tengah pandemi menguak sejumlah akar masalah terkait dengan manajemen oksigen. Oleh KRISHNA P PANOLIH   Hingga hari ini, pandemi Covid-19 di Indonesia belum menunjukkan tanda-tanda melandai. Sampai 2 Agustus 2021 berdasarkan data Satuan Tugas Penanganan Covid-19 total kasus positif Covid-19 di Indonesia mencapai 3.462.800 dengan 97.291 kematian. Kasus positif baru masih berada di atas angka 22 ribu lebih, sementara kasus yang masih aktif lebih dari 523 ribu. Kondisi lain yang juga masih mencekam adalah banyaknya tenaga kesehatan yang terpapar virus Covid-19. Ditambah pula situasi rumah sakit yang kewalahan melayani warga yang terjangkit. Di sentra-sentra pengisian ulang oksigen medis terdapat antrean panjang masyarakat mengisi ulang tabung oksigen. Hal tersebut semakin diperparah dengan kondisi sejumlah rumah sakit juga mengalami kekurangan persediaan oksigen. Oksigen medis kini menjadi barang ‘mahal’ dan langka sejak semakin melonjaknya kasus positif Covid-19. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, lebih dari 500 juta penderita di negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah (Low Middle Income Countries, LMICs) membutuhkan oksigen untuk perawatan sebagai dampak Covid-19 setiap hari. Setidaknya sekitar 15 persen penderita di seluruh dunia memerlukan kurang lebih 1,1 juta silinder tabung oksigen per hari yang mencakup penduduk di 25 negara kategori LMICs. Cukup banyak negara yang mengalami krisis oksigen, seperti India, Brasil, Yordania, Nigeria, dan lainnya. WHO sebetulnya sudah memprediksi krisis ini namun tak sepenuhnya mengantisipasi besarnya skala kebutuhan. Ini didasari oleh data-data kasus di  China dengan mayoritas kasus ringan maupun sakit sedang (masing-masing 40 persen).  “Hanya” sekitar 15 persen yang sakit berat dan butuh terapi oksigen dan sekitar 5 persen dengan kondisi kritis dan perlu perawatan intensive care unit (ICU). Saat itu, melalui pedoman (guideline) per 4 April 2020, ditegaskan bahwa terapi oksigen menjadi kebutuhan penting. Pada saat berbagai varian baru Covid-19 (terutama varian Delta) muncul di sekitar awal 2021, dan mengakibatkan melonjaknya angka penderita di berbagai negara termasuk Indonesia, antisipasi kebutuhan oksigen sudah cukup terlambat. Pemerintah negara-negara berebutan mencari oksigen medis untuk memenuhi kebutuhan ribuan pasien di negara mereka yang tiba-tiba terpapar Covid-19 secara akut. Di Indonesia, masalah kekurangan oksigen mulai terpantau di akhir Juni 2021, saat Pemda Kabupaten Kudus, Jawa Tengah menyatakan kekurangan bahan oksigen. Saat itu jumlah pasien tiba-tiba melonjak tinggi. Kondisi ini terus berlangsung hingga awal Juli di mana di mana sejumlah rumah sakit di Kudus mulai kesulitan ketersediaan oksigen medis. Beberapa hari setelahnya, rumah sakit di kota-kota lain seperti RS Dr Sardjito Yogyakarta, RS PKU Muhammadiyah Yogyakarta, RS Al-Islam Bandung, dan RSUD Dr Soetomo juga mengalami lonjakan pasien Covid-19. Sejumlah rumah sakit bahkan menerapkan sistem buka tutup IGD demi menghemat ketersediaan oksigen. Pada pertengahan Juli 2021 pemerintah pusat menyatakan akan terus berupaya memenuhi kebutuhan oksigen medis. Salah satunya adalah dengan mengonversi oksigen industri menjadi oksigen medis dengan target 575.000 ton oksigen medis. Selain itu, ada juga kerja sama dengan beberapa industri dalam negeri dan bantuan dari sejumlah negara. Untuk menambah kemampuan penyediaan oksigen, pemerintah pusat akan mengimpor 40.000 ton oksigen cair dan 50.000 unit oksigen konsentrator. Pemerintah juga akan mengimpor tabung gas untuk memenuhi kebutuhan ruang-ruang perawatan darurat di rumah sakit-rumah sakit.     Konversi oksigen Menjadi pertanyaan, mengapa stok atau pasokan oksigen medis bisa krisis? Masalah ini tak lepas dari manajemen oksigen, mulai dari industri, (manajemen) perencanaan, dan pelayanan yang selama ini tak disiapkan untuk menghadapi skala pandemi. Jumlah kapasitas produksi oksigen mayoritas ditujukan untuk industri yang memang membutuhkan jumlah oksigen lebih besar ketimbang kebutuhan medis di rumah sakit-rumah sakit. Untunglah pemerintah segera bertindak cepat dengan mengalihkan/mengonversi oksigen industri menjadi oksigen medis. Pada diskusi webinar “Efisiensi Pemakaian Oksigen Pada Pasien COVID-19 Di Tengah Keterbatasan Suplai Oksigen dan Eskalasi Pasien Covid-19” awal Juli lalu di Departemen Anestesi FK-KMK UGM/RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta dinyatakan secara umum suplai oksigen di sejumlah rumah sakit relatif mencukupi. Ada kebijakan nasional yang menetapkan suplai untuk oksigen industri jauh lebih besar (80 persen) dibanding untuk kebutuhan medis (20 persen).  Karena pandemi, perhitungan diprioritaskan untuk medis (80 persen). Hanya saja, dari kapasitas produksi nasional (866 ribu ton per tahun), yang riil sebetulnya ternyata sekitar 75 persen (640 ribu ton). Dengan kata lain kapasitas ini masih harus dioptimalkan/ditingkatkan lagi. Rupanya permasalahan tidak semata soal menggenjot produksi. Menurut drg. Farichah Hanum, M.Kes, Direktur Komite Nasional Keselamatan Pasien Rumah Sakit Kemenkes, ada sejumlah masalah lain yang masih harus diperhatikan. Antara lain lokasi produsen utama oksigen medis yang kebanyakan berada di Jawa Barat dan Jawa Timur, transportasi, ketersediaan tabung yang masih diimpor, hingga jaminan pasokan listrik. Sehingga Jawa Tengah misalnya, sangat bergantung pada suplai dari daerah-daerah lain. Khusus tentang ketersediaan tabung, Indonesia rupanya masih rutin mengimpor. Dalam sepuluh tahun terakhir, tren impor terbesar lebih terlihat pada tabung oksigen, sementara oksigen medis cenderung turun. Aspek lain yang juga seharusnya disadari adalah keterbatasan rumah sakit. Saat terjadi lonjakan kasus Covid-19 dari 5 ribu menjadi 20 ribu-an di akhir Juni tidak akan bisa diatasi dengan menaikkan cadangan begitu saja hingga sepuluh kali lipat. Hal ini diungkapkan dr. Bhirowo Yudo Pratomo, SpAn, Konsultan Anestesi Kardiovaskular RSUP dr. Sardjito. Dalam kondisi normal, dengan cadangan sekitar 6,2 juta liter oksigen, jumlah ini cukup untuk kebutuhan 20 kamar operasi dan 22 tempat tidur ICU (atau sekitar 36.000 liter/hari) selama 10 hari. Saat pandemi cadangan itu hanya bertahan hingga empat hari. Di luar kasus Covid, pengguna oksigen terbesar di RS adalah kamar operasi dan ICU. Membludaknya pasien Covid-19 membuat RS harus berhemat, termasuk menghentikan operasi elektif (terencana). Masalahnya, apakah hal ini efektif, mengingat masih banyak RS yang tetap menjalankan pola normal (kamar operasi-ICU) tersebut. Antisipasi Selama pandemi pemetaan distribusi kebutuhan oksigen di Pulau Jawa masih belum merata. Hingga 7 Juli 2021, hanya Provinsi Jawa Tengah (71 persen) dan DI Yogyakarta (62 persen) yang terhitung disiplin melaporkan data persentase pengisian oksigen melalui Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS). Hal lain yang tak kalah penting adalah rencana pemerintah yang meminta agar rumah sakit menyiapkan stok oksigen hingga tiga bulan ke depan. Menurut Dr. dr. Andreasta Meliala, DPH, M.Kes., Ketua Minat Utama Manajemen Rumah Sakit FK KMK UGM, hal ini idealnya harus  dikomunikasikan pada manajemen rumah sakit. Misalnya, harus ada kepastian berapa banyak kebutuhan dan kapasitas rutin dan kapasitas emergency. Selain itu harus dihitung juga apakah RS juga harus menyiapkan tangki-tangki baru, atau sekadar memperpanjang kontrak. Masalahnya, harga tangki baru sangat mahal, begitu juga dengan biaya pemeliharaan yang juga high cost. Belum lagi biaya perawatan jaringan pipa oksigen yang tidak murah dan seringkali alokasinya tidak rutin. Tak ada negara yang betul-betul siap di saat pandemi seperti sekarang ini. Namun dengan krisis oksigen ini, setidaknya menjadi pelajaran penting bahwa harus ada kerjasama yang baik antarlembaga, untuk mengatasi masalah dari hulu hingga hilir. (LITBANG KOMPAS).
  Kembali ke sebelumnya