Judul | PENANAMAN MODAL. Investasi Padat Karya Menyusut |
Tanggal | 04 Agustus 2021 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 0 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi V - Komisi VI |
Isi Artikel | Pemerintah mengakui semakin sulit menarik investasi padat karya. Investasi sektor jasa masih mendominasi, investor di sektor manufaktur pun lebih memilih mengoptimalkan penggunaan teknologi ketimbang tenaga kerja. OlehAGNES THEODORA JAKARTA, KOMPAS — Meski memuaskan dari nilai atau besaran modal yang ditanamkan, capaian realisasi investasi di awal tahun ini tidak memberi dampak signifikan pada penciptaan lapangan kerja. Mayoritas pengusaha lebih tertarik berinvestasi di sektor jasa atau industri manufaktur yang bersifat padat modal atau teknologi ketimbang padat karya. Data Kementerian Investasi menunjukkan, capaian realisasi investasi di sektor jasa (tersier) masih mendominasi sepanjang semester I-2021 dengan nilai Rp 218,8 triliun atau setara 49,4 persen dari total investasi pada Januari-Juni 2021 senilai Rp 442,8 triliun. Sementara sejak 2017, investasi di industri manufaktur atau pengolahan (sekunder) mengalami tren menurun. Pada semester I-2021, investasi di sektor manufaktur tercatat senilai Rp 167,1 triliun atau setara 37,8 persen dari total nilai investasi. Investasi di sektor ini paling banyak berasal dari investor asing daripada dalam negeri. Penanaman modal dalam negeri (PMDN) di sektor manufaktur tercatat hanya Rp 46,3 triliun, sementara penanaman modal asing (PMA) mencapai Rp 120,8 triliun. Dampak penciptaan lapangan kerja dari investasi pun tidak terlalu signifikan. Pada semester I-2021, sebesar Rp 442,8 triliun investasi yang masuk menyerap 623.715 pekerja. Meski meningkat dibandingkan dengan tahun lalu, tren tingkat serapan tenaga kerja terus menurun dibandingkan dengan periode 2014-2016. Deputi Bidang Pengendalian Pelaksanaan Penanaman Modal Kementerian Investasi Imam Soejoedi, Selasa (3/8/2021), membenarkan, investasi yang bersifat padat karya semakin menyusut. Mayoritas pengusaha lebih memilih berinvestasi di sejumlah sektor jasa, seperti telekomunikasi, pergudangan, transportasi, dan properti/perumahan yang sifatnya padat modal. ”Apalagi, di tengah pandemi, sektor telekomunikasi tumbuh pesat. Kaitannya juga dengan maraknya industri digital, seperti e-dagang, tekfin, dan lain-lain. Mau tidak mau, pengusaha melihat potensi besar, di situ investasi masif,” kata Imam saat dihubungi. Kendati pengusaha melirik sektor manufaktur pun, mereka lebih memilih investasi padat modal/teknologi dibandingkan dengan padat karya. Ini karena transformasi digital di sektor industri semakin pesat dan industri membutuhkan output produksi yang lebih tinggi dan mampu bersaing dengan industri lain di pasar global. ”Penggunaan teknologi di industri itu akan mengurangi jumlah tenaga kerja. Maka, harus kita akui bahwa ada pengurangan serapan tenaga kerja meski secara value, nilai investasi di manufaktur masih tinggi,” ujar Imam. Agar investasi memberi dampak pada peningkatan lapangan kerja, pemerintah pun mendorong investor besar dari dalam dan luar negeri untuk berkolaborasi dengan industri dan usaha kecil menengah setempat. IKM dan UMKM harus diikutsertakan dalam rantai pasok (supply chain) industri agar ikut berkembang dan bisa menyerap banyak tenaga kerja. Dengan kata lain, realisasi janji penciptaan lapangan kerja dibebankan pada IKM dan UMKM yang umumnya masih mengandalkan penggunaan tenaga manusia ketimbang otomasi. ”Minimal, industri besar menggandeng pelaku UMKM di tingkat provinsi supaya ada persebaran pendapatan, pengusaha UMKM baru naik kelas, lalu menyerap lebih banyak tenaga kerja,” katanya. Kendati demikian, pemerintah belum memiliki data lengkap terkait dengan realisasi tingkat serapan tenaga kerja dari hasil kolaborasi investor besar dengan UMKM/IKM itu. ”Ada datanya, tetapi belum bisa dibuka. Yang pasti, seharusnya potensi serapan tenaga kerja dari hasil kolaborasi dengan UMKM ini lebih besar dari yang sekarang tercatat dari hasil investasi,” katanya. Strategi dan pemetaan Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, mengatakan, capaian sejauh ini tidak sejalan dengan janji pemerintah menarik investasi demi menciptakan lapangan kerja pascaberlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Regulasi yang memberi kemudahan perizinan bagi pengusaha belum menghasilkan dampak yang signifikan pada penciptaan lapangan kerja. Di tengah bertambahnya angka pengangguran akibat terdampak pandemi Covid-19, lapangan kerja yang banyak dan berkualitas dari investasi semakin diharapkan. Adapun tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2021 adalah 6,26 persen dari total angkatan kerja nasional, atau sebanyak 8,75 juta orang. Angka pengangguran naik dari kondisi pra-pandemi pada Februari 2020 dengan TPT 4,94 persen atau 6,92 juta orang. ”Selain penyerapan tenaga kerja yang rendah karena porsi investasi di sektor jasa semakin banyak, sektor manufaktur pun tidak lagi murni padat karya. Investor lebih mengarah pada sektor yang lebih sedikit membutuhkan tenaga kerja,” ujarnya. Menurut dia, pemerintah harus lebih gencar bernegosiasi dengan calon investor untuk mengarahkan mereka berinvestasi di sektor yang bisa mengoptimalkan nilai tambah sekaligus menyerap tenaga kerja. Untuk itu, perlu ada pemetaan dan tujuan jelas terkait dengan strategi investasi pada era pandemi ini. Pemberian insentif dan kemudahan berusaha juga tidak cukup hanya di tataran regulasi, tetapi juga melalui implementasi di lapangan dari pusat ke daerah. ”Sekarang ini kesannya pemerintah kurang memetakan. Seolah-olah investasi apa pun silakan, yang penting masuk dulu. Tidak melihat sektor apa saja yang urgent, dan cenderung lebih membebaskan kepada investor, akhirnya lari ke sektor-sektor jasa yang padat modal,” katanya. |
Kembali ke sebelumnya |