Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Atasi Kendala Riset Vaksin Merah Putih
Tanggal 19 Agustus 2021
Surat Kabar Kompas
Halaman 1
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel Pengembangan vaksin Covid-19 terkendala ketersediaan ahli dan keterbatasan infrastruktur. Problem itu mesti diatasi agar vaksin bisa diproduksi di dalam negeri JAKARTA, KOMPAS—Keterbatasan sumber daya manusia dan infrastruktur riset tak menyurutkan semangat para peneliti di Indonesia mengembangkan vaksin Covid-19. Hal ini demi mewujudkan kemandirian produksi vaksin. Salah satunya, vaksin Merah Putih yang dikembangkan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya bersama dengan PT Biotis Pharmaceuticals Indonesia dan memasuki uji praklinik tahap kedua. Unair jadi anggota konsorsium pengembangan vaksin Merah Putih. Vaksin Covid-19 yang dikembangkan dengan platform inaktif ini ditargetkan bisa diproduksi massal awal 2022. Ketua Tim Peneliti Vaksin Merah Putih dari Universitas Airlangga Fedik Abdul Rantam, Rabu (18/8/2021), di Jakarta mengatakan, uji praklinik tahap pertama kandidat vaksin Covid-19 dengan platform inaktif (inactivated virus) menunjukkan hasil menjanjikan. Itu menyangkut aspek imunogenisitas (kemampuan memicu respons imun tubuh), keamanan, dan toksisitas. Dalam uji tantang baru-baru ini, tim periset memakai tujuh isolat varian Delta lewat pengurutan genom menyeluruh atau whole genome sequencing (WGS). Hasilnya, kemampuan netralisasi kandidat vaksin itu baik. Calon vaksin itu telah melalui uji praklinik 1 dengan obyek tikus transgenik dan praklinik fase dua dengan obyek primata.   ”Uji praklinik fase kedua masih berjalan. Hasil respons imun, mulai dari fisik sampai fisiologis makaka (monyet) sebagai subyek riset menunjukkan tren lebih baik,” ujar Fedik yang juga Guru Besar Fakultas Kedokteran Hewan Unair dalam jumpa pers Penyerahan Sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari Badan Pengawas Obat dan Makanan pada PT Biotis, kemarin. Baca juga Vaksin Merah Putih Unair Ditargetkan Diproduksi pada Awal 2022 Adapun CPOB diperlukan sebagai bukti industri farmasi memenuhi syarat dari Badan POM dalam membuat satu jenis bentuk sediaan obat, termasuk vaksin. Direktur Utama PT Biotis Pharmaceuticals Indonesia FX Sudirman berharap memproduksi vaksin Merah Putih skala besar pada semester pertama 2022. "Tentu, dengan pendampingan, pengawasan, dan dukungan BPOM,” ujarnya. Kepala Badan POM Penny K Lukito menyatakan, pendampingan terus dilakukan dalam pengembangan vaksin Merah Putih. Pengembangan vaksin oleh Unair dan PT Biotis melalui sejumlah proses, hingga terbit sertifikat CPOB. Secara paralel, dibuat juga kandungan obat dengan persiapan di hulu dan hilir. Dari enam kandidat vaksin Merah Putih yang dikembangkan di Indonesia, vaksin dari Unair dan PT Biotis menunjukkan perkembangan terdepan. Apabila uji praklinik selesai, uji klinik pada manusia diharapkan segera dimulai. Sementara riset vaksin Merah Putih oleh Lembaga Biologi Molekuler Eijkman-PT Biofarma dalam fase transisi dari skala laboratorium ke industri. Calon vaksin yang akan diuji klinik fase pertama akhir 2021 disiapkan menghadapi varian baru. ”Harus uji pre-klinik," kata Kepala Lembaga Eijkman Amin Soebandrio, sebagai peneliti utama vaksin Merah Putih). (Kompas.id, 4 Agustus 2021). Ketersediaan infrastruktur Sejauh ini pengembangan vaksin Covid-19 domestik belum optimal. Sebab, keahlian peneliti, alat produksi, dan infrastruktur pengujian lain terbatas. Ke depan, kendala ini dikikis dengan mengubah alokasi dan fokus riset serta menjamin adanya infrastruktur. Kepala Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Laksana Tri Handoko mengemukakan, evaluasi berjalan sejak Mei 2021 dan menyadari di Indonesia belum ada tim yang menemukan vaksin. Akibatnya, peneliti di Indonesia belum punya keahlian dan jam terbang memadai. Baca juga Atasi Kendala Pengembangan Vaksin Dalam Negeri "Pandemi Covid-19 dijadikan pembelajaran bahwa kita akan masuk ke riset itu. Namun, produksi terbatas atau mini GMP (good manufacturing practice) terkendala. Padahal ini diperlukan untuk menghasilkan produk terstandar yang akan diuji,” ujar dia dalam webinar ”Riset untuk Merah Putih”, kemarin. Upaya menghasilkan produk terstandar terkendala terbatasnya infrastruktur. Ia mengakui belum banyak industri farmasi memiliki alat produksi GMP tersertifikasi dan terstandar. Proses saling meminjam alat produksi sulit dilakukan karena dalam produksi vaksin berbeda, tiap alat yang dipakai harus dibersihkan dan disertifikasi ulang. Uji vaksin pun tak efektif karena semua proses itu butuh waktu 3-4 bulan. Terkait hal itu, tahun ini BRIN akan mengubah alokasi dan fokus riset serta menjamin ketersediaan infrastruktur. Semua infrastruktur riset akan dibuat terbuka agar peneliti, akademisi, dan industri, bisa memakainya bergantian. ”Salah satu upaya yang dilakukan yakni menyediakan mini GMP bagi semua platform meski tahun ini fokus pada pengembangan vaksin dengan metode protein rekombinan. Fasilitas uji perlu dikembangkan karena belum ada animal biosafety level-3,” tuturnya. (DEONISIA ARLINTA/PRADIPTA PANDU/AMBROSIUS HARTO/AGNES SWETTA PANDIA)
  Kembali ke sebelumnya