Isi Artikel |
Kapal survei China, Haiyang Dizhi Shihao 10, kembali bergerak di lintasan yang sama dengan yang dilewatinya satu bulan lalu di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara.
Oleh PANDU WIYOGA
BATAM, KOMPAS — Kapal survei China, Haiyang Dizhi Shihao 10, masih leluasa beroperasi di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau. Mulai Selasa (5/10/2021), kapal itu kembali bergerak di lintasan yang sama dengan yang dilewatinya satu bulan lalu.
Peneliti Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI), Imam Prakoso, mengatakan, lintasan Haiyang Dizhi 10 yang sama persis dengan sebelumnya itu menjadi indikasi kuat kapal tersebut tengah menggelar survei kelautan di Laut Natuna Utara. Sejak kembali memasuki perairan Indonesia pada 4 Oktober, Haiyang Dizhi 10 selalu dikawal oleh kapal penjaga pantai China, CCG 6305.
”Lintasan Haiyang Dizhi 10 yang sama persis dengan satu bulan sebelumnya itu menunjukkan mereka merekam semua kegiatannya. Itu salah satu bukti kuat Haiyang Dizhi 10 melakukan penelitian di Laut Natuna Utara,” kata Imam.
Sebelumnya, dari sinyal perangkat identifikasi otomatis (AIS), Haiyang Dizhi 10 terpantau beroperasi di Laut Natuna Utara setidaknya sejak 30 Agustus 2021. Adapun pada 2-27 September 2021, kapal itu terpantau bergerak dalam lintasan zig-zag yang sangat rapat di sekitar blok eksplorasi minyak dan gas D-Alpha.
Pada 29 September, Haiyang Dizhi 10 sempat keluar dari Laut Natuna Utara dan menuju ke pangkalan penjaga pantai China di gugusan karang Fiery Cross, Laut China Selatan. Imam menduga, kapal itu sandar di Fiery Cross untuk mengisi ulang perbekalan. Dilihat dari operasi sebelumnya, kapal itu membutuhkan perbekalan ulang setiap satu bulan.
Haiyang Dizhi 10 merupakan kapal survei yang dilengkapi berbagai peralatan untuk mengambil dan meneliti sampel makhluk hidup, sedimen, dan gambar dari bawah laut. Selain itu, Haiyang Dizhi 10 juga memiliki peralatan seismic wave detection untuk memetakan kontur dasar laut.
Potensi migas
Kapal serupa, Haiyang Dizhi 8, pernah membuat Pemerintah Malaysia geram karena menggelar survei eksplorasi di ZEE Malaysia selama satu bulan, April 2020. Sama dengan kejadian di Laut Natuna Utara, kapal itu juga melakukan riset di perairan Malaysia yang kaya minyak dan gas.
Lapangan gas D-Alpha di Laut Natuna Utara disebut-sebut menyimpan cadangan gas terbesar di Indonesia. Namun, sejak ditemukan pada 1973, hingga saat ini lapangan gas D-Alpha belum berhasil dieksploitasi karena membutuhkan biaya tinggi. Itu karena kandungan gas karbon dioksidanya mencapai 72 persen.
Menurut Direktur Indonesian Resources Studies Marwan Batubara, cadangan gas kotor di Blok East Natuna mencapai 222 triliun kaki kubik (TCF). Adapun cadangan gas bersih, setelah dipisahkan dari karbon dioksida, diperkirakan lebih kurang 46 TCF.
Marwan menilai, klaim China di Laut Natuna Utara seharusnya mendorong Pemerintah Indonesia untuk menggalakkan kegiatan eksploitasi migas di lapangan gas D-Alpha. Untuk mengakomodasi biaya pemisahan gas karbon dioksida yang cukup tinggi, pemerintah bisa memberikan keringanan insentif fiskal kepada perusahaan migas dan menurunkan persentase bagi hasil untuk pemerintah.
Klaim sembilan garis putus-putus China mencakup lapangan gas D-Alpha. Klaim China itu juga mencaplok lebih kurang 83.000 kilometer persegi atau 30 persen luas perairan Indonesia di Natuna.
Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982 mengatur dengan jelas bahwa penelitian kelautan dan survei hidrografi di ZEE oleh negara asing harus dilakukan atas izin negara pantai. Hal serupa diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia.
Menanggapi hal itu, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Golkar, Dave Laksono, mengatakan, operasi Haiyang Dizhi 10 selama lebih dari satu bulan di Laut Natuna Utara itu perlu dipertanyakan. Ia meminta pemerintah, dalam hal ini Badan Keamanan Laut dan Kementerian Luar Negeri, tegas menyikapi hal tersebut.
”Kalau (China) menggelar riset di Indonesia, seharusnya mereka bekerja sama dengan BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional). Kalau mereka tidak terbuka, itu harus dicurigai dan pemerintah harus tegas minta mereka keluar dari wilayah Indonesia,” kata Dave.
|