Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul LAUT CHINA SELATAN Negara Diminta Bersikap Tegas Hadapi Pelanggaran Kapal China
Tanggal 05 Oktober 2021
Surat Kabar Kompas
Halaman 0
Kata Kunci
AKD - Komisi I
Isi Artikel Pertikaian di Laut Natuna Utara memang perlu dicegah. Namun, pemerintah tetap harus mengeluarkan sikap tegas atas pelanggaran berulang yang dilakukan China. Oleh RINI KUSTIASIH   JAKARTA, KOMPAS — Negara melalui Kementerian Luar Negeri diminta tegas mengusir kapal-kapal China yang diketahui melintas tanpa izin, atau bahkan melakukan operasi riset dan kajian bawah laut di wilayah Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di kawasan Laut Natuna Utara. Di sisi lain, upaya eksplorasi dan pengembangan sumber daya alam di kawasan Laut Natuna Utara juga diharapkan menjadi perhatian utama pemerintah untuk menegaskan kepemilikan dan kedaulatan Indonesia terhadap wilayah laut tersebut. Sebelumnya, kapal survei China, Haiyang Dizhi Shihao 10, terpantau beroperasi di ZEE Indonesia sejak akhir Agustus 2021. Pada 2-27 September 2021, kapal itu terpantau melintas zig-zag dan diduga melakukan riset bawah laut di perairan yang mengandung cadangan minyak dan gas paling besar di Indonesia (Kompas.id, 4/10/2021). Anggota Komisi I dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Muhammad Iqbal, mengatakan, peristiwa itu bukan kali pertama terjadi di kawasan Laut Natuna Utara. China tetap pada klaimnya yang berpegang pada sembilan garis putus-putus atau nine dash line. Sembilan garis putus-putus adalah garis yang dibuat Pemerintah China mengenai klaim wilayahnya di Laut China Selatan. Padahal  telah ada keputusan atau konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hukum laut (UNCLOS) 1982 yang mengatur penelitan kelautan dan survei hidrografi di ZEE oleh negara asing harus dilakukan atas izin negara pantai. ”UNCLOS itu menyatakan bahwa ZEE itu wilayah kita, tetapi China mengklaim sebaliknya karena dia berpatokan pada sembilan garis putus-putus itu. Ini tentu tidak bisa dibiarkan saja. Harus ada tindakan tegas dari Angkatan Laut, Badan Keamanan Laut (Bakamla) kita untuk mengusir kapal-kapal China yang memasuki wilayah kita tanpa izin,” kata Iqbal, Selasa (5/10/2021) di Jakarta. Ketegasan sikap itu perlu untuk menegaskan kedaulatan wilayah Indonesia, sekaligus mencegah aksi penerobosan kapal-kapal asing  itu terus terjadi. Peristiwa ini pun diketahui bukan yang pertama kalinya terjadi di wilayah Laut Natuna Utara. ”Indonesia tentu harus berpegang teguh pada apa yang telah disepakati di PBB. Kalau kita tidak tegas, itu akan menjadi preseden buruk bagi kita  karena negara-negara asing akan masuk seenaknya di wilayah kita,” ucapnya. Kemenlu pun diminta secepat mungkin menunjukkan sikap melalui diplomasi luar negeri yang tegas dan efektif untuk memastikan tidak lagi ada kapal-kapal asing yang masuk tanpa izin di ZEE Indonesia. Kemenlu perlu memastikan kepada negara-negara tetangga, termasuk  China, bahwa tindakan mereka masuk ke batas laut wilayah Indonesia bukan merupakan tindakan yang diperbolehkan. Masuknya kapal-kapal asing ke wilayah ZEE Indonesia merupakan suatu pelanggaran kedaulatan negara. ”Kita tidak ingin ada pertikaian di Laut Natuna Utara, tetapi mesti ada sikap tegas dari pemerintah soal ini. Cara-cara diplomasi juga harus dilakukan untuk menghalau secara persuasif kapal-kapal asing di sana. Mereka harus pergi dari batas laut kita karena bagaimanapun kita mengikuti keputusan PBB,” ujar Iqbal. Pemerintah juga perlu mempertimbangkan untuk segera melakukan eksplorasi dan pengembangan wilayah laut di ZEE Indonesia di kawasan Laut Natuna Utara. Pengelolaan itu kian menguatkan posisi de facto penguasaan Indonesia terhadap wilayah Natuna Utara. Tanpa eksplorasi dan pengembangan yang sistematis di wilayah itu, negara-negara asing akan menganggap kawasan tersebut tidak bertuan. ”Perlu langkah cepat pemerintah untuk melakukan eksplorasi di wilayah laut tersebut  guna membuktikan bahwa itu memang wilayah kita,” ujarnya. Landas kontinen DPR bersama pemerintah pun kini sedang membahas Rancangan Undang-Undang Landas Kontinen yang menjadi salah satu Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021. Keberadaan RUU itu diharapkan bisa menguatkan UNCLOS yang telah diratifikasi juga oleh Indonesia melalui UU Nomor 5 Tahun 1983 tentang ZEE Indonesia. Iqbal mengatakan, RUU Landas Kontinen itu menjadi penting bagi kedaulatan Indonesia, terutama di tengah situasi yang memanas di Laut Natuna Utara. Penegasan kembali kedaulatan dan kewenangan Indonesia untuk mengelola landas kontinen ataupun ZEE di wilayah perairan Indonesia akan memberikan kekuatan hukum bagi pemerintah melakukan eksplorasi secara maksimal di wilayah landasan kontinen dan perairan Indonesia. ”Dari sisi regulasi, kami akan memberikan dukungan dengan RUU ini, tetapi upaya-upaya lain harus dilakukan pemerintah, utamanya ketegasan sikap menghalau kapal-kapal itu dari wilayah kita,” kata Iqbal. Sesuai rencana, RUU Landas Kontinen yang saat ini tengah dibahas oleh panitia khusus (pansus) akan disahkan pada masa sidang berikutnya. ”Setelah reses, RUU itu kami harapkan sudah bisa disahkan,” ucapnya. Secara terpisah, anggota Komisi I DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Sukamta, mengatakan, dalam rapat dengar pendapat dengan Bakamla beberapa waktu lalu, pihaknya memperoleh informasi adanya ratusan, bahkan ribuan, kapal Vietnam hingga China diketahui menerobos masuk wilayah Indonesia di Laut Natuna Utara saat dilakukan pengamatan secara langsung dari udara. Masuknya kapal-kapal asing ke wilayah Indonesia secara ilegal tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga bisa membahayakan kedaulatan wilayah Indonesia. Oleh sebab itu, Sukamta meminta pemerintah serius meningkatkan kapasitas patroli keamanan wilayah laut terluar Indonesia. ”Terutama di wilayah Laut Natuna Utara, perlu ada konsentrasi yang lebih besar untuk melakukan patroli. Wilayah ini berdekatan dengan zona sengketa di laut China Selatan antara China dan negara-negara ASEAN. Beberapa kali juga terjadi insiden kapal coast guard China masuk wilayah Indonesia. Jika Indonesia tidak bisa menujukkan kekuatan patroli keamanan yang memadai, pihak asing akan leluasa mengobok-obok wilayah Indonesia.” Ada tiga pendekatan, lanjut Sukamta, yang bisa dilakukan oleh Indonesia. Pertama, Indonesia harus menguatkan kekuatan patroli Bakamla. Selama ini, Bakamla menyebutkan hanya memiliki 10 kapal untuk patroli. Hal ini tentu sangat minim untuk menjaga wilayah laut Indonesia yang luas. Industri pertahanan milik Indonesia seharusnya bisa lebih digiatkan untuk memproduksi kapal-kapal jenis coast guard. Upaya ini untuk mendukung cakupan patroli yang selama ini dilakukan. Kedua, koordinasi keamanan laut mesti ditingkatkan dengan melibatkan berbagai kekuatan yang dimiliki. ”Kerja sama yang telah dilakukan Bakamla dengan TNI AU untuk melakukan patroli udara ini bagus dan perlu diperkuat. Bakamla juga bisa bekerja sama dengan Lapan untuk memperkuat pemanfaatan teknologi penginderaan melalui satelit dan udara,” ujarnya. Ketiga, Indonesia dapat pula mencontoh strategi China dengan mengerahkan milisi laut dalam sengketa di Laut China Selatan. ”Indonesia punya banyak nelayan  andal, mereka bisa dilibatkan untuk ikut mengamankan wilayah Laut Natuna Utara. Pengerahan nelayan-nelayan Indonesia di wilayah yang rawan dimasuki pihak asing  bisa ikut membantu memberikan informasi ke Bakamla. Dalam hal ini pemerintah bisa memberikan fasilitasi berupa alat monitor dan BBM kepada nelayan-nelayan Indonesia,” ucapnya.
  Kembali ke sebelumnya