Judul | Artikel Opini: PTM Terbatas. Memulihkan Belajar |
Tanggal | 28 September 2021 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi X |
Isi Artikel | PTM Terbatas. Memulihkan Belajar. Ketika pembelajaran tatap muka terbatas dimulai, sekolah mengembangkan cara baru dalam pembelajaran. Belajar mestilah aktivitas yang menggembirakan juga memberi ruang kepada anak agar dapat mengembangkan potensinya. Oleh MUHAMAD DOPIR. Pembelajaran tatap muka siap dimulai. Sekolah-sekolah di sejumlah kota bergiat mempersiapkan diri dengan menggelar simulasi pembelajaran tatap muka. Sarana penunjang untuk melancarkan protokol kesehatan dilengkapi sedemikian rupa. Beberapa tempat malah sudah mendahului. Pembelajaran tatap muka berjalan dengan sistem sif (bergantian). Gairah bersekolah meliputi wajah-wajah para pelajar. Segudang rencana direka-reka demi ruang jumpa yang telah lama absen. Saya pun turut bahagia. Pelajar SD dan SMP yang saya jumpai begitu sumringah. Mereka saling berbincang, tertawa riang, dan teriak gembira. Baju seragamnya terlihat baru. Maklum, setahun lebih sejak pandemi merebak, baju itu bahkan sangat mungkin belum sempat dicuci meskipun ada juga sekolah yang rutin bertemu muka secara daring mengharuskan siswanya tetap berseragam. Artinya, bagi mereka ini, baju seragamnya pasti sudah dipakai berkali-kali. Siswa-siswi yang saya lihat berseragam baru barangkali tak diwajibkan berseragam saat berjumpa (pembelajaran) daring. Pakaian seragamnya masih bersinar secerah wajahnya yang berseri-seri, segar, dan tampak sekali semangat bergelora. Mereka yang SMA malah ada penyerta lain. Parfumnya yang wangi khas remaja menyeruak terbawa angin pagi yang sejuk. Baca juga: Menyambut Pembelajaran Tatap Muka, Mewujudkan Kesejahteraan Siswa Jika sudah demikian, tak ada alasan bagi sekolah dan guru untuk menyambut mereka dengan cara biasa. Sarana pendukung protokol kesehatan jelas wajib. Tetapi, kalau cuma itu yang baru, ah, alangkah sayangnya. Sekolah perlu mempunyai paradigma baru. Saat ini, anak-anak bukanlah mereka yang dahulu belajarnya datang, duduk, diam, dan mendengarkan guru. Mereka telah memiliki habit baru dalam belajar dan sudah berjalan setahun lebih. Mereka adalah peselancar internet yang hampir lebih dari separuh harinya bergulat dengan gadget. Saya pastikan para pendidik ikut bersuka ria sebab pembelajaran tatap muka kembali dibuka. Namun, kalau dalam kegembiraan itu yang terendap adalah pola belajar lama, menyelesaikan materi pelajaran yang banyak dan kehendak mengujinya lewat soal-soal tes, amboi, sayang sekali. Menurut saya, pembelajaran virtual memang banyak sekali kelemahannya. Betapa melatih karakter tak bisa maksimal seperti halnya belajar tatap muka. Belum lagi terkait materi pelajaran, yang ada adalah siswa belajar banyak, tetapi mendapatkan pengetahuan yang serba sedikit. Meski demikian, belajar daring tak melulu negatif. Jika bicara ideal, dengan belajar daring, pelibatan aktif orangtua dengan pendidikan anaknya sangatlah penting. Sebelum pandemi, semacam ada tabir pemisah urusan sekolah dan rumah. Itu diandaikan ideal, belakangan justru terdengar disharmoni antara orangtua, siswa, dan sekolah. Tugas yang numpuk dan absennya komunikasi antara orangtua dan sekolah tampak sekali berdampak negatif. Unsur-unsur penting dalam proses tumbuh kembang anak ini justru posisinya berhadap-hadapan alih-alih saling mendukung. Baca juga: Menjadi Orangtua Daring Masih menurut pendapat saya, keuntungan lain belajar daring adalah kesempatan melatih pelajar belajar secara mandiri. Belakangan kebanyakan dari mereka malah belajar sendiri, bukan mandiri. Maksud saya, mereka masuk dalam kebingungan. Oleh guru dituntut mengerjakan tugas agar skor nilainya baik, ke orangtua mereka diharuskan tidak merepotkan. Akhirnya, mereka bekerja sama antarteman hanya untuk menjawab soal-soal hafalan ketimbang berkerja sama berlatih riset, mengadakan pekan karya, atau produktif menulis. Kisah tak sedap belajar daring ini masih akan berlanjut apabila sekolah tak mengembangkan cara baru dalam belajar. Seperti yang saya sebutkan sebelumnya, membayangkan pembelajaran akan berjalan seperti belum ada pandemi merupakan keinginan yang sia-sia. Betapa, anak yang telah memiliki rutinitas dan menjadi habit selama setahun lebih itu mustahil bisa dikembalikan belajar dengan cara lama. Pertentangan demi pertentangan hanya akan terus menumpuk masalah. Apa yang harus dilakukan? Sekolah perlu memulihkan pembelajaran. Yang dimaksud pemulihan bukan bermakna belajar akan berjalan seperti biasa, menerima penjelasan materi pelajaran lalu dievaluasi dengan tes. Memulihkan pembelajaran adalah sungguh-sungguh menggerakkan siswa baik daya fisik maupun daya pikirnya menjadi individu yang secara sadar mau belajar mandiri. Pertama, pendidik perlu terus berupaya meramu pembelajaran yang meningkatkan rasa ingin tahu, merangsang agar siswa butuh membaca, juga mendorong mereka untuk mewujudkan daya yang dipunyai menjadi karya nyata. Ke depan, kehadiran siswa ke sekolah memang tak butuh penuh lima atau enam hari di sekolah. Kedua, istilah pembelajaran tatap muka terbatas bagi saya tak relevan. Ke depan, kehadiran siswa ke sekolah memang tak butuh penuh lima atau enam hari di sekolah. Misalnya, tiga hari ke sekolah, dua hari belajar mandiri di rumah. Tiga hari kedatangan mereka ke sekolah bukan untuk mengantongi materi pelajaran yang banyak itu, melainkan melatih keterampilan atau kemampuan dasar yang perlu mereka sandang atau mengadakan program aktualisasi diri. Misalnya, latihan kepemimpinan, manajemen, menanam pohon, komunikasi publik, menulis diari dan lain-lain. Atau mengadakan pojok kesenian, talk show (unjuk bincang), kunjungan belajar, bakti sosial, dan lain-lain. Sementara sisa hari yang lain, mereka tetap belajar daring. Materi ajar cukuplah materi-materi esensial. Ketiga, sekolah dan rumah sudah semestinya menjalin hubungan komunikasi yang erat dan saling mendukung demi kepentingan belajar anak. Jadi, masing-masing pihak bicara dari hati ke hati, mendudukkan tanggung jawab masing-masing antara orangtua dan guru. Oleh karena itu, tak sampai terjadi lagi saling tuduh mencari kesalahan jika ditemukan persoalan. Alhasil, belajar mestilah aktivitas yang menggembirakan juga memberi ruang kepada anak menjadi diri sendiri dengan segala potensi yang ia bawa. Belajar bukanlah sebentuk instruksi agar anak menuruti segala kemauan guru. Memosisikan anak sebagai subyek belajar yang berhak tumbuh tanpa kekangan apa pun. Cara belajar konvensional bagusnya diupayakan agar lebih baik. Muhamad Dopir, Guru Bineka Yayasan Cahaya Guru (YCG) Berkas dalam bentuk [] |
Kembali ke sebelumnya |