Judul | Artikel Opini: Pembelajaran Berkualitas. Menghitung Kerugian Belajar |
Tanggal | 28 September 2021 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi X |
Isi Artikel | Pembelajaran Berkualitas. Menghitung Kerugian Belajar. Pemberlakuan pembelajaran luring atau pembelajaran di sekolah di masa pandemi ini tidak akan efektif tanpa pemetaan siswa yang mengalami kerugian belajar akibat pembelajaran daring. Perlu pemetaan kebutuhan siswa. Oleh ALI SAUKAH. Learning loss dapat dimaknai sebagai kerugian belajar, penurunan capaian pembelajaran, atau penurunan pengalaman belajar. Analog dengan bidang ekonomi, dampak pandemi Covid-19 sangat dirasakan oleh masyarakat sebagai kerugian dalam berusaha sehingga dampaknya terhadap bidang pendidikan juga lebih mudah dimaknai sebagai kerugian belajar. Kerugian belajar dapat dihitung secara kuantitatif dan/atau kualitatif. Menghitung kerugian belajar secara kuantitatif relatif lebih mudah daripada menghitung secara kualitatif. Secara kuantitatif, kerugian belajar dapat dihitung berdasarkan perbandingan jam belajar yang dialami oleh para peserta didik dalam penyelenggaraan terstruktur pembelajaran secara daring dan secara luring. Menghitung kerugian belajar secara kualitatif lebih sulit karena ukurannya terkait dengan mutu yang dihasilkan. Pada dasarnya, mutu yang dihasilkan dari proses pembelajaran di jenjang pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi dapat diukur. Pengukurannya dari seberapa banyak dan mendalam kompetensi yang dimiliki para lulusannya sesuai capaian pembelajaran yang ditetapkan dalam setiap mata pelajaran/kuliah berdasarkan kurikulum yang digunakan. Jadi, menghitung kerugian belajar secara kualitatif memerlukan asesmen valid yang mengukur kompetensi yang diperoleh peserta didik sebagai hasil pembelajaran daring selama pandemi. Kerugian belajar dihitung dari perbedaan antara kompetensi hasil asesmen dengan kompetensi lulusan berdasarkan kurikulum. Kerugian belajar secara kualitatif berbentuk paparan deskriptif yang memerlukan kajian mendalam. Akhir-akhir ini pejabat yang bertanggung jawab dan para pemangku kepentingan dalam bidang pendidikan menyambut baik rencana melaksanakan sebagian pembelajaran secara luring. Ada kesan bahwa dengan menyelenggarakan pembelajaran secara luring seolah-olah kerugian belajar akan teratasi. Kesan yang keliru ini harus segera diklarifikasi bahwa sebetulnya kerugian belajar yang ditandai dengan penurunan capaian pembelajaran bukan hanya semata-mata akibat dari pembelajaran secara daring, tetapi karena mutu penyelenggaraannya. Pembelajaran secara luring yang diselenggarakan tanpa memperhatikan mutu juga akan sama saja dengan pembelajaran secara daring yang tidak bermutu. Pembelajaran secara luring yang diselenggarakan tanpa memperhatikan mutu juga akan sama saja dengan pembelajaran secara daring yang tidak bermutu. Perlu ada kajian kualitatif penyebab kerugian belajar. Hasil kajian ini akan dapat mengungkap penyebab kerugian belajar. Apakah karena hakikat mata pelajaran atau mata kuliah memang banyak memerlukan luring, akses terhadap gawai dan koneksi internet, pendidik dan/atau peserta didik yang belum siap menggunakan sistem pembelajaran berbasis teknologi informasi, atau karena kompetensi profesional para pendidiknya dalam keilmuan mata pelajaran atau mata kuliah yang menjadi tanggungjawabnya. Berdasarkan hasil kajian ini, solusi bagi kerugian belajar akan bervariasi tergantung penyebabnya, bukan solusi tunggal dengan cara kembali menyelenggarakan pembelajaran luring semua. Pendeknya, kerugian belajar seharusnya tidak hanya ditanggulangi dengan pemberlakuan luring kepada semua peserta didik tanpa didasarkan atas hasil kajian tentang siapa saja peserta didik yang selama pandemi tidak bisa memperoleh layanan pembelajaran daring yang bermutu karena berbagai sebab. Peserta didik yang seperti ini yang perlu mendapatkan prioritas untuk memperoleh layanan pembelajaran luring lebih banyak dari pada peserta didik yang selama ini telah memperoleh layanan pembelajaran daring yang bermutu. Selain itu, need assessment sangat diperlukan untuk memetakan kebutuhan tiap individu peserta didik sebagai bahan bagi pendidik dalam merancang pembelajaran remedi untuk mengganti kerugian belajar mereka. Pemetaan kebutuhan Lepas dari semua hal tersebut di atas, kondisi pandemi Covid-19 perlu dimanfaatkan untuk melakukan kajian mendalam yang menghasilkan pemetaan kebutuhan pembelajaran luring saja, kombinasi luring dan daring (blended learning), atau bahkan daring penuh, berdasarkan jenjang pendidikan, heteroginitas sarana prasarana di setiap wilayah seluruh Indonesia, dan kapasitas yg dimiliki para pemangku kepentingannya. Hasil kajian tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan dalam melakukan revisi Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jadi, sudah waktunya dikaji penyelenggaraan pendidikan yang memanfaatkan kemajuan teknologi informasi yang didukung oleh kemajuan dalam inteligensi buatan (Artificial intelligence), dengan mengambil momentum kondisi pandemi Covid-19 sebagai faktor yang mempercepat adopsi kemajuan teknologi informasi. Besar kemungkinan hasil kajian mendalam akan mengarah pada perlunya penyelenggaraan blended learning dengan proporsi lebih banyak luring pada pendidikan dasar yang secara berangsur menjadi lebih banyak daring pada pendidikan menengah dan pendidikan tinggi. Baca juga : Mencegah Kehilangan Pengalaman Belajar Sudah cukup lama dunia pendidikan konvensional diperingatkan oleh Clayton M Christensen, Guru Besar Harvard Business School, tentang kemungkinan pendidikan berbasis luring semata akan tersingkir tertimpa disrupsi apabila lembaga pendidikan konvensional tidak mengubah penyelenggaraannya dari secara luring menjadi secara daring atau kombinasi dari keduanya (CNBS, 2018). Penanganan terhadap kerugian belajar dengan cara menyelenggarakan pendidikan secara luring lagi tanpa memperhatikan penyebabnya yang sangat bervariasi akan memberi kesan bahwa pada akhirnya penyelenggaraan pendidikan di Indonesia secara bertahap akan kembali menjadi luring. Jika kesan ini benar, tampaknya peringatan yang disampaikan tahun 2017 oleh Clayton M Chritensen telah terabaikan. Pendidik di abad ke-21 perlu beralih fungsi ke arah peranan yang masih belum dapat dilakukan oleh gawai. Sejalan dengan peringatan Clayton M Christensen, gagasan Ian Gilbert (2014) dalam bukunya yang berjudul ”Why do I need a teacher when I’ve got Google?” memberikan peringatan lebih dini tentang perlunya peranan baru pendidik di abad ke-21. Pendidik di abad ke-21 perlu beralih fungsi ke arah peranan yang masih belum dapat dilakukan oleh gawai. Menurut Ian Gilbert, peranan yang masih perlu dilakukan oleh para pendidik abad ke-21, yang belum dapat dilakukan oleh gawai, antara lain, membantu peserta didik untuk mengetahui di mana mereka dapat menemukan pengetahuan, mengetahui apa yang harus mereka lakukan setelah mereka menemukan pengetahuan tersebut, dan mengetahui bedanya pengetahuan yang ”baik” dan yang ”tidak baik”. Para pendidik juga perlu membantu peserta didik dalam mengembangkan kreativitas mereka, rasa ingin tahu mereka, kemampuan mereka bekerja dalam tim dengan baik, kepercayaan diri mereka, rasa tentang apa yang dianggap benar dan salah, dan membantu mengembangkan kemampuan mereka mengelola kesulitan dan kekhawatiran. Menurut saya, yang jelas akan sangat sulit digantikan oleh gawai adalah peranan pendidik sebagai panutan, sebagai role model, dalam mendidik karakter para peserta didik. Peringatan Clayton M Christensen dan Ian Gilbert tersebut mengindikasikan bahwa sistem pendidikan secara daring yang bermutu di masa depan adalah keniscayaan. Hikmah di balik musibah pandemi Covid-19 adalah percepatan kesiapan lembaga pendidikan di Indonesia untuk memanfaatkan kemajuan teknologi informasi jika kita tidak ingin tersingkir, jika kita tidak ingin terdisrupsi! Ali Saukah, Guru Besar Universitas Kalimantan Timur |
Kembali ke sebelumnya |