Isi Artikel |
Akuntabilitas energi baru terbarukan di beberapa negara, termasuk Indonesia, masih menghadapi situasi yang melemahkan pencapaian target pengurangan emisi bersama dunia sebesar 50 persen pada 2030.
Oleh SOLICHAH RATNASARI
Pertemuan tingkat tinggi UN Climate Change COP 26 di Glasgow, Skotlandia, akan membahas komitmen pencapaian target perubahan iklim secara global. Fokus pengurangan emisi gas rumah kaca melalui produksi energi baru terbarukan (EBT) menjadi salah satu topik penting dalam agenda pertemuan tersebut.
Indonesia sebagai negara yang turut serta dalam COP 26 mendatang pun mempunyai komitmen penurunan emisi dari sektor energi. Seperti apa akuntabilitas dan kinerja Indonesia dalam pemenuhan komitmen itu?
Sebagai negara yang turut menandatangani Paris Agreement, Indonesia telah mematok target kontribusi energi terbarukan sebesar 23 persen pada bauran energi nasional pada 2025. Bahkan, komitmen Indonesia tersebut diundangkan pada Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim.
Hingga kini, target tersebut baru mencapai 11 persen. Indonesia sebagai negara yang memiliki sumber daya alam terbarukan hanya mengandalkan energi terbarukan yang berasal dari panas bumi dan tenaga air saja. Sumber daya alam untuk energi terbarukan yang dapat berasal dari biomassa, angin, tenaga matahari, dan sumber terbarukan lainnya yang mudah diperoleh di Indonesia, masih saja belum dimanfaatkan.
Merespons target ambisius untuk penyediaan EBT, akuntabilitas energi didorong melalui audit atas EBT. Hasil audit BPK atas EBT tahun 2017 menemukan bahwa rencana umum energi nasional terlambat ditetapkan. Hal ini menimbulkan risiko ketidaktercapaian target EBT tahun 2025. Penyebabnya adalah Kementerian ESDM dan Dewan Energi Nasional kurang aktif berkoordinasi dengan kementerian/lembaga lainnya.
Kembali lagi, pada 2019, BPK melaksanakan audit atas EBT. Namun, kembali lagi ditemukan permasalahan tentang koordinasi lintas sektor, yang kali ini berfokus pada kebijakan. Sebagai contoh, masih dijumpai kebijakan yang belum sinkron, seperti harga jual EBT jikalau mengacu Kebijakan Energi Nasional menggunakan feed-in tariff.
Di sisi lain, Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 tentang Pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik menyatakan bahwa standar yang digunakan adalah Biaya Pokok Penjualan PT PLN. Sebagai tindak lanjut, aturan tersebut kini telah diganti dengan Peraturan Menteri ESDM Nomor 4 Tahun 2020.
Temuan penting lainnya adalah desain instrumen pendanaan dan regulasi pendukung belum mendukung iklim investasi EBT di dalam negeri. Semisal, proposal pengembangan EBT belum memadai, bankability rencana proyek build, own, operate, and transfer yang berkurang, dan belum tersedia opsi sumber pendanaan untuk mewujudkan pencapaian target EBT.
Kondisi tersebut membuat iklim investasi bidang EBT di Indonesia tidak menarik dan tidak dilirik oleh investor. Sebagai tindak lanjut, sudah seharusnya pemerintah mampu memperbaiki keadaan dengan menyediakan instrumen pendukung iklim investasi untuk EBT agar target pengurangan emisi pada 2025 dapat tercapai.
Koordinasi lemah
Temuan audit untuk sektor EBT di Indonesia ternyata tidak jauh berbeda dengan di negara-negara Uni Eropa yang mengklaim dirinya sebagai pionir energi bersih. Hal ini dibuktikan dengan temuan penting terkait lemahnya koordinasi dengan berbagai pihak dan perencanaan strategi yang tidak efisien pada hasil audit atas EBT di Uni Eropa.
Misalnya, pada hasil audit di Jerman tahun 2016 terdapat temuan terkait koordinasi yang lemah, tidak konsisten, dan tumpang tindih antara kementerian di pusat dan pemerintah negara bagian dalam implementasi peralihan energi bersih. Dilanjutkan audit pada 2018, Pemerintah Jerman ternyata belum mempertimbangkan dampak keuangan atas kegiatan transisi energi sehingga menimbulkan risiko transisi energi yang jauh lebih mahal di masa mendatang.
Lemahnya pencapaian target EBT terjadi di beberapa negara Eropa Timur dan Eropa Selatan menjadi hasil temuan BPK Latvia pada 2018. Lebih lanjut, hasil audit tersebut menggambarkan buruknya perencanaan, kualitas data, dan pengukuran pencapaian target EBT. Ditambah kurangnya pendanaan di sektor EBT pada negara-negara bekas pecahan Uni Soviet tersebut. Negara-negara di Eropa Timur dan Eropa Selatan pada kenyataannya masih mengandalkan energinya pada bahan bakar fosil karena ketidakmampuan mereka memodernisasi teknologi untuk mendukung produksi EBT.
Akuntabilitas energi baru terbarukan di Indonesia dan Uni Eropa menghadapi situasi yang sama, yaitu lemahnya koordinasi lintas sektor, perencanaan strategi tidak efisien, dan kekurangan dukungan pendanaan. Hasil temuan audit itu jika tidak segera dibenahi bersama-sama secara global, akan berisiko menghambat tercapainya target pengurangan emisi bersama dunia sebesar 50 persen pada tahun 2030. Pada pertemuan Glasgow nanti, Indonesia dan semua negara di dunia perlu duduk bersama untuk mencari solusi dan komitmen bersama dalam rangka mencapai target pengurangan emisi global demi masa depan dunia yang lebih baik.
Solichah Ratnasari, Mahasiswi Program Doktor Ilmu Lingkungan Universitas Indonesia
|