Judul | INDUSTRI PENERBANGAN Sinyal Diam Jokowi Selamatkan Garuda Indonesia |
Tanggal | 31 Oktober 2021 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | 0 |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi V - Komisi VI |
Isi Artikel | Lawatan Presiden ke luar negeri menggunakan Garuda Indonesia akan membuat citra maskapai itu menjadi lebih positif di kancah internasional. Pemerintah Indonesia dinilai masih peduli dengan maskapai miliknya tersebut. Oleh HENDRIYO WIDI Garuda Indonesia merupakan bagian dari sejarah Indonesia. Maskapai nasional ini tak lepas dari kerja keras Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) yang merintis bisnis sewa pesawat penerbangan sipil bernama Indonesian Airways pada 26 Januari 1949. Impian mewujudkan maskapai nasional ini semakin nyata seusai penandatanganan perjanjian Konferensi Meja Bundar (KMB). Pada 21 Desember 1949, Pemerintah dan maskapai Hindia Belanda KLM-IIB (Koninklijke Luchtvaart Maatschappij- Inter-Insulair Bedrijf) sepakat dengan Pemerintah Republik Indonesia Serikat tentang berdirinya maskapai nasional. Presiden Soekarno menamainya sebagai Garuda Indonesian Airways (GIA). Ikon penerbangan nasional ini bahkan menjadi saksi sejarah perpindahan ibu kota Indonesia dari Yogyakarta ke Jakarta. Seusai Belanda mengakui kedaulatan atas Indonesia pada 27 Desember 1949, sehari setelahnya, dua pesawat GIA jenis Dakota (DC-3) menjemput dan membawa kembali Soekarno ke Jakarta. Seiring dengan beragam kisah pasang surutnya, Garuda Indonesia masih mewarnai dan menjadi bagian sejarah Indonesia. Bahkan, di tengah turbulensi bisnis, Garuda Indonesia masih dipercaya ”menemani” Presiden Joko Widodo menghadiri konferensi tingkat tinggi (KTT) di Italia, Skotlandia, dan Uni Emirat Arab (UEA). Di Roma, Italia, Jokowi berpartisipasi dalam KTT G-20 pada 30-31 Oktober 2021. Di Glasgow, Skotlandia, Presiden akan menghadiri KTT Pemimpin Dunia terkait Perubahan Iklim (COP 26) pada 1-2 November 2021. Sementara di Dubai, UEA, pada 3-4 November 2021, Presiden dijadwalkan membuka National Day di Paviliun Indonesia Dubai World Expo 2020. Kepala Sekretariat Presiden Heru Budi Hartono menjelaskan, Garuda Indonesia lebih dipilih sebagai moda lawatan itu ketimbang pesawat kepresidenan tentu saja melalui pertimbangkan matang. Pertimbangan itu, antara lain, mencakup efisiensi waktu, yakni tak memerlukan transit, menghemat anggaran karena dapat menampung lebih banyak rombongan, dan protokol kesehatan. Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir, yang turut mendampingi Presiden menilai, dipilihnya Garuda sebagai moda lawatan Presiden itu membuktikan maskapai nasional ini memiliki kualitas protokol kesehatan yang baik. Erick mengapresiasi seluruh kru Garuda yang selama pandemi Covid-19 ini telah menjalankan protokol kesehatan secara disiplin dan mengedukasi setiap penumpang. ”Sebuah kehormatan tentunya bagi Garuda yang menjadi moda transportasi udara pertama yang digunakan Presiden dalam lawatan luar negeri pertamanya di masa pandemi. Ini membuktikan kualitas protokol kesehatan yang sangat baik,” ujar Erick melalui siaran pers di Jakarta, Jumat (29/10/2021). Sinyal Presiden Namun, di tengah turbulensi bisnis Garuda Indonesia, pilihan Jokowi menggunakan Garuda Indonesia juga dinilai sebagai pesan atau sinyal diam Jokowi menyelamatkan ikon penerbangan nasional itu. Tanpa banyak kata dan arahan, Presiden memilih dan menggunakan pesawat Garuda Merah Putih tersebut. Meski beberapa waktu sebelumnya, tanpa menyebut Garuda melainkan BUMN pada umumnya, Jokowi menyentil BUMN-BUMN yang kerap mengandalkan PMN untuk menyelamatkan bisnis mereka. ”Kalau yang lalu-lalu, BUMN-BUMN ini, kan, banyak terlalu keseringan kita proteksi. Sakit tambahi PMN, sakit suntik PMN. Maaf, terlalu enak sekali,” ujar Jokowi saat memberikan arahan kepada para direktur utama BUMN di Labuan Bajo, Kabupaten Manggarai Barat, 16 Oktober 2021, seperti dikutip dari Youtube Sekretariat Presiden, Senin (18/10/2021). Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Abra PG Talattov, Minggu (31/10/2021), mengatakan, di tengah simpang siur isu penyelamatan Garuda, seperti memailitkan dan menggantinya dengan Pelita Air Service, Presiden justru memilih Garuda. Hal ini bisa dibaca juga sebagai sinyalemen Presiden kepada jajarannya untuk satu suara menyelamatkan Garuda Indonesia. ”Tak ada pernyataan apa pun dari Presiden yang secara khusus menyinggung Garuda, tetapi langsung dengan aksi nyata menggunakan Garuda,” ujarnya ketika dihubungi di Jakarta. Dengan menggunakan Garuda dalam lawatannya ke luar negeri itu, lanjut Abra, citra ikon penerbangan Indonesia di tingkat internasional justru akan positif. Dunia internasional akan menilai, Pemerintah Indonesia masih peduli dengan maskapai miliknya itu. Di tengah gencarnya pembangunan dan promo pariwisata dan investasi di Indonesia, Garuda masih dibutuhkan untuk melayani rute-rute penerbangan penumpang berskala internasional. Tentu saja dengan mempertimbangkan dan mengevaluasi rute-rute internasional yang menguntungkan. ”Di dalam negeri, pilihan Presiden menggunakan Garuda akan memberikan sentimen positif terhadap upaya manajemen Garuda Indonesia menyelamatkan bisnisnya,” kata Abra. Saat ini total utang maskapai berkode saham GIAA ini membengkak dari Rp 20 triliun menjadi Rp 70 triliun. Dengan pendapatan rata-rata 50 juta dollar AS per bulan, Garuda harus menanggung biaya sekitar 150 juta dollar AS per bulan sehingga perusahaan merugi 100 juta dollar AS per bulan. Jumlah penumpang domestik Garuda Indonesia sebelum pandemi berkisar 15 juta-19 juta orang per tahun, anjlok menjadi 4,5 juta orang per tahun pada 2020. Tingkat keterisian pesawat domestik sebelum Covid-19 yang 78 persen juga jeblok menjadi 43,3 persen pada 2020. Padahal, kontribusi penumpang domestik ini berkisar 80-85 persen terhadap total penumpang Garuda. Untuk mengatasi persoalan itu, Kementerian BUMN dan manajemen Garuda Indonesia telah mengambil opsi moratorium pembayaran utang dan standstill agreement atau penghentian pembayaran bunga. Hingga kini, Garuda tengah menempuh opsi itu dengan bernegosiasi dengan lessor (perusahaan sewa guna) pesawat dan kreditor-kreditor lain. Hingga sekarang, pemerintah belum memberi kepastian dukungan pendanaan melalui APBN bagi Garuda Indonesia. Suntikan bagi Garuda yang diselipkan dalam pos pengajuan PMN 2022 Holding BUMN Pariwisata dan Pendukung atau PT Aviasi Pariwisata Indonesia (Persero) senilai Rp 3 triliun juga belum mendapat lampu hijau. Dana itu akan digunakan untuk investasi penyediaan fleet atau armada. Garuda juga menghadapi sejumlah gugatan hukum niaga terkait perkara penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) oleh sejumlah rekanan bisnis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Selain itu, berembus sejumlah isu untuk memailitkan dan menggantikan Garuda Indonesia dengan Pelita Air, anak perusahaan PT Pertamina (Persero). |
Kembali ke sebelumnya |