Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul PEDULI PRT, Lindungi PRT dengan Regulasi
Tanggal 03 Nopember 2021
Surat Kabar Kompas
Halaman 0
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel Sudah 17 tahun RUU PPRT mandek di DPR. Kehadiran negara dinantikan demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan pekerja rumah tangga. Oleh WIRDATUL AINI Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga perlu segera disahkan. Ketiadaan aturan yang mengatur hubungan kerja PRT menyebabkan pemberi kerja tidak memiliki pedoman terkait tanggung jawabnya yang membuat PRT kerap mengalami perlakuan tidak layak. Tak hanya para PRT, publik pun menantikan kehadiran negara dalam melindungi para pekerja domestik tersebut. Kehadiran negara melalui undang-undang perlindungan bagi PRT dapat menjadi pedoman pemberi kerja atau majikan dalam memperlakukan PRT. Selain itu, undang-undang tersebut  menjadi jalan untuk mengangkat martabat dan kesejahteraan PRT. Selama ini, kondisi kerja PRT di Indonesia masih belum layak. Beban kerja yang tidak terbatas, pemberlakuan jam kerja yang panjang, tidak ada istirahat dan libur, tidak ada jaminan sosial, dan upah yang rendah merupakan persoalan para pekerja domestik ini. Penantian publik ini terlihat dari hasil jajak pendapat Kompas yang diselenggarakan pada 20-23 Oktober 2021. Tiga dari empat responden menyatakan pemerintah dan DPR perlu segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (RUU PPRT). Alasannya, 82,3 persen responden memandang bahwa urgensi pengesahan tersebut bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada PRT dan memperbaiki nasib PRT. Terlebih dalam masa pandemi ini, pengesahan RUU PPRT akan memberi rasa aman kepada PRT dari tindakan diskriminasi, eksploitasi, pelecehan, dan kekerasan yang kerap diterima dari pemberi kerja. Sebab, PRT sering mengalami perlakuan tidak layak karena statusnya hanya diakui sekadar ”pembantu” bukan pekerja. Mereka pun tidak bisa mengakses bantuan sosial karena tidak menyandang status sebagai pekerja. Survei Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) pada 2020 mencatat 82 persen PRT tidak mendapatkan program penerima bantuan iuran. Artinya, sebagian besar PRT luput dari social safety. Padahal, PRT merupakan pekerjaan rentan terkena PHK dan tidak dibayar upahnya, khususnya selama pandemi Covid-19 di Indonesia. Akan tetapi, belum ada payung hukum yang melindungi PRT untuk mendapatkan hak-haknya. Seharusnya, PRT berhak mendapatkan  jaminan ketenagakerjaan dan kesehatan, upah, fasilitas kerja yang layak, serta libur atau cuti.   Pada tingkat internasional, Organisasi Buruh Internasional (ILO) telah mengesahkan Konvensi Nomor 189 tentang Pekerjaan yang Layak bagi PRT untuk memberikan perlindungan kepada PRT sejak 16 Juni 2011. Namun, hingga saat ini Indonesia belum menjadi bagian negara yang meratifikasi konvensi tersebut. Bahkan, sudah 17 tahun RUU PPRT belum menemui titik terangnya yang masih dalam proses pertimbangan di DPR. Salah satu muatan penting dalam RUU PPRT ialah pengakuan secara hukum terhadap status PRT sebagai pekerja. Dengan pengakuan yang mendasar itulah, PRT dapat mengakses berbagai jaminan bagi pekerja yang disediakan pemerintah. Meski demikian, masih ada berbagai pihak yang enggan untuk memformalkan hubungan PRT dan pemberi kerja dalam bentuk aturan tertulis karena khawatiran pola hubungan kekeluargaan akan berubah. Jika pola hubungan tersebut berubah,  akan berimplikasi pada upah dan perlakuan yang diterima PRT.   Nasib PRT PRT sudah menjadi bagian penting jutaan rumah tangga di Indonesia. Aktivitas utama domestik yang dikerjakan PRT membantu anggota rumah tangga menjalankan aktivitasnya yang lain. Demikian juga perusahaan dan industri yang diuntungkan karena kehadiran PRT. Para pekerjanya bisa bekerja dengan tenang tanpa memikirkan urusan domestik perusahaan. Sayangnya, besarnya kontribusi PRT tidak sejalan dengan besarnya upah yang diterima. Hasil jajak pendapat Kompas menangkap bahwa 59,1 persen responden memandang nasib PRT di Indonesia belum sejahtera. Salah satu cerminan belum sejahteranya nasib PRT terlihat dari rendahnya upah yang diterima PRT. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata upah nominal PRT per bulan pada Agustus 2021 sebanyak Rp 425.000. Hanya mengalami kenaikan 1,31 persen atau Rp 5.489 dari tahun sebelumnya. Bahkan, kajian ILO pada 2015 menunjukkan mayoritas PRT di Indonesia hanya mendapat upah dibawah Rp 500.000 per bulan. Selain adanya RUU PPRT, publik juga berharap pemerintah memberikan pelatihan dalam rangka meningkatkan nasib PRT. Pelatihan keterampilan dan sertifikasi ini memainkan peran penting yang dapat membantu meningkatkan status PRT sebagai profesi yang diakui. Selain itu, peningkatan kemampuan PRT juga memberikan peluang kepada PRT untuk mendapatkan kondisi kerja yang layak. Kementerian Ketenagakerjaan memproyeksikan jumlah pekerja yang melakukan pelatihan bersertifikasi pekerjaan domestik sebanyak 92.227 orang pada 2018, meningkat 104.262 orang pada 2019, dan 116.903 orang pada 2020. Hingga 2024, diperkirakan ada tambahan 13.417 orang per tahun pekerja yang mengikuti pelatihan pekerjaan domestik. Jika dibandingkan dengan jumlah PRT di Indonesia, cakupan PRT terlatih ini masih tergolong sangat rendah. Kondisi inilah yang menjadi salah satu penyebab PRT dipandang sebelah mata. Karena itu, banyak PRT yang belum mendapatkan upah layak dan jaminan sosial.   Pedoman Kualitas PRT dan standar kerja yang tidak terukur membuat penentuan upah PRT tidak terstandardisasi. Bagian terbesar responden (27,9 persen) jajak pendapat Kompas memandang bahwa upah layak bagi PRT ditentukan berdasarkan kesepakatan pemberi kerja dan PRT. Jika daya tawar (bargaining power) dari PRT lemah, PRT terpaksa menerima upah dari pemberi kerja tanpa memperhatikan kondisi kelayakan. Akibatnya, PRT tidak mendapatkan jaminan kesehatan dan ketenagakerjaan seperti jaminan kecelakaan kerja, kematian, hari tua, dan pensiun. Survei Jala PRT pada 2019 menunjukkan realita bahwa 89 persen PRT tidak memiliki jaminan kesehatan dan hampir semua PRT tidak memiliki jaminan ketenagakerjaan. Keadaan ini tak sesuai dengan program pembangunan Indonesia yang menganut pembangunan berkelanjutan (SDGs) dengan prinsip ”tidak seorang pun ditinggalkan”. Mau tidak mau, PRT harus menanggung biaya kesehatan secara pribadi meskipun upahnya dibayar yang rendah. Jika upahnya tidak cukup menanggung biaya kesehatan, sebagian PRT memilih meminjam dana dari pemberi kerja, rentenir, teman, atau lainnya dan malah sebagian PRT lainnya terpaksa tidak berobat. Ketiadaan aturan yang mengatur hubungan kerja PRT menyebabkan pemberi kerja tidak memiliki pedoman hal apa saja yang menjadi tanggung jawabnya sebagai pemberi kerja. Selain itu, tanpa adanya aturan, PRT tidak memiliki jaminan keamanan dan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, baik psikis, ekonomi, maupun fisik. Situasi ini menunjukkan bahwa pemberi kerja tidak menyadari bahwa kedua jaminan tersebut merupakan hak yang harus diberikan kepada PRT. Karena itu, pedoman aturan yang mengatur pola hubungan kerja antara PRT dan pemberi kerja sangat dibutuhkan. Melalui pedoman tersebut, keseimbangan hak dan kewajiban antara PRT dan pemberi kerja dapat terukur. Di satu sisi PRT mendapatkan perlindungan dan kondisi kerja yang layak, di sisi lain PRT juga wajib menunjukkan kemampuan dan keterampilan dalam bekerja. Pada akhirnya, pengesahan RUU Perlindungan RPT dapat menjadi jalan dalam mewujudkan tujuan SDGs nomor 8, yakni pertumbuhan ekonomi dan pekerjaan layak. Selain itu, UU PPRT menjadi jalan dalam mewujudkan amanat UUD 1945 Pasal 28D Ayat 2 yang menyatakan setiap orang berhak untuk bekerja, mendapat imbalan, dan perlakuan yang adil dalam hubungan kerja. (LITBANG KOMPAS)
  Kembali ke sebelumnya