Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Panggil Mereka Pekerja Rumah Tangga, Bukan Pembantu
Tanggal 02 Nopember 2021
Surat Kabar Kompas
Halaman 0
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel Sublema “pekerja rumah tangga” sebagai kepanjangan dari akronim PRT harus mulai dibiasakan. Keberpihakan pada nasib PRT dimulai dari mengubah penyebutannya. Oleh YOHANES MEGA HENDARTO Penyebutan pekerja rumah tangga (PRT) memang masih asing di telinga masyarakat dibandingkan pembantu atau asisten rumah tangga. Alasannya jelas, istilah pembantu atau asisten rumah tangga telah lama melekat setelah istilah babu tentunya. Di balik istilah, ada identitas dan hak dasar yang diperjuangkan para pekerjanya. Dalam sejarahnya, tidak ada sumber yang jelas tentang asal muasal pekerjaan domestik yang masih eksistensinya masih terjaga hingga kini. Satu yang patut dicatat, pekerjaan domestik tidak dapat dilepaskan dari sejarah perbudakan yang berlangsung dari era Yunani Kuno hingga awal abad ke-19. Bahkan, Rachel Zelnick-Abramovitz menuliskan dalam jurnalnya bahwa budak di Yunani Kuno tidak dianggap layaknya rakyat biasa, derajatnya jauh lebih rendah, dan tidak dianggap sebagai warga negara. Begitulah budaya perbudakan berjalan seiring zaman. Para budak diperjualbelikan dengan cara lelang dan bekerja kepada majikannya seumur hidup, entah melakukan pekerjaan domestik, mengurus hewan, atau bekerja di ladang. Jangankan upah, mendapatkan majikan yang masih memberinya makan saja sudah untung. Amerika Serikat menjadi negara yang mengatur ketat mengenai perbudakan sejak 1619, terutama status kepemilikan majikannya. Para budak tersebut didatangkan dari Afrika dan dari sinilah terbangun fondasi sentimen rasisme antara kulit hitam dan kulit putih, terutama di AS. Isu perbudakan juga merambah ke bidang politik karena itulah salah satu isu utama munculnya perang sipil antara AS Bagian Utara (Partai Demokrat anti perbudakan) dan AS Bagian Selatan (Partai Republik properbudakan). Penghapusan sistem perbudakan di AS dilakukan oleh Presiden Abraham Lincoln pada 1 Januari 1863 dengan menerbitkan Proklamasi Emansipasi (Emancipation Proclamation). Meski tidak langsung menghapus sistem perbudakan, upaya tersebut nyatanya cukup berhasil secara bertahap. Hanya saja, negara-negara Eropa masih melanggengkan sistem tersebut, salah satunya para pendatang Belanda di Hindia Belanda. Ada banyak kisah perbudakan yang dapat ditelusuri dari sumber-sumber sejarah sebelum kemerdekaan Indonesia. Ringkasnya, rumah tangga bangsawan dan pejabat VOC umumnya memiliki belasan ”jongos” (untuk laki-laki) atau ”babu” (untuk perempuan) yang dipekerjakan untuk mengurus rumah, memasak, dan menjaga anak-anak majikan. Sesungguhnya, yang terjadi di Hindia Belanda tidak dapat dikatakan murni perbudakan karena para ”jongos” atau ”babu” mendapatkan upah, yang memang sedikit sekali. Meski demikian, praktik pekerjaan domestik di Hindia Belanda sudah berlangsung sejak masa kerajaan. Secara familier, para perempuan yang menjadi pelayan di istana biasa disebut dayang-dayang. Mereka biasanya tinggal bersama di majikannya dan dalam budaya Jawa praktik ini dikenal sebagai ngenger.   Istilah ngenger adalah tradisi seorang anak dari keluarga yang kurang mampu, lalu dititipkan kepada kerabatnya atau keluarganya yang lebih mapan. Tujuannya, anak tersebut ditanggung biaya hidupnya dan diharapkan mendapatkan pendidikan atau pekerjaan layak guna memperbaiki kehidupannya kelak. Sebagai balasannya, anak tersebut harus membantu melakukan pekerjaan domestik di rumah yang ia tinggali. Khususnya dalam budaya Jawa, laku ngenger juga mengandung kepercayaan bahwa jika ingin hidup sukses atau berhasil, maka dekatilah dulu orang-orang (bendara) yang sudah lebih dulu mencapainya. Dalam kisah kuno, laku ngenger misalnya dilakukan oleh Damarwulan yang tinggal bersama Patih Majapahit atau Jaka Tingkir yang ngenger kepada Sultan Trenggana. Kisah-kisah itu menjadi inspirasi atau rujukan masyarakat Jawa untuk melakukan hal serupa. Jejak laku ngenger ini masih dapat diamati dalam praktik yang dilakukan para Abdi Dalem di Keraton Yogyakarta. Terlepas dari status aparatur sipil yang kini diberikan kepada sebagian abdi dalem, semangat pengabdian kepada Keraton Yogyakarta tetaplah sama: nyawiji (total), greget (penuh penghayatan), sengguh (percaya diri), dan ora mingkuh (tidak gentar). Maka selain faktor kedatangan kolonial Belanda, faktor budaya turut memberikan sumbangan dalam membentuk praktik mempekerjakan orang lain untuk mengurus keperluan domestik. Karena berasal dari sumber budaya yang tidak tunggal, beragam istilah pun silih berganti untuk menyebut para pekerja domestik tersebut. Peralihan istilah Sejatinya dalam karya sastra, sosok ”babu” mulai muncul di paruh pertama abad ke-18. Ketika itu di Inggris muncul sebuah novel dalam bentuk surat-menyurat berjudul Pamela karangan Samuel Richardson (1740). Di Amerika, sosok babu dalam karya sastra mendapatkan tempat yang cukup penting pada akhir abad ke-20, khususnya karya-karya yang ditulis imigran wanita dari dunia ketiga. Setidaknya berdasarkan pelacakan dari arsip pemberitaan harian Kompas (sejak 1965) dan karya seni, seperti film, novel, atau lagu, dapat ditelusuri peralihan istilah dari babu menjadi PRT. Pertama kali harian Kompas menggunakan kata ”babu” dalam berita pada 25 Agustus 1965 yang berisi peristiwa di Filipina tentang penembakan seorang majikan kepada ”babu” yang berada di rumahnya. Pada tahun-tahun berikutnya, kata ”babu” masih cukup sering digunakan redaksi harian Kompas hingga 5 Maret 1990. Uniknya, sublema ”pembantu rumah tangga” sudah muncul di  harian Kompas edisi 12 Juni 1973 dan mulai digunakan seterusnya. Jadi, Kompas menerapkan pergantian antara penggunaan kata ”babu” dan sublema ”pembantu rumah tangga” sejak 1970-an. Memang, pada periode 1990-1997 kata ”babu” masih dimuat di Kompas, tetapi dalam konteks pencantuman nama suatu acara, surat dari pembaca, atau rubrik opini.   Dalam konteks waktu yang sama, yakni pada 1960-an hingga 1990-an, ada dua karya seni lokal yang dapat dijadikan rujukan penggunaan kata ”babu” yang masih dianggap lumrah kala itu. Pertama, novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi yang terbit pertama pada 1978. Kedua, film Selamat Tinggal Jeanette karya sutradara Bobby Sandy yang diproduksi pada 1987. Bicara soal film tentang ”babu”, tentu film Inem Pelayan Sexy (1976) besutan sutradara Nya Abbas Akup tidak dapat dilupakan. Film terlaris di Jakarta dengan jumlah 371.000 penonton itu memiliki tiga sekuel yang ditayangkan setahun kemudian. Meski judulnya agak vulgar, film ini berisi kritik sosial yang tajam mengenai peran penting seorang ”babu” dalam rumah tangga dan disajikan dengan nuansa humor. Film ini masih menggunakan kata ”babu” dalam percakapan antartokohnya. Misalnya salah satu adegan di Inem Pelayan Sexy III (1977), ada suatu rapat besar yang dihadiri ”babu-babu” dari seluruh provinsi Indonesia. Dalam rapat itu, kritik sosial disampaikan dengan adegan para ”babu” yang mengajukan pernyataan dan pertanyaan kepada dewan pimpinan rapat. ”Di tempat saya, anak-anak di bawah umur sudah bekerja menjadi babu. Apakah itu diperbolehkan undang-undang?” tanya salah seorang peserta. Baik kata ”jongos” maupun ”babu” sesungguhnya banyak dipakai sebelum perang kemerdekaan 1945. Bisa dikatakan, kedua kata ini adalah peninggalan masa kolonial. Seiring waktu, kata ”jongos” dan ”babu” menghilang dan jarang digunakan karena dipandang mengandung unsur antikemanusiaan. Ada nada feodalistik sekaligus kolonial yang terkandung dalam kata-kata tersebut. Peralihan antara kata ”babu” atau ”jongos” ke sublema ”pembantu rumah tangga” terjadi di 1990-an. Merujuk Kamus Umum Bahasa Indonesia (KUBI) 1952, Poerwadarminta menyamakan arti antara ”pelayan” dan ”pembantu”. Tentu ini menjadi persoalan karena berpotensi sebatas eufemisme kata ”babu”, tapi belum terpikirkan oleh masyarakat saat itu. Penggunaan sublema ”pembantu rumah tangga” lambat laun menjadi lazim digunakan saat ini, bahkan demi efisiensi disingkat menjadi PRT. Karena adanya potensi eufemisme ”pembantu” dari kata ”babu”, kini mulai lantang dikampanyekan penggunaan istilah ”pekerja” atau lengkapnya ”pekerja rumah tangga”. Diharapkan, mereka yang bekerja di dalam rumah diperlakukan sebagai pekerja umumnya dengan hak dan ketentuan yang jelas.   Perlu terbiasa Istilah ”pekerja” menjadi sebuah pencerahan dan pembebasan belenggu budaya bagi tiap orang yang bekerja di ranah domestik. Langkah ini turut diikuti dengan rancangan undang-undang yang menggunakan istilah ”pekerja” dalam RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga. Masalah lain pun muncul. Masyarakat umumnya terbiasa menyebut istilah pekerja domestik dengan sublema yang sudah disingkat PRT (baca: pe-er-te). Namun, PRT sendiri memuat arti ganda, bisa ”pekerja rumah tangga” atau ”pembantu rumah tangga”. Jika diartikan ”pembantu rumah tangga”, itu pun tidak keliru sebab dalam KBBI dimuat sublema ”pembantu rumah tangga”, sedangkan ”pekerja rumah tangga” belum tercantum di sana. Alasan dari segi gramatikal, kata ”pekerja” hanya mengenal kata sandang ”ahli”, ”harian”, ”kasar”, ”mingguan”, ”musiman”, dan ”pabrik”. Maka, ada baiknya dalam konteks saat ini, ada revisi dari KBBI untuk menggunakan sublema ”pekerja rumah tangga” daripada ”pembantu rumah tangga”. Sembari menanti revisi dari segi tata bahasa tersebut, ada baiknya masyarakat mulai membiasakan diri untuk menggunakan sublema ”pekerja rumah tangga”. Penggunaan istilah ini begitu penting bagi perjuangan hak para pekerja domestik karena mengandung substansi mendasar yang membedakan antara pembantu dan pekerja. Bagaimanapun juga, menjadi PRT adalah sebuah pilihan pekerjaan. Budaya masyarakat, tepatnya ngenger, memengaruhi cara pandang terhadap PRT yang dianggap sebagai bagian dari keluarga. Meskipun anggapan itu baik, secara tidak langsung cara pandang itu justru melemahkan posisi PRT sebagai pekerja dalam hubungan kerja yang profesional. Dengan pengakuan status sebagai pekerja, PRT dapat menikmati jaminan sosial dan perlindungan yang sepantasnya. Begitu juga soal pengaturan upah yang tidak lagi tersubstitusikan dengan jatah makan atau tempat tinggal dengan menginap di rumah majikan. Akhirnya, kata-kata jelas memiliki riwayat, makna, dan emosi. Kata-kata juga mengalami perubahan dan perkembangannya seturut zamannya. Ada kata yang bertahan, ada kata yang hilang, dan ada kata baru yang muncul. (LITBANG KOMPAS)
  Kembali ke sebelumnya