Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Mengapa Perlu UU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga?
Tanggal 01 Nopember 2021
Surat Kabar Kompas
Halaman 0
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel Penundaan dan keengganan untuk mengesahkan RUU PPRT sama saja dengan melanggengkan praktik perbudakan modern dan eksploitasi terhadap PRT. Oleh YOHANES MEGA HENDARTO Nasib pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia belum diperhatikan pemerintah, apalagi mereka rentan mengalami kekerasan dari majikan sewaktu bekerja. Mandeknya pembahasan RUU Perlindungan PRT selama 17 tahun di DPR menorehkan tanda tanya besar, di manakah implementasi ”keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia?”. Sebutan pembantu atau asisten rumah tangga bagi PRT menjadi problem awal bagi kesejahteraan PRT. Dengan sebutan yang bermuatan subordinasi itulah, nasib PRT kerap dikorbankan sewaktu bekerja. Sebab, posisinya hanya ditempatkan sebagai pembantu atau asisten, yang sepenuhnya harus mengikuti perintah majikan, sekalipun menerima kekerasan dalam berbagai bentuk. Berdasarkan laporan dari Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (JALA PRT), sejak 2012 hingga 2020, kasus kekerasan terhadap PRT mengalami tren kenaikan. Jika pada 2012 ada 327 kasus kekerasan, pada 2020 naik menjadi 842 kasus. Kasus kekerasan ini dapat berupa kekerasan fisik, psikis, ekonomi, perdagangan manusia, dan tidak jarang gabungan semuanya (multikekerasan). Dari persentase jenis kekerasan yang dialami PRT, paling banyak (41 persen) PRT mengalami kekerasan psikis berupa pelecehan, perendahan, isolasi atau penyekapan, dan pencemaran nama baik. Sebanyak 37 persen PRT lainnya mengalami kekerasan ekonomi, seperti tidak diberi upah, PHK karena sakit, atau tidak mendapatkan THR. Sisanya 22 persen PRT mengalami multikekerasan berupa kekerasan seksual hingga pencederaan fisik yang parah. Sebagai contoh, belum lama ini Maret 2021, seorang PRT di Surabaya mengalami kekerasan oleh majikannya saat bekerja. Perempuan asal Jombang itu dipaksa memakan kotoran kucing dan disebut gila hingga dimasukkan ke Lingkungan Pondok Sosial oleh majikannya. Padahal, PRT itu hanya sekali menerima upah sebesar Rp 1,5 juta selama 13 bulan bekerja di sana. Setahun sebelumnya, Maret 2020, seorang sopir kerap dipukuli dan ditendangi oleh majikannya di Bintaro, Tangerang Selatan. Sopir tersebut berulang kali dipukuli hingga lebam di bagian punggung kiri dan kepalanya. Menurut pengakuannya, majikan tersebut memiliki sekitar 40 pekerja di rumahnya dan mereka kerap dianiaya oleh majikannya. Lain lagi dengan tindak penyiksaan kerap dialami PRT oleh majikannya di Semarang, pada April 2020. Puncaknya, ia dipaksa makan 50 cabai dan menenggak air mendidih hingga pita suaranya rusak. Majikannya pun pernah memintanya untuk melakukan bunuh diri dengan cara menyayat sendiri pergelangan tangan kirinya. Selain kisah penyiksaan dan kekerasan terhadap PRT, ketiga peristiwa tersebut memiliki benang merah yang menyambung satu sama lain. Benang merah itu ialah tidak adanya tindakan tegas dari lembaga penegak hukum terhadap majikan yang menyiksa mereka. Memang, pada praktiknya di lapangan, penyelesaian kasus penyiksaan PRT diselesaikan secara mediasi antarpihak terkait. Padahal, salah satu prasyarat penting dalam proses mediasi ialah kedudukan yang setara. Dalam hal penyelesaian konflik antara PRT dan majikan selama ini, tentu pihak PRT yang dirugikan memiliki kedudukan yang lebih rendah dibandingkan majikan yang memiliki kapital lebih. Dengan kata lain, proses mediasi dalam konflik sama saja dengan kekalahan bagi PRT.   PRT di Indonesia Lemahnya payung hukum bagi PRT turut berimbas pada lemahnya kedudukan mereka selama bekerja. Para PRT pun tidak tahu menahu tentang manfaat dan perlindungan yang seharusnya mereka dapatkan. Posisi PRT kini kian subordinat di masyarakat ditambah fakta di lapangan, jumlah PRT di Indonesia didominasi oleh pekerja perempuan. Menurut laporan Organisasi Buruh Internasional (ILO), pada 2015 jumlah anggota PRT yang berhasil didata sejumlah 13.081 orang yang berasal dari tujuh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) PRT. Pada 2018 sebesar 84,27 persen PRT di Indonesia adalah perempuan. Bahkan, dominasi perempuan yang menjadi PRT sudah berlangsung dari tahun ke tahun. Hal ini ditunjukkan melalui laporan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) pada 2015 lalu. Ditemukan, pada 2012 hingga 2015 jumlah PRT perempuan jauh lebih banyak dari laki-laki. Misalnya di 2015, jumlah PRT perempuan sebesar 74,6 persen, sementara laki-laki hanya 25,4 persen. Ada beberapa faktor yang memungkinkan posisi PRT di Indonesia lebih banyak diisi oleh perempuan. Mulai dari kurangnya kesempatan kerja yang didapat hingga budaya masyarakat yang menganggap pekerjaan domestik sewajarnya dikerjakan oleh perempuan. Selain itu, tingkat pendidikan yang rendah dan sedikitnya keterampilan menjadi faktor penunjang banyaknya perempuan memilih bekerja sebagai PRT. Melanjutkan laporan dari ILO, Indonesia (data 2018) menempati posisi pertama dengan jumlah terbanyak PRT (31,7 persen) yang menginap di rumah majikannya. Jika dikerucutkan lagi, 33,6 persen PRT perempuan menginap, sementara 66,4 persen sisanya tinggal di kediaman masih-masing. Berbeda dengan PRT laki-laki, hanya 21,2 persen yang menginap di rumah majikan dan 78,8 persen sisanya tidak menginap. Dapat dibayangkan, PRT yang menginap di rumah majikan sekaligus tempat kerjanya, rentan bekerja lebih dari 40 jam per minggu karena harus selalu siap sedia. Laporan Kemenaker pada 2015 juga menunjukkan bahwa selama 2013 hingga 2015, terjadi tren kenaikan PRT dengan persentase jam kerja lebih dari 12 jam per hari. Jika pada 2013 hanya 1,04 persen PRT yang bekerja lebih dari 12 jam per hari, pada 2015 naik menjadi 2,07 persen. Persoalan PRT yang menginap tanpa kejelasan legalitas turut mengundang permasalahan lain. Selain jam kerja yang berlebihan, PRT juga kerap menerima isolasi atau mobilitas terbatas (dilarang bepergian), menerima upah dalam bentuk makanan, ataupun menerima kekerasan fisik dan seksual. Dibandingkan jam kerjanya yang lebih dari 40 jam per minggu, PRT cenderung mendapatkan upah yang justru di bawah upah minimum regional.  Rata-rata upah nominal PRT pada Agustus 2021 sebesar Rp 425.000 per bulan. Meski kecil, besaran angka ini sudah naik 1,3 persen dari Agustus 2020 yang hanya Rp 419.000 per bulan. Penentuan upah yang diterima PRT selama ini dapat dikategorikan dalam dua jenis. Pertama, besaran upah berdasarkan kesepakatan antara pemberi kerja atau majikan dan PRT secara langsung. Kedua, kesepakatan upah ditentukan oleh agen penyalur PRT. Biasanya, besaran upah juga didasarkan jenis pekerjaan yang dilakukan, durasi kerja, dan keterampilan yang dimiliki PRT. Masalahnya, kedua jenis penentuan upah itu tentu dapat memberikan kerugian bagi PRT jika tidak memiliki payung hukum. Pemberi kerja dapat menetapkan upah serendah mungkin, itu pun jika rutin dibayarkan tiap bulannya. Selain itu, jika melalui agen, PRT kerap mendapatkan potongan upah yang besar karena agen memegang kendali besar sebagai perantara dengan pemberi kerja.   Keadilan sosial Dengan melihat kondisi PRT di Indonesia, maka kepentingan utama dari disahkannya RUU PPRT ialah untuk mengakui status PRT sebagai pekerja, bukan pembantu atau asisten. Dengan adanya pengakuan tersebut, PRT pun dapat mengakses hak dirinya sebagai pekerja seperti memiliki Jaminan Ketenagakerjaan dan jaminan sosial lainnya. Adanya UU PPRT juga sejalan dengan Konvensi Organisasi Buruh Internasional (ILO) No 189 Mengenai Kerja Layak Pekerja Rumah Tangga. Dituliskan, demi mencegah ruang domestik dari menjalankan praktik perbudakan modern terhadap kelompok perempuan. Konvensi ini meminta negara berperan menciptakan keadilan melalui sebuah UU untuk memberikan perlindungan memadai dan perbaikan pada kondisi kerja PRT. Padahal, beberapa muatan dalam RUU PPRT saat ini pun juga masih bermasalah. Salah satunya ialah ketentuan mengenai penyelesaian konflik antara PRT dan pemberi kerja melalui musyawarah di antara kedua pihak. Lantas, bagaimana menjamin keadilan melalui proses musyawarah yang titik awalnya kedudukan sosial pihak yang satu lebih tinggi dari yang lainnya? Lemahnya payung hukum bagi PRT turut berimbas pada lemahnya kedudukan mereka selama bekerja Sekalipun masih bermasalah, pengesahan RUU PPRT perlu disegerakan demi melindungi PRT. Selain PRT, pihak pemberi kerja dan agen penyalur sesungguhnya dapat memperoleh perlindungan hukum yang sama. Adapun kekurangan dalam RUU PPRT saat ini dapat diperbaiki seiring waktu dan penerapannya dalam masyarakat. Penundaan serta penolakan pemerintah dan DPR terhadap RUU PPRT justru menjadi sikap keengganan negara untuk menjamin keadilan sosial bagi rakyatnya. Sikap tersebut turut melanggengkan praktik eksploitasi terhadap PRT yang dibiarkan hingga saat ini. Masyarakat pun jangan sampai setengah hati mendorong pengesahan RUU PPRT karena suara para PRT juga merupakan suara rakyat. (LITBANG KOMPAS)  
  Kembali ke sebelumnya