Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul PERUNDANG-UNDANGAN,RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga Masih Terkatung-katung
Tanggal 02 Nopember 2021
Surat Kabar Kompas
Halaman 0
Kata Kunci
AKD - Komisi IX
Isi Artikel Sejak Juni 2020, RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga telah berproses di Baleg. Saat ini pun telah diambil keputusan bahwa usulan RUU itu sebagai inisiatif DPR. Namun, masih tidak jelas kelanjutannya untuk pembahasan. Oleh RINI KUSTIASIH JAKARTA, KOMPAS — Sudah hampir dua tahun draf Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga diserahkan kepada pimpinan DPR untuk dibawa ke rapat paripurna. Namun, hingga saat ini belum ada kejelasan. Padahal pengesahan RUU itu diharapkan bisa jadi prestasi bagi Indonesia karena untuk pertama kalinya memastikan perlindungan bagi pekerja sektor informal. Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU PPRT Willy Aditya, Kamis (28/10/2021) di Jakarta, mengatakan, RUU PPRT telah berproses di Badan Legislasi (Baleg) sejak Juni 2020. Bahkan, pada saat itu juga telah diambil keputusan mengenai usulan RUU itu sebagai inisiatif DPR. ”Sebenarnya tinggal diparipurnakan dan diputuskan RUU itu sebagai hak inisiatif DPR. Selanjutnya barulah pembahasan materi dapat dilakukan,” ucapnya. Namun, selama 1,5 tahun terakhir, RUU PPRT belum juga dinyatakan sebagai hak inisiatif DPR melalui rapat paripurna. Pimpinan Baleg DPR juga telah berkirim surat kepada pimpinan DPR yang intinya meminta agar RUU itu segera dibawa ke paripurna. Namun, belum ada respons kepastian kapan paripurna mengenai hasil keputusan Baleg soal RUU PPRT itu dapat dilakukan. Willy yang juga Wakil Ketua Baleg mengatakan, dari sembilan fraksi, tujuh fraksi mendukung penyusunan RUU PPRT itu sebagai inisiatif dari DPR. Namun, ada dua fraksi, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) dan Golkar, yang meminta penundaan RUU PPRT. ”Yang banyak dikhawatirkan itu, kan, RUU ini akan bersifat industrialis, atau menempatkan pekerja rumah tangga seperti karyawan atau pegawai di industri. Sementara dalam kerja-kerja informal dan domestik seperti itu, kan, asas kekeluargaan di Indonesia ini sangat kental. Jadi, ada kekhawatiran diatur menjadi seperti industri,” ujarnya. Di dalam draf RUU PPRT juga telah dijelaskan batasan-batasannya. Termasuk tidak diaturnya serikat pekerja rumah tangga, menurut Willy, juga menunjukkan pengaturan melalui RUU PPRT ini bersifat perlindungan kepada pekerja rumah tangga. Sebab, selama ini pekerja rumah tangga berada di tengah-tengah kehidupan masyarakat, tetapi belum ada kepastian hukum mengenai perlindungan kepada mereka. ”Ini menjadi salah satu manifestasi bagaimana negara hadir bagi entitas yang selama ini tidak mendapatkanya. Padahal dinamika kehidupan PRT (pekerja rumah tangga) cukup kompleks,” katanya. Lebih jauh dia menjelaskan, persoalan PRT dengan segala dinamikanya bukan sekadar relasi antara pekerja dan pemberi kerja belaka. Dalam perikehidupan menyangkut PRT juga kerap ditemui penipuan, eksploitasi, bahkan hingga ke level human trafficking. ”Jadi RUU ini bukan hanya bicara soal upah atau hak PRT dan kewajibannya saja. RUU ini juga bicara soal pencegahan atas potensi-potensi penindasan atas diri seorang manusia,” ungkap Wakil Ketua Fraksi Partai Nasdem ini. Di dalam DPR juga muncul sejumlah resistensi mengenai RUU PPRT tersebut. Namun, menurut Willy, itu lebih karena belum sepenuhnya anggota DPR yang resisten itu memahami isi dari draf RUU PPRT. ”Kami tidak mengatur upah kerja, jam kerja, dan serikat pekerja rumah tangga. Hal-hal yang sifatnya itu sosiokultural di dalam masyarakat kita juga diperhatikan. Namun, yang penting adalah semangat perlindungannya kepada pekerja rumah tangga,” ujarnya. RUU ini bukan hanya bicara soal upah atau hak PRT dan kewajibannya saja. RUU ini juga bicara soal pencegahan atas potensi-potensi penindasan atas diri seorang manusia. Besarnya jumlah pekerja rumah tangga atau domestik, yang saat in diperkirakan mencapai angka 5 juta, menunjukkan semakin krusialnya pengaturan RUU PPRT. ”Ketika mereka tidak dilindungi di dalam negeri, pekerja kita di luar negeri juga akan memiliki nilai tawar yang lebih rendah. Sebab, keberadaan mereka bahkan belum dilindungi di peraturan perundang-undangan dalam negeri,” ujarnya. Lebih lanjut Willy menjelaskan, selama dalam pembahasan Panja, RUU PPRT berisi tujuh pokok pemikiran terkait relasi dan kehidupan profesional PRT. Pertama, pengaturan mengenai pelindungan terhadap PRT mengedepankan asas kekeluargaan sebagai nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia. Kedua, perekrutan PRT dapat dilakukan secara langsung ataupun secara tidak langsung. Di sini, perjanjian kerja tertulis hanya diberlakukan pada PRT yang direkrut secara tidak langsung melalui penyalur PRT. Berikutnya, penyalur PRT adalah badan usaha yang berbadan hukum. Yang keempat, RUU PPRT juga mengatur mengenai bagaimana pelindungan terhadap PRT dari diskriminasi, eksploitasi, pelecehan, dan kekerasan, baik dari penyalur PRT maupun pemberi kerja, dijalankan. Kelima, RUU PPRT bicara mengenai bagaimana calon PRT mendapatkan pendidikan, baik dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maupun dari penyalur PRT. ”Yang keenam, di dalam RUU juga termaktub ketentuan mengenai pendidikan dan pelatihan bagi calon PRT, termasuk pendidikan tentang norma-norma sosial dan budaya yang hidup dalam masyarakat sesuai dengan konteks tempat bekerja sehingga penyelenggaraan PRT dapat menjaga hubungan sosiokultural antara pemberi kerja dan PRT,” kata Willy. Ketujuh, RUU PPRT juga membahas pengawasan terhadap penyelenggaraan PRT dilakukan oleh pemerintah pusat dan pemda. Saat ini, kepastian rapat paripurna untuk menjadikan RUU PPRT sebagai hak inisiatif DPR menjadi krusial untuk menentukan kelanjutan nasib draf RUU tersebut. Sebelumnya, Ketua Baleg DPR Supratman Andi Agtas mengatakan, sebenarnya yang diinginkan oleh mayoritas fraksi di DPR ialah perlindungan yang bersifat sosiokultural kepada PRT. ”Juga tidak ada perubahan secara drastis, apalagi menimbulkan perdebatan ini menjadi hubungan industrialis. Itu sama sekali tidak. Kami hanya memberikan perlindungan-perlindungan dasar,” katanya. Perlindungan kepada PRT itu, lanjut Supratman, contohnya ialah perlindungan atas hak menjalankan ibadah sesuai keyakinannya dan mendapatkan perlakuan baik dari pemberi kerja. ”Saya pikir itu yang pokok dan paling mendasar dari RUU PPRT ini,” ungkapnya. Sesuai prosedur, jika draf RUU PPRT itu telah dibawa ke paripurna dan disepakati menjadi usulan DPR, selanjutnya draf itu akan diserahkan kepada pemerintah. Pemerintah kemudian akan merespons dengan mengirimkan daftar inventarisasi masalah (DIM) dan surat presiden (surpres) untuk kepada DPR untuk memulai pembahasan. ”Setelah surpres turun, akan dirapatkan di Badan Musyawarah dibahas di AKD mana,” kata willy. Draf RUU PPRT terdiri atas 12 bab dan 34 pasal. Hal-hal pokok lainnya yang diatur dalamnya di antaranya soal perekrutan PRT baik secara langsung maupun tidak langsung atau melalui yayasan penyalur.
  Kembali ke sebelumnya