Isi Artikel |
Oleh
SANTO RIZAL SAMUELSON
3 Januari 2022 07:30 WIB·8 menit baca
TEKS
KOMPAS
Heryunanto
Indonesia bersiap menutup tahun 2021 dan menyongsong tahun baru 2022 dengan sekelumit problematika bidang ekonomi.
Tahun 2021 boleh dikatakan sebagai kelanjutan tahun 2020 yang penuh gejolak dan tantangan berat terkait pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19. Faktor rivalitas negara adidaya Amerika Serikat dan China, yang memantik proteksionisme perdagangan sejak 2018, belum mereda dan turut menambah permasalahan ekonomi global.
Krisis multidimensi akibat pandemi sangat memukul semua lini kehidupan sektor ekonomi. Kebijakan antara rem dan gas diterapkan untuk mencegah krisis kesehatan serta menjaga roda ekonomi dan bisnis tetap berjalan.
Kondisi krisis menjadi bahan refleksi agar lebih bersiap menghadapi disrupsi atau perubahan cepat dan tak terduga. Kecepatan dan ketepatan beradaptasi dan berinovasi menjadi kunci sukses.
Memasuki tahun ketujuh pemerintahan Joko Widodo (Jokowi), pasar, dunia usaha, dan masyarakat menilai terdapat sejumlah pencapaian kinerja positif dan patut diapresiasi. Tak sedikit pula catatan kritis pekerjaan rumah yang belum dan harus diselesaikan. Meninggalkan warisan mulia bagi generasi selanjutnya menjadi kewajiban moral.
Sejumlah langkah darurat telah ditempuh dalam penanganan pandemi, khususnya dalam alokasi anggaran. Berdasarkan data Kemenkeu RI, alokasi anggaran Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) tahun 2020 sebesar Rp 695,2 triliun dengan realisasi mencapai Rp 575,8 triliun atau 82,83 persen.
Tahun 2021 boleh dikatakan sebagai kelanjutan tahun 2020 yang penuh gejolak dan tantangan berat terkait pemulihan ekonomi pasca-pandemi Covid-19.
Anggaran PC-PEN 2021 telah dinaikkan dari semula Rp 699,43 triliun menjadi Rp 744,72 triliun. Dengan porsi terbesar pada anggaran kesehatan (Rp 214,95 triliun), perlindungan sosial (Rp 187,84 triliun), dan dukungan UMKM dan koperasi (Rp 171,77 triliun).
Besarnya anggaran PC-PEN membawa efek bumerang berupa lonjakan defisit keuangan negara. Realisasi defisit fiskal 2020 mencapai Rp 956,3 triliun atau 6,34 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Melonjak drastis dibandingkan tahun 2019 (2,20 persen) dan 2018 (1,82 persen).
Kebijakan melonggarkan defisit fiskal merupakan bagian counter cyclical policy (menurunkan penerimaan pajak dan menambah pengeluaran). Pemerintah melindungi masyarakat yang paling rentan serta membantu dunia usaha, terutama UMKM.
Eksekusi kebijakan fiskal pemerintah dalam PC-PEN ternyata membawa implikasi positif. Mencegah perekonomian Indonesia terperosok ke dalam jurang resesi berkepanjangan.
Alhasil, pertumbuhan PDB Indonesia telah kembali ke zona positif. Pertumbuhan PDB kuartal III-2021 positif 3,51 persen secara tahunan (yoy), lebih baik dari minus 3,49 persen (yoy) pada kuartal III-2020. Anjlok hingga minus 5,32 persen (yoy) pada kuartal II-2020 setelah tumbuh positif 2,97 persen (yoy) kuartal I-2020.
Pertumbuhan PDB bangkit dari keterpurukan, dari posisi minus 3,49 persen (yoy), minus 2,19 persen (yoy), minus 0,74 persen (yoy), dan positif 7,07 persen (yoy) selama periode kuartal III-2020 hingga kuartal II-2021.
Dalam APBN 2022, pertumbuhan PDB ditargetkan 5,2 persen. Belanja negara sebesar Rp 2.174,2 triliun, yang ditargetkan akan dipenuhi dari pendapatan negara Rp 1.846,1 triliun dan defisit anggaran yang dipenuhi dari utang Rp 868 triliun. Sasaran utama APBN 2022 tercapainya tingkat kemiskinan 8,5-9,0 persen, tingkat pengangguran terbuka 5,5-6,3 persen, dan rasio kesenjangan (gini) 0,376-0,378.
Baca juga : Transisi Pemulihan Ekonomi
Pengendalian pandemi dan vaksinasi untuk mencapai kekebalan komunitas (herd immunity) secara cepat dan tuntas menjadi prasyarat normalisasi kegiatan ekonomi dan bisnis. Tantangan untuk tetap melangkah maju mewujudkan visi ekonomi Indonesia Emas 2045 yang telah dicanangkan di tengah pengendalian pandemi bukanlah pekerjaan ringan.
Pertumbuhan ekonomi tinggi dan inklusif akan membawa Indonesia menjadi negara industri maju. Jokowi telah menetapkan lima agenda prioritas pada periode keduanya, yakni pembangunan aneka infrastruktur tetap dilanjutkan, pembangunan SDM berkualitas unggul, membuka investasi seluas-luasnya, reformasi birokrasi, serta penggunaan APBN yang fokus dan tepat sasaran.
Fenomena dahsyat pandemi memang mengguncang dunia dan di luar proyeksi. Pemerintah dan semua pemangku kepentingan harus melangkah dalam koridor arah visi yang sama di tengah keterbatasan ruang, waktu, dan sumber daya.
Perubahan paradigma pembangunan ekonomi nasional dilakukan dari mengandalkan perdagangan komoditas bernilai tambah rendah menjadi berbasis kemajuan industri penghasil barang/produk bernilai tambah tinggi. Jepang dan Korea Selatan menjadi contoh sukses negara yang bertransformasi menjadi negara industri maju mengandalkan riset, inovasi, dan iptek.
DIDIE SW
Didie SW
Berbagai problematika penghambat progres pertumbuhan ekonomi sudah ada sejak sebelum pandemi melanda dan belum sepenuhnya tuntas diselesaikan. Beberapa poin kritikal perlu dibenahi untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi tinggi dan inklusif.
Pertama, mendorong pertumbuhan dan pemerataan penerimaan investasi. Berdasarkan data BKPM, realisasi penerimaan investasi secara kumulatif periode Januari-September 2021 sebesar Rp 659,4 triliun atau 73,3 persen dari target Rp 900 triliun. Terdiri atas PMA (Rp 331,7 triliun) dan PMDN (Rp 327,7 triliun). Investasi meningkat 7,82 persen (yoy) dengan serapan tenaga kerja 912.402 orang atau naik dibandingkan 861.581 orang (Januari-September 2020).
Realisasi investasi menunjukkan progres peningkatan, Rp 545,4 triliun (2015), Rp 612,8 triliun (2016), Rp 692,8 triliun (2017), Rp 721,3 triliun (2018), Rp 809,6 triliun (2019), dan Rp 826,3 triliun (2020). Dengan serapan tenaga kerja dari investasi tercatat 1,43 juta orang (2015), 1,39 juta (2016), 1,17 juta (2017), 960.000 (2018), 1,03 juta (2019), dan 1,15 juta (2020).
Pertumbuhan investasi harus dibarengi percepatan reformasi struktural ekonomi dan transformasi digital. UU No 11/2020 tentang Cipta Kerja memberi ruang dalam menarik investasi yang kemudian menciptakan banyak peluang kerja dan bisnis. Penerimaan investasi 2020 memang naik 51,5 persen dibandingkan tahun 2015, tetapi penyerapan tenaga kerja justru merosot 19,5 persen.
Pertumbuhan investasi harus dibarengi percepatan reformasi struktural ekonomi dan transformasi digital.
Rasio antara jumlah pekerja terserap terhadap nominal investasi mencerminkan ketidakefisienan. Periode Januari-September 2021 tercatat nilai investasi Rp 722,7 juta per tenaga kerja. Adapun per tahun 2020 tercatat Rp 714,5 juta per pekerja, Rp 783,1 juta (2019), Rp 751,3 juta (2018), Rp 588,9 juta (2017), Rp 440,1 juta (2016), dan Rp 379,9 juta (2015).
Faktor kualitas investasi menjadi penentu keputusan investor. Komposisi alokasi investasi harus mampu mendongkrak produktivitas dan kinerja ekspor produk sektor manufaktur.
Penanaman investasi di Indonesia masih didominasi dalam bentuk bangunan (property assets) berkisar 80-90 persen. Investasi dalam bentuk mesin dan peralatan masih sekitar 10 persen. Pemerintah harus mendorong pencapaian utilisasi kapasitas produksi dunia industri hingga 90 persen sehingga investor akan datang dengan sendirinya.
Pemerataan investasi dan alokasi proyek perlu dibenahi agar ketimpangan dapat diperkecil. Berdasarkan wilayah, komposisi penerimaan investasi Januari-September 2021 tetap didominasi wilayah Jawa Rp 318,7 triliun (48,3 persen) dan Sumatera Rp 143,9 triliun (21,8 persen). Di atas Sulawesi Rp 71,1 triliun (10,8 persen), Kalimantan Rp 57,3 triliun (8,7 persen), Maluku dan Papua Rp 47,2 triliun (7,2 persen), serta Bali dan Nusa Tenggara Rp 21,3 triliun (3,2 persen).
Tak terdapat perubahan signifikan dari 2020 yang masih didominasi Jawa (49,5 persen) dan Sumatera (24,3 persen) dan juga 2015, Jawa (54,4 persen) dan Sumatera (15,5 persen).
Padahal, anggaran infrastruktur dalam APBN 2016-2021 telah dialokasikan Rp 269,1 triliun, Rp 381,2 triliun, Rp 394 triliun, Rp 394,1 triliun, Rp 281,1 triliun, dan Rp 417,4 triliun. Ditambah anggaran dana desa dan transfer daerah periode 2016-2021 sebesar Rp 710,3 triliun, Rp 742 triliun, Rp 757,8 triliun, Rp 813 triliun, Rp 763,9 triliun, dan Rp 795,5 triliun. Anggaran superfantastis ini seharusnya lebih optimal mendorong pemerataan investasi di luar Jawa dan Sumatera.
Baca juga : Paradoks Kinerja Ekonomi
Kedua, fokus memacu pertumbuhan industri. Realisasi penerimaan investasi harus mampu mendorong pertumbuhan industri pengolahan. Berdasarkan data sektor investasi periode Januari-September 2021 didominasi sektor jasa Rp 330,8 triliun (50,2 persen), manufaktur Rp 236,8 triliun (35,9 persen), dan pertambangan Rp 53,3 triliun (8,1 persen). Komposisi investasi pada sektor manufaktur sebesar 30,8 persen (2018), 26,7 persen (2019), dan 33 persen (2020).
Masih di bawah komposisi pada sektor jasa 50,9 persen (2018), 57,5 persen (2019), dan 55,5 persen (2020). Padahal, tahun 2016, investasi sektor manufaktur tercatat Rp 335,8 triliun (54,8 persen), di atas sektor jasa Rp 188 triliun (30,7 persen).
Sayangnya, tahun berikutnya investasi sektor jasa berbalik mendominasi. Penerimaan investasi harus lebih diarahkan pada sektor manufaktur penyerap tenaga kerja (padat karya) dibandingkan sektor jasa (padat modal dan teknologi).
Transformasi menuju ekonomi berbasis industri tentu berlandaskan kemajuan riset, inovasi, dan SDM. Harus ada langkah maju membenahi kualitas SDM. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia memang meningkat dari 71,92 (2019) menjadi 72,29 (2021). Namun, struktur tenaga kerja berdasarkan pendidikan per 2019 masih didominasi lulusan SD (40,51 persen) dan SMP (17,75 persen). Lulusan universitas dan diploma hanya 9,75 persen dan 2,82 persen.
KOMPAS
Supriyanto
Komposisi tenaga kerja dengan kualitas rendah akan sulit bersaing di era Revolusi Industri 4.0 yang ditandai dengan kemajuan inovasi dan teknologi, seperti big data, cloud computing, internet of thing, artificial intelligence, dan robotika canggih.
Bonus demografi wajib dimanfaatkan untuk mempercepat transformasi ekonomi agar keluar dari middle income trap. Berdasarkan data BPS, dari sekitar 271,3 juta penduduk Indonesia tahun 2020, 70,7 persen berusia produktif (15-64 tahun) dan 23,3 persen berusia muda (0-14 tahun).
Berdasarkan kajian Bappenas, jumlah penduduk usia produktif diproyeksikan mencapai puncak pada 2030, yakni 64 persen dari total penduduk 297 juta jiwa. Bonus demografi hingga 2030 menjadi momentum baik menuju kemajuan dan kesejahteraan atau bisa pula berujung petaka ekonomi berupa membeludaknya pengangguran dan kesenjangan kualitas SDM.
Memajukan kapasitas dan daya saing nasional melalui ekosistem riset dan inovasi yang berstandar internasional, produktif, dan kolaboratif menjadi harga mati. Konsep triple helix dalam industri pengolahan harus terus ditingkatkan sehingga membentuk poros kerja sama solid di antara pemerintah, dunia industri, dan peneliti/akademia.
Riset dan inovasi wajib menjadi lokomotif dalam proses berkesinambungan. Hilirisasi produk harus lebih efisien, berdaya manfaat, serta unggul dalam rantai pasok global (global supply chain).
ARSIP PRIBADI
Santo Rizal Samuelson
Terakhir, pembangunan ekonomi hijau, inklusif, dan berkelanjutan. Pertumbuhan industri wajib memperhatikan kelestarian lingkungan hidup. Tanggung jawab ekonomi dibarengi tanggung jawab ekologi.
Santo Rizal Samuelson, Analis Ekonomi dan Keuangan di PT Graha Prima Energy
Editor: SRI HARTATI SAMHADI, YOHANES KRISNAWAN
|