Judul | Artikel Opini: Warisan Budaya Tak Benda. Gamelan sebagai Wahana Pendidikan Politik Kebudayaan |
Tanggal | 01 Januari 2022 |
Surat Kabar | Kompas |
Halaman | - |
Kata Kunci | |
AKD |
- Komisi X |
Isi Artikel | Warisan Budaya Tak Benda Gamelan sebagai Wahana Pendidikan Politik Kebudayaan Gamelan tidak sekadar mampu menggelorakan spirit kemanusiaan, tetapi juga merupakan sebuah politik kebudayaan. Pada masa Orde Baru, misalnya, politik kebudayaan gamelan dibunyikan untuk melegitimasi kekuasaan. Oleh A. WINDARTO Opini Purnawan Andra berjudul ”Gamelan, Kemanusiaan dan Masa Depan Kebudayaan” (Kompas.id, 18/12/2021) menarik untuk dikaji ulang. Sebab, gamelan tidak sekadar mampu menggelorakan spirit kemanusiaan, tetapi juga merupakan sebuah politik kebudayaan. Dalam konteks ini, keputusan Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNESCO) yang menetapkan gamelan sebagai warisan budaya tak benda mendapatkan saat dan tempat yang tepat untuk digaungkan sebagai wahana pendidikan politik kebudayaan. Pengamat kebudayaan Jawa, John Pemberton, dalam kajiannya yang berjudul Musical Politics in Central Java (or How Not to Listen to a Javanese Gamelan), (Indonesia 44, 1987) pernah berpendapat bahwa gamelan adalah musik tradisional yang berperan penting dan menentukan dalam sebuah acara ritual, seperti perayaan pernikahan. Maksudnya, musik yang biasanya diputar sebagai pengiring dalam acara ritual tersebut ditujukan untuk meredam segala bunyi yang ada di sekitarnya agar tidak terdengar sebagai suatu kegaduhan. Baca juga : Gamelan, Kemanusiaan dan Masa Depan Kebudayaan Itulah mengapa gamelan menjadi penanda penting yang mampu menenangkan segala bunyi, termasuk kebisingannya. Dalam konteks ini, gamelan dapat dikategorikan sebagai politik musik yang membuat bunyi tidak sekadar bergaung tanpa ritus tertentu. Dengan kata lain, ada ritual yang dihadirkan dalam gamelan untuk merayakan peristiwa hidup sehari-hari secara bersama-sama. Peristiwa yang bukan biasa-biasa saja itu mendapatkan makna yang disebut halus (murni) karena gamelan termasuk langgam musik yang bukan untuk kepentingan dansa-dansi atau hura-hura. Artinya, tidak seperti dalam tayuban atau jaipongan, gamelan di Jawa, khususnya pada saat resepesi pernikahan, ditujukan untuk memusatkan perhatian para tamu undangan agar melihat kepada pasangan pengantin (ndelok nganten). Ada ritual yang dihadirkan dalam gamelan untuk merayakan peristiwa hidup sehari-hari secara bersama-sama. Meski sebagian besar tamu tidak mendengarkan musiknya, perhatian terhadap pengantin adalah peristiwa yang tak diabaikan, apalagi diremehkan. Perhatian yang jarang diperdebatkan penting dan mendesaknya itu telah menjadi suatu pengetahuan bersama bahwa setiap tamu sudah tahu siapa sesungguhnya pasangan pengantin. Pengiring ritual Agar tidak terjadi hal dan masalah yang dapat membuat kaget dan kecewa (kagol), gamelan difungsikan sebagai musik pengiring ritual yang sedang dilangsungkan. Hal itu dimaksudkan agar segala sesuatu berjalan sesuai yang diharapkan bersama. Singkatnya, dengan gamelan, ritus demi ritus dapat dilalui dengan mulus dan lancar tanpa gangguan yang berarti. Berlalunya ritus yang dikawal iringan gamelan adalah mirip dengan berlalunya makanan yang dibagikan dari tangan ke tangan setiap tamu yang hadir dalam resepsi pernikahan. Baca juga : Harapan pada Masa Depan Gamelan Ritus yang dikenal sebagai ”piring terbang” itu menjadi peristiwa fenomenal dan khas di Kota Surakarta dibandingkan kota-kota lain di Jawa, seperti Yogyakarta. Dalam ritus itu, berlalunya piring-piring di hadapan para tamu menandakan meski sudah tahu apa saja menu yang akan disajikan,setiap pihak dituntun, bahkan dituntut, untuk tahu saat dan tempat yang tepat ketika hendak menyantap. Seperti itulah langgam musik yang dimainkan dengan gamelan yang bertujuan mengiring dan/atau mengawal perhatian para tamu agar tidak lepas dari para pengantin sebagai pusatnya. Pada saat dan tempat itulah mereka disebut sebagai raja dan ratu sehari. Pada era Orde Baru, ritus yang dihadirkan di panggung politik nasional, terutama saat pemilihan umum, cukup jelas memanfaatkan politik musik gamelan untuk melegitimasi kekuasaan. Pada tataran ini tampak dari setiap resepsi atau hajatan ”pesta demokrasi” lima tahunan pasangan penguasa yang dicalonkan selalu sudah diketahui siapa yang keluar sebagai pemenang. Meski dirayakan sebagai sebuah pesta, pemilihan umum pada zaman Orde Baru tetap diselenggarakan dengan tenang dan terkendali dalam kawalan atau iringan politik gamelan penguasa. Itulah mengapa kekuasaan rezim Orde Baru dapat bertahan selama lebih dari 30 tahun. Hal yang tak kalah menarik untuk dicermati bahwa kekuasaan yang dibangun melalui politik musik gamelan sangat mengandalkan bunyi gong. Meski dirayakan sebagai sebuah pesta, pemilihan umum pada zaman Orde Baru tetap diselenggarakan dengan tenang dan terkendali dalam kawalan atau iringan politik gamelan penguasa. Bukan hanya bunyinya yang diutamakan, melainkan pada saat dan tempat yang dikenal dengan sebutan ngegongi. Di sini dapat diibaratkan seperti ketika dalam sebuah resepsi pernikahan ada orang yang duduk dan berbincang dengan orang di sebelahnya yang tampaknya ahli tentang gamelan, biasanya ada sejumlah pernyataan yang bernada ”mengiyakan” atas apa yang sedang diperbincangkan meski keduanya belum pernah saling jumpa, apalagi bertegur sapa. Itulah yang diistilahkan sebagai ngegongi dalam bahasa sehari-hari orang Jawa. Dengan bahasa itu tampak bahwa kekuasaan tidak datang dari represi/tekanan, bahkan paksaan, tetapi justru dari kesukarelaan. Baca juga : Pemburu Kekuasaan dan Kerakusan Masuk akal jika selama Orde Baru berkuasa tampak tak ada gejolak politik dan ekonomi yang mampu menggoyang takhta kekuasaan, bahkan setelah tepat 20 tahun yang lalu kekuasaan tumbang, justru tak sedikit kalangan/pihak yang merindukan hadirnya kembali Orde Baru. Melalui slogan, misalnya, ”Piye kabare, isih penak jamanku ta?”, mudah ditebak ada upaya untuk ngegongi kekuasaan yang pada masa lalu berada di bawah perintah ”The Smiling General” (Jenderal yang Selalu Tersenyum), padahal di balik senyuman itu banyak kasus ketidakadilan dan pelanggaran hak-hak asasi manusia yang belum tersentuh, apalagi terselesaikan. Akankah politik kebudayaan gamelan dibunyikan lagi untuk menangani hal dan masalah itu, khususnya dalam Pemilihan Umum 2024? Jeli dan waspadalah selalu! A Windarto, Peneliti di Litbang Realino Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta Editor: Yovita Arika Berkas dalam bentuk [] |
Kembali ke sebelumnya |