Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Pendapatan Bisnis Pers, dari Pelanggan hingga “Blockchain”
Tanggal 05 Januari 2022
Surat Kabar Kompas
Halaman -
Kata Kunci
AKD - Komisi I
Isi Artikel Ekosistem digital menawarkan model-model bisnis baru yang terus berkembang. Munculnya blockchain dan Metaverse menjadi kesempatan bagi perusahaan media untuk menjajaki peluang bisnis baru di tengah disrupsi. Oleh YOHANES ADVENT KRISDAMARJATI Di tengah disrupsi teknologi dan krisis pandemi,  perusahaan media dituntut lebih kreatif menciptakan pendapatan baru. Tak cukup hanya bertumpu dari pendapatan pelanggan, iklan, atau event, alternatif pemasukan lainnya terus dijajaki termasuk dari ekosistem  blockchain dan Metaverse seperti yang dirintis oleh majalah TIME. Krisis pandemi Covid-19 turut menekan kinerja ekonomi dan bisnis global. Media cetak seperti koran dan majalah termasuk yang mengalami pukulan telak ketika pandemi. Survei yang dilakukan Reuters Institute di beberapa negara menangkap fenomena turunnya pembaca media cetak akibat pandemi. Pada 2020 didapati ceruk pasar media cetak di dunia sebesar 20 persen, turun dari sebelumnya 32 persen di 2019. Seiring terkendalinya pandemi, pasar media cetak kembali tumbuh di 2021, walaupun belum mencapai performa seperti sebelum  pandemi. Pertumbuhan ini antara lain didorong fenomena kembali membaca media cetak. Di sejumlah negara terutama di kawasan Eropa yang warganya mengalami keletihan akibat terpaan informasi di media digital, memilih kembali menjadikan media cetak sebagai referensi informasi. Aktivitas membaca media cetak pun tumbuh empat persen pada 2021. Saat ini, warga dengan aktivitas membaca media cetak tertinggi ada di India dengan pangsa pasar 50 persen. Disusul oleh Austria (45 persen), Swiss (37 persen,  dan Kenya (36 persen). Sedangkan, pangsa pasar media cetak di Indonesia menurut survei Reuters Institute berada di angka 20 persen. Selain di negara-negara tersebut, secara umum angka pembaca media cetak ini bervariasi di tiap negara, tetapi mayoritas hanya ada di posisi belasan persen. Selain indikator mulai membaiknya kondisi bisnis media, corak pers di masa pandemi yang terlihat adalah makin beradaptasi dengan ekosistem digital. Di masa pandemi, kanal digital telah menjadi garda depan perusahaan pers dengan sajian koran digital (epaper) dan berita daring. Adaptasi ini turut membawa perubahan cara pandang, bahkan cara kerja awak media dalam menghidupi ekosistem digital. Salah satu langkah terpenting adalah menjalin relasi yang bersifat personal dengan para pembaca. Harapannya akan timbul loyalitas dan orang mau membayar untuk mendapat konten berkualitas. Tugas beratnya ada pada proses merumuskan dan memastikan bahwa konten yang disajikan layak untuk dibayar dan mampu bersaing dengan konten gratis. Paling penting Jalinan relasi dengan pelanggan menjadi faktor penting yang harus dilakukan perusahaan media mengingat upaya mendapatkan pendapatan bernilai tinggi dari audiens harus dicapai dengan usaha yang keras. Ini disebabkan karena minat orang untuk membayar berita digital masih rendah. Hasil riset PricewaterhouseCoopers (PwC) yang dipublikasikan dalam laporan Global Entertainment and Media Outlook: 2017-2021 Indonesia Data Insight menunjukkan bahwa minat audiens Indonesia untuk berlangganan konten digital adalah 19 persen. Namun, jika dicermati secara mendalam, angka tersebut masih dibagi dengan beberapa jenis konten berbayar seperti video on demand (VOD) dan musik streaming. Dengan demikian ceruk pasar pelanggan konten digital di Indonesia masih harus digali lebih dalam mengingat persaingan jenis konten yang ditawarkan. Untuk saat ini orang lebih berminat membayar konten digital jenis hiburan dibanding informasi atau edukasi. Fenomena lain dari eksistensi media cetak di masa pandemi adalah tuntutan adanya strategi dan cara pandang bisnis media untuk terus bertahan di saat krisis. Riset yang dilakukan oleh Reuters Institute dan Universitas Oxford mengungkap terjadi pergeseran perspektif tentang sumber pendapatan perusahaan yang paling penting bagi media. Survei yang dilakukan di 43 negara termasuk Indonesia ini memperlihatkan, saat ini ada lima sumber pendapatan yang diandalkan perusahaan media yaitu dari pengiklan, pelanggan, penyelengaraan acara atau event, e-dagang, serta donatur. Di masa pandemi ini, kelimanya menunjukkan tren penurunan, tetapi masih tetap bisa diandalkan sebagai sumber pendapatan. Contohnya adalah iklan dan event. Jika sebelumnya,  iklan menjadi tumpuan utama industri pers, saat ini menunjukkan kecenderungan penurunan. Iklan di media cetak secara umum dapat dibedakan dalam dua jenis, yaitu display advertising atau iklan tampilan dan native advertising atau iklan yang seolah merupakan bagian dari konten media. Display ads diandalkan oleh 81 persen perusahaan media di tahun 2019. Angka ini turun menjadi hanya 66 persen pada 2021. Tren penurunan display ads diproyeksikan akan terus terjadi pada masa-masa mendatang. Hal ini dipicu oleh para pengiklan yang berpaling pada kanal media sosial yang terus berkembang dan makin diminati masyarakat. Iklan di media cetak harus bersaing dengan platform media sosial yang menyediakan layanan iklan terarah atau targeted ads. Layanan tersebut ditujukan pada pengguna medsos dengan minat yang spesifik. Kelebihan tersebut dipandang lebih efektif dari segi biaya dan capaian audiens. Sumber pendapatan lainnya yang turun yaitu dari divisi event atau penyelenggaraan acara. Pendapatan dari event yang sebelumnya diandalkan memberikan kontribusi 48 persen pendapatan media mengalami penurunan akibat pandemi beragam acara tatap muka harus dibatalkan. Keadaan ini berakibat pada menurunnya prospek sumbangan event terhadap keuangan perusahaan menjadi 40 persen. Angka penurunannya tidak sejauh display ads, sebab masih ada sebagian acara yang tetap dapat digelar dengan format daring atau diselenggarakan secara terbatas dengan menerapkan protokol kesehatan ketat. Kegiatan ekonomi dari divisi event diproyeksikan akan kembali tumbuh pada 2022 seiring terkendalinya pandemi Covid-19 dan pulihnya aktivitas masyarakat. Menjajaki “blockchain” Di tengah tekanan bisnis ini,  perusahaan media dituntut terus kreatif menciptakan sumber-sumber pendapatan baru dengan mengikuti model bisnis ekosistem digital. Salah satu alternatif model bisnis pers adalah dengan memanfaatkan sistem blockchain. Kehadiran sistem blockchain mulai dikenal dan populer bersamaan dengan kemunculan mata uang kripto Bitcoin. Blockchain merupakan semacam jaringan pusat data yang menyimpan dan mendistribusikan catatan transaksi serta mencatat nilai dan kepemilikan aset digital. Dalam sistem ini setiap pengguna bisa bertransaksi dengan mata uang digital yang beredar di dalam ekosistem blockchain. Satu dari sekian banyak komoditas yang diperdagangkan melalui blockchain adalah non-fungible tokens (NFTs). NFT merupakan aset digital berupa gambar, video, dan beragam format data lainnya yang bisa diperjual belikan. Untuk saat ini, media konvensional yang mencoba menjual konten digital dalam wujud NFT adalah majalah TIME. Komoditas yang dijual diberi nama “TIMEPieces” yang terdiri dari 4.676 gambar sampul Majalah TIME yang masing-masing dijual seharga 0,1 ETH (Ethereum) mata uang kripto yang setara nilainya dengan 310 dollar AS. Dilaporkan bahwa NFT yang dijual TIME ludes dalam hitungan menit. Dengan demikian TIME meraup pendapatan senilai 467,6 ETH atau setara 1,5 juta dollar AS. Model bisnis yang yang dilakukan oleh Majalah TIME memang masih tahap penjajakan, tetapi menjadi penanda bahwa media konvensional bisa berbisnis di platform digital terkini. Selain itu, Majalah TIME juga menjajaki konten yang disajikan dalam Metaverse sejak November 2021. Secara sederhana, Metaverse adalah versi digital tiga dimensi dari kehidupan di dunia fisik. Di dalamnya orang bisa membangun perwakilan diri atau avatar sesuai dengan keinginan. Selain itu bisa juga membuat atau membeli objek yang diperdagangkan. Metaverse ini serupa dengan gim video The Sims yakni sebuah video gim simulator kehidupan. Perkembangan pesat teknologi digital yang terus terjadi, membuat media cetak juga harus beradaptasi dengan ekosistem digital. Sebagaimana saat munculnya YouTube, sejumlah besar perusahaan media segera meluncurkan akun YouTube dan mengisinya dengan konten-konten video. Tumbuhnya subscribers YouTube jelas membuka peluang pendapatan baru bagi perusahaan media. Munculnya blockchain dan Metaverse menjadi kesempatan bagi perusahaan media untuk menjajaki peluang bisnis baru di tengah disrupsi. Bukan hanya mencari sumber pendapatan baru, hal itu juga dilakukan demi dapat terus menjalin relasi dengan audiens atau pelanggan yang juga telah masuk dalam lingkungan digital. Perubahan harus terus dilakukan perusahaan media dengan terus memberi untuk #menjadilebih. Pada akhirnya, perusahaan pers akan dapat eksis dan bertahan hidup apabila berhasil melayani audiens dengan baik sesuai perkembangan zaman yang memunculkan beragam kebutuhan informasi dan asupan perspektif baru. (LITBANG KOMPAS)
  Kembali ke sebelumnya