Isi Artikel |
Senin, 10-01-2022
Memberi Jeda Petani Nikmati Harga Tinggi
Keputusan impor harus memperhitungkan waktu yang tepat agar tidak mengganggu harga di tingkat petani
F LUKTUASI harga bahan pokok terus dialami Indonesia tiap tahun. Penyebabnya beragam, dari faktor cuaca tidak menentu hingga faktor musiman akibat memasuki hari besar keagamaan atau panen raya yang memengaruhi kondisi supply dan demand. Beberapa harga bahan pangan yang melonjak cukup tinggi jelang akhir tahun antara lain telur dari Rp24 ribu menjadi Rp31 ribu per kilogram, cabai yang melonjak hingga menembus angka Rp100 per kilogram, dan minyak goreng yang kini berada di harga Rp18 ribu per liter dari sebelumnya di kisaran Rp11 ribu. Pemerintah tentu saja tidak tinggal diam menghadapi lonjakan harga-harga bahan kebutuhan pokok. Berbagai langkah intervensi dilakukan. Salah satunya dengan melakukan operasi pasar. Pemerintah dengan stok yang dimiliki akan membanjiri pasar dengan barang kebutuhan pokok yang naik. Namun, memandang fenomena kenaikan harga tidak boleh dari satu sisi. Perlu ada pemahaman dari sisi produsen, dalam hal ini petani dan peternak, mengapa harga-harga itu naik sehingga penanganan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok tidak melulu berhenti membuat harganya turun, tetapi juga lebih pada terciptanya keseimbangan baru yang menguntungkan konsumen dan produsen. Pada harga telur, misalnya, Kementerian Perdagangan menilai harga yang sekarang bisa untuk mengompensasi kerugian peternak saat harga telur rendah. Apalagi, tren ke depannya harga telur akan menurun setelah lonjakan permintaan di akhir tahun mereda. “Sekarang biar saja mereka ambil keuntungan. Jika diambil garis lurus, harga telur masih di bawah harga kecukupan petelur jual. Jadi kita perlu kasihan juga,” kata Menteri perdagangan (Mendag) Muhammad Lutfi, beberapa waktu lalu. Associate Researcher CORE Indonesia Dwi Andreas Santosa membenarkan bahwa harga cabai, minyak goreng, dan telur berada di atas level psikologi. Namun, dia meminta agar hal ini tidak perlu dikhawatirkan mengingat hanya akan berlangsung sementara. Pada komoditas minyak goreng, dia berpendapat tingkat kebutuhannya tidak seperti nasi atau beras. Kenaikan harganya juga akan sementara, begitu produksi kedelai sebagai sumber minyak nabati nanti meningkat, akan mampu meredam harga minyak goreng. Untuk fl uktuasi harga cabai, siklusnya memang ada iklim basah dan kemarau. Saat iklim basah, harga cabai akan naik karena cabai mudah rontok bila curah hujan terlalu tinggi. Andreas meyakini jelang akhir Januari memasuki Februari harga cabai akan berangsur turun. Oleh karena itu, kenaikan harga saat ini sejatinya memberikan jeda bagi para petani untuk menikmati keuntungan untuk mengompensasi kerugian atau antisipasi ke depannya. “Yang penting ketika harga tinggi, itu tertransformasi ke petani karena petani tidak untung besar sebab mereka gagal panen juga di musim sebelumnya,” kata Andreas. Gelontorkan subsidi Untuk kenaikan harga minyak goreng juga membuka fakta baru industri sawit kita yang saat ini menjadi produsen nomor wahid dunia bersama Malaysia. Kenaikan harga minyak goreng berkorelasi dengan harga crude palm oil (CPO) yang terus melonjak di pasar dunia. Harga CPO dunia naik menjadi US$1.340/MT, sedangkan harga eceran tertinggi yang ditetapkan pemerintah ialah Rp11 ribu, disusun saat harga CPO pada kisaran US$500-600/MT. Meski Indonesia merupakan produsen CPO terbesar, kondisi di lapangan menunjukkan sebagian besar produsen minyak goreng tidak terintegrasi dengan produsen CPO. “Dengan entitas bisnis yang berbeda, tentunya para produsen minyak goreng dalam negeri harus membeli CPO sesuai dengan harga pasar lelang dalam negeri, yaitu harga lelang KPBN Dumai yang juga terkorelasi dengan harga pasar internasional. Akibatnya, apabila terjadi kenaikan harga CPO internasional, harga CPO di dalam negeri juga turut menyesuaikan harga internasional,” kata Dirjen Perdagangan Luar Negeri Oke Nurwan, beberapa waktu lalu. Oleh karena itu, solusi yang diambil juga lintas sektoral. Pemerintah akan menyubsidi penjualan minyak goreng agar bisa berada di Rp14 ribu per kg dengan menugasi Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP KS)untuk membiayai kebutuhan subsidi Rp3,6 triliun. Dengan adanya subsidi ini, keseimbangan antara petani dan produsen dapat terjembatani. Konsumen tidak perlu membayar lebih dan petani sawit tidak mengalami penurunan harga jual hasil kebunnya. Timing impor Satu hal yang masih bisa membuat masyarakat tidak perlu khawatir berlebihan ialah minimnya risiko terjadi krisis pangan pada 2022. Andreas memperkirakan pada 2022 tidak akan terjadi krisis pangan karena faktor-faktor penyebab krisis pangan tidak ada. Sepanjang 2021 pasokan pangan cukup terjaga. Namun, ia tetap mengingatkan bahwa meskipun tidak ada impor dalam tiga tahun terakhir, produksi beras mengalami penurunan sebesar 0,13% per tahun. Sebelumnya, pada 2019 produksi beras anjlok ke angka 7,7% karena ada El Nino. Seharusnya, menurut dia, pemerintah dapat mendorong produksi padi lebih besar karena pada 2020 terdapat fenomena La Nina dengan iklim basah yang lebih kondusif untuk masa tanam padi. Sayangnya, pada tahun tersebut kenaikan produksi beras tidak begitu besar. Kemudian, pada 2022 diprediksi akan ada El Nino sehingga produksi padi lebih sulit digenjot ketimbang tahun sebelumnya. Sementara itu, stok Bulog ini relatif lebih rendah dari stok aman, yaitu sekitar 900 ribu ton dari semestinya 1,5 juta ton. “Jadi, mohon hati-hati buat kita semua ada gejolak harga beras. Saya mohon jangan ada wacana impor. Biarkan petani yang menikmati harga petani. Jadi, pemerintah jangan terburuburu kalau memutuskan impor ini bisa kacau bila barang datangnya pas panen raya,” tandas Andreas. (E-1)
|