Isi Artikel |
Kompas, 13-01-22-h.13
Kisah Pedih di Balik
Gurih Ulat Sagu
Saat Tim Ekspedisi Kompas meliput hutan sagu di Kampung
Sima, Nabire, Papua, kami penasaran ingin mencoba rasa
ulat sagu yang biasa dikonsumsi warga. Ulat itu terasa gurih
meski ternyata menyimpan kisah pedih di baliknya.
Kelvin Hianusa
Kata novelis ternama asal
Amerika Serikat, Jo-
nathan Safran Foer, ma-
kanan bukanlah sesuatu yang
rasional, melainkan sebuah kul-
tur dan kebiasaan yang mem-
bentuk identitas.
Ungkapan ini tepat untuk
menggambarkan masyarakat
Papua. Mereka mengonsumsi
sagu sebagai makanan utama
saat mayoritas warga Indonesia
tak bisa lepas dari beras.
Keunikan itulah yang dida-
pati Tim Ekspedisi Tanah Pa-
pua Kompas saat berkunjung ke
Kampung Sima, Distrik Yaur,
Nabire, Papua. Tim ter-
diri dari tiga wartawan,
yakni Harry Susilo, Fa-
bio Lopes, dan saya, se-
rta fotografer Bahana
Patria Gupta dan vide-
ografer Ditto Permadi.
Di Kampung Sima
yang terletak di areaTe-
luk Cenderawasih ini, semua
warganya mampu bertahan hi-
dup berkat makanan dari hutan
sagu.
Ada segudang pertanyaan
yang lantas mengganggu pikir-
an saya. Bagaimana cara hidup
hanya dari hutan sagu? Apa
yang bisa dimakan? Dan,
mengapa warga begitu meng-
gantungkan hidup pada sagu?
Pertanyaan itu terjawab Se-
nin (26/4/2021) siang. Di bawah
sorot terik matahari, Kepala
Urusan Pemerintahan Desa
Kampung Sima Yulius Awujani
(56) mengantar kami masuk
hutan. Pria tua berotot kering
ini memandu perjalanan me-
lihat-lihat hutan sagu Mana-
wari, tempat warga mengolah
makanan mereka.
”Tidak jauh tempatnya. Pa-
ling berjalan masuk hutan
15-20 menit. Kita harus jalan
kaki karena jalannya kecil,tidak
bisa dilalui kendaraan bermo-
tor,” kata Yulius dengan parang
tergantung di pinggang, siap
membabati dahan yang menu-
tupi jalan.
Perjalanan pun di-
mulai. Memasuki area
hutan, pohon-pohon
raksasa berdiri tegak
menyambut di kiri ka-
nan jalan setapak yang
kami lalui. Yulius yang
memimpin
barisan
mengingatkan kami
untuk hati-hati saat melangkah
karena banyak rawa berlum-
pur.
Yulius yang tiap hari pu-
lang-pergi ke hutan sagu ter-
lihat berjalan normal bak di atas
jalan beraspal. Dengan amat
tenang, ia susuri satu per satu
batang pohon di hutan.
”Brak… Aduhhh,” suara cip-
ratan lumpur yang diikuti
teriakan Ditto memecah kehe-
ningan hutan. Hal yang dita-
kutkan terjadi. Ditto terpeleset
saat menyeberang. Satu kakinya
terperosok ke dalam rawa.
Setelah kakinya ditarik, ter-
lihat lumpur mengotori hingga
betis. Alhasil, sepatu dan celana
panjang Ditto basah plus ber-
bau tidak sedap. Kami hanya
bisa tertawa melihatnya yang
sedang garuk-garuk kepala.
Mencicipi ulat sagu
Setelah berjalan sekitar 20
menit, Yulius melambat. Ia ke-
mudian melirik ke arah warga
kampung yang sedang berak-
tivitas mengolah sagu.
Tiga warga Kampung Sima,
Andreas Wayoi; bersama istri-
nya, Alfrida Maniburi; dan adik
iparnya, Flora Maniburi, sibuk
menokok dan membikin pati
sagu basah. Suara tokokan itu
mendominasi suasana hutan
sagu Malawari. Bahkan, meng-
alahkan bunyi kicauan burung
dan suara serangga.
Dengan rasa penasaran, saya
dekatiAndreas. Ia sedang mem-
belah kayu dalam posisi duduk.
Lelaki 65 tahun ini asyik be-
kerja ditemani tiga anjingnya.
”Di dalamnya tidak ada ulat
sagu, Pak?” tanya saya, penuh
diliputi penasaran.
Andreas berdiri. Perasaan sa-
ya mulaitidak enak. Pertanyaan
yang saya lemparkan bisa men-
jadi bumerang kalau Andreas
serius menanggapinya. ”Ada,
nih, sebentar saya ambilkan du-
lu,” katanya lalu menuju ba-
tang pohon sagu.
Ulat-ulat sagu seukuran
jempol tangan berbaris tak
beraturan saat batang sagu ter-
belah. Tanpa banyak basa-basi,
Andreas langsung mempersi-
lakan kami mencicipi ulat sagu
yang masih segar itu.
Karena saya yang menanya-
kan pertama kali, rasanya pu-
nya tanggung jawab besar un-
tuk mencobanya lebih dulu.
Berbalut rasa cemas sekaligus
penasaran, saya ambil ulat sa-
gu itu, lalu melahap secepat
mungkin.
Segera setelah masuk, rong-
ga mulut serasa dipenuhi ulat
sagu di segala penjuru. Saya
bayangkan ulat itu masih hi-
dup dan bergerak-gerak. Saya
merasa agak jijik sebab dalam
bayangan saya, ulat biasa di-
makan ayam ataupun ikan, bu-
kan manusia. Bagi sebagian
orang, memakan ulat bisa di-
katakan kegiatan ekstrem.
Namun, setelah mengu-
nyahnya berkali-kali, ternyata
rasanya tidak seburuk bayang-
an awal. Hambar, tetapi ada
sedikit kesan gurih. Tekstur
ulat bertubuh gempal itu amat
kenyal. Untungnya tidak ada
bau-bau aneh dari cairan yang
keluar saat tubuh ulat tergigit.
Setelah berhasil mengirim
ulat masuk perut, ganti saya
mengompori teman-teman la-
in untuk mencoba. Mulai dari
Ditto hingga Harry Susilo, sang
pemimpin ekspedisi, yang
akhirnya tertantang. Mereka
pun turut melahap ulat sagu.
Sama seperti saya, awalnya
keduanya terdiam sejenak. La-
lu, mulai merasakan sensasi
berbeda dari ulat tersebut.
”Rasanya kayak permen karet.
Enak juga,” ujar Ditto.
Kata Andreas, rasa ulat sagu
ini memang gurih. Namun, le-
bih enak lagi jika ulat dibakar
terlebih dulu. ”Rasa”-nya akan
lebih keluar. Dia mengibarat-
kan ulat sagu ini seperti olahan
ayam bagi warga setempat.
Kisah pedih
Saat rasa gurih di dinding
mulut mulai pudar, Andreas
bercerita tentang sagu. Ulat
ataupun sagu merupakan ma-
kanan turun-temurun yang di-
wariskan nenek moyang. Me-
reka bisa memakan sagu dalam
tekstur kenyal (direbus) atau
keras (dibakar). Tak lupa, ulat
sagu ditambahkan sebagai
sumber protein.
”Sagu ini yang menyelamat-
kan kami. Kalau tidak ada ini,
saya tak tahu lagi apakah
warga bisa hidup atau tidak.
Sagulah yang menghidupi le-
luhur kami hingga melahirkan
generasi suku Yerisiam ber-
ikutnya. Saya sudah menokok
sagu dari masa remaja hingga
sekarang telah memiliki cucu,”
ujar Andreas yang punya 12
anak itu.
Karena itu, Andreas dan se-
luruh warga Kampung Sima
sangat murka ketika hutan
sagu sempat hendak diambil
alih. Pada 2017, perusahaan ke-
lapa sawit berniat mengubah
hutan sumber kehidupan
warga itu menjadi perkebunan
sawit.
Seluruh warga menolak ke-
ras keinginan perusahaan sa-
wit. Mereka bersama-sama
mendorong keluar perusahaan
yang menggunakan bantuan
aparat itu. Kata Andreas, saat
itu mereka siap mati asalkan
hutan sagu tidak direnggut.
Saat Andreas tengah ber-
api-api bercerita dan mulai
mengeluarkan nada-nada ting-
gi, Yulius mendatangi kami. Ia
mengajak tim keluar hutan ka-
rena hari mulai sore. Namun,
mendengarkan cerita teman-
nya itu, Yulius ikut tertarik
mencurahkan isi hatinya.
”Sagu itu yang menghidupi
leluhur kami dahulu kala sam-
pai sekarang ini. Jadi tidak
boleh dibongkar. Hutan sagu
itu ciptaan Tuhan bagi orang
Yerisiam. Jadi, kalau sampai
habis, segala-galanya nanti
uang. Orang (suku) Yerisiam
tidak terlalu makan tanaman.
Kalau kami di pesisir pantai
dan lembah itu tidak terlalu ke
tanaman. Sekadar saja tanam-
an bisa hadir, tetapi yang po-
kok adalah sagu,” katanya.
Bagi warga setempat, sagu
bukan sekadar bahan makan-
an utama, melainkan juga
sumber penghasilan seha-
ri-hari. Sagu hasil mengambil
dari hutan laku dijual di pasar.
Uangnya cukup untuk kebu-
tuhan sehari-hari.
Perjalanan hari itu mem-
bantu menjawab pertanyaandi
pikiran. Namun, di sisi lain,
juga membuat kami gamang.
Pikiran pun seakan campur
aduk memproses semua yang
terjadi di hutan sagu.
Lidah saya memang merasa-
kan gurih ulat sagu, tetapi pe-
rasaan berakhir perih menge-
tahui kisah pedih di baliknya.
Kami tentu tak dapat men-
cicipi ulat sagu jika saat itu
hutan sagu hilang berganti dan
kebun sawit.
Di antara kebingungan, ada
satu hal yang saya pahami:
warga Kampung Sima sangat
menikmati konsumsi sagu dan
olahannya.
Itulah harta yang selalu me-
reka punya, sagu yang selalu
setia menemani dari generasi
ke generasi. Perjalanan pan-
jangnya berevolusi jadi sebuah rasa yang tak tergantikan.
|