Selamat datang di website E-PAPER PERPUSTAKAAN DPRRI.

Koleksi Perpustakaan DPR RI

Judul Sebulan Berlalu, Revisi UU ITE Tak Disentuh DPR
Tanggal 24 Januari 2022
Surat Kabar Kompas
Halaman 2
Kata Kunci
AKD - Komisi I
Isi Artikel

Sebulan Berlalu, Revisi UU ITE Tak Disentuh DPR

Sejumlah langkah perlu diambil pemerintah sebagai antisipasi lambatnya proses penyelesaian revisi UU ITE. Ini penting supaya pasal karet di UU ITE tak terus memakan korban.

JAKARTA, KOMPAS - Sudah sebulan berlalu sejak pemerintah menyerahkan surat presiden soal revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik berikut draf revisi undang-undang itu ke DPR. Namun, hingga kini, belum ada perkembangan berarti di DPR. Sejumlah langkah perlu diambil sebagai antisipasi lambatnya proses penyelesaian revisi supaya pasal karet di UU ITE tak terus memakan korban.

Surat presiden terkait revisi UU ITE berikut draf revisi sudah dilayangkan ke DPR pada 16 Desember 2021. Namun, menurut Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi PDI-P Utut Adianto saat dihubungi, Minggu (23/1/2022), belum ada perkembangan mengenai rencana pembahasan revisi UU ITE.

Sesuai aturan dan tata tertib DPR, surat presiden mengenai revisi UU ITE seharusnya dibahas dulu dalam rapat Badan Musyawarah (Bamus) DPR. Bamus DPR kemudian memutuskan alat kelengkapan DPR yang membahas revisi itu.

”Kami belum tahu (perkembangannya). Tetapi, yang sekarang segera dibahas itu, kan, soal perbaikan omnibus law (UU Cipta Kerja). Hulunya memperbaiki UU No 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Kalau revisi UU ITE belum (ada perkembangan),” ujar Utut.

Dalam Rapat Paripurna DPR dengan agenda pembukaan masa persidangan III DPR, Selasa (11/1/2022), revisi UU ITE pun tak masuk dalam daftar delapan RUU yang akan dituntaskan DPR selama masa persidangan III hingga Februari mendatang. Delapan RUU yang akan dituntaskan hanyalah RUU Hukum Acara Perdata, RUU Praktik Psikologi, RUU Sistem Keolahragaan Nasional, RUU Aparatur Sipil Negara, RUU Perlindungan Data Pribadi, RUU Penanggulangan Bencana, RUU Landas Kontinen, dan RUU Ibu Kota Negara (IKN). RUU IKN sudah disahkan dalam Rapat Paripurna DPR, Selasa (18/1/2022).

Setelah menerima surat presiden berikut draf revisi UU ITE, Wakil Ketua DPR dari Fraksi Partai Gerindra Sufmi Dasco Ahmad pernah menyampaikan komitmen DPR untuk segera membahas dan menyelesaikan revisi UU ITE.

Direktur Eksekutif Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) Wahyudi Djafar melihat, proses legislasi di DPR sangat politis. Proses pembahasan RUU, sekalipun sudah menjadi komitmen dan atensi dari presiden, akan sangat bergantung pada proses politik di DPR. Dengan demikian, walaupun pemerintah dan pimpinan DPR sebelumnya mengatakan telah kompak ingin menuntaskan revisi UU ITE, prosesnya di DPR bisa bertolak belakang.

”Tetapi, di level lain, undang-undang yang tidak menjadi perhatian publik seperti RUU IKN justru bisa dibahas dengan sangat cepat oleh DPR,” kata Wahyudi.

Optimalkan SKB UU ITE

Untuk mengantisipasi lambatnya proses revisi UU ITE dan sekaligus mencegah pasal karet di UU ITE terus memakan korban, menurut Wahyudi, pemerintah bisa lebih mengoptimalkan implementasi dari Surat Keputusan Bersama (SKB) tentang Pedoman Implementasi UU ITE.

Pemerintah harus bisa memastikan aparat penegak hukum benar-benar memedomani SKB itu saat berhadapan dengan pasal karet UU ITE. ”Selama ini, SKB, kan, memang tidak efektif dalam penerapannya di lapangan,” ujarnya.

Selain itu, pemerintah juga bisa mendorong Mahkamah Agung (MA) agar mengeluarkan fatwa untuk menghindari vonis bersalah kasus-kasus pasal karet UU ITE. Kasus pelaporan pencemaran nama baik, misalnya, bisa merujuk pada aturan di Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Hal lain yang perlu dilakukan mengubah kecenderungan orang yang melaporkan orang lain dengan menggunakan pasal karet di UU ITE. ”Kalau memang UU ITE belum akan segera direvisi, pekerjaan rumah pemerintah sekarang adalah bagaimana mengubah budaya agar tidak sedikit-sedikit orang melaporkan memakai pasal karet UU ITE,” ucapnya.

Sebaliknya, jika pembentuk UU ingin serius merevisi UU ITE, revisi harus bisa menjamin bahwa regulasi itu nantinya akan berdampak positif. Jangan sampai pola revisi pertama UU ITE pada 2016 diulang. Saat itu, pemerintah hanya merevisi terbatas pasal-pasal tertentu yang dianggap karet sehingga meski telah direvisi, penerapan hukum UU ITE tetap berbuah persoalan. Banyak orang mengkriminalisasi kebebasan berpendapat dengan ancaman pasal karet UU ITE.

Wahyudi menjelaskan, dampak paling berbahaya dari UU ITE adalah efek ketakutan (chilling effect) yang dapat dirasakan sangat dalam oleh pengguna internet. Efek ketakutan itu membuat orang ragu-ragu atau tidak mau lagi mengungkapkan suara kritisnya di media sosial. Ini merupakan ancaman serius bagi kebebasan berpendapat dan berekspresi khususnya di ranah digital.

 
 
  Kembali ke sebelumnya