Awasi Distribusi Pupuk
Pengawasan tidak berjalan maksimal, padahal ada Komisi Pengawasan
Pupuk dan Pestisida atau KP3.
JAKARTA, KOMPAS — Kompleks-
nya persoalan tata kelola pupuk
subsidi membuat riak selalu
muncul setiap tahun. Pemerin-
tah, dari pusat hingga daerah,
perlu bersinergi dalam melihat
persoalan ini secara serius. Di
tingkat bawah, pengawasan
amat mendesak.
Karut-marut tata kelola pu-
puk subsidi sejatinya persoalan
dari hulu ke hilir. Mulai dari
keterbatasan produksi dan ang-
garan, lemahnya pengawasan
dalam penyaluran, disparitas
harga dengan pupuk nonsub-
sidi, hingga perencanaan yang
tak terkelola optimal pada Ren-
cana Definitif Kebutuhan Ke-
lompok (e-RDKK). Pada akhir-
nya, seperti laporan investigasi
harian Kompas, Kamis-Jumat
(27-28/1/2022), ditemukan se-
jumlah penyimpangan.
Penyimpangan tersebut, an-
tara lain, keberadaan sindikat
yang memperdagangkan subsi-
di di luar ketentuan, keterse-
diaan yang tak sesuai musim
tanam, manipulasi pada data
e-RDKK, dan data pada Kartu
Tani yang tak sinkron dengan
alokasi pupuk. Masalah-masa-
lah itu selalu berulang.
”Kita harus jujur dan lihat. Di
tingkat bawah, ada persoalan
distribusi atau penyaluran. Pe-
ngawasan tidak berjalan mak-
simal, padahal ada Komisi
Pengawasan Pupuk dan Pes-
tisida (KP3),” ujarKetuaUmum
Kontak Tani Nelayan Andalan
(KTNA) Nasional M Yadi
Sofyan Noor saat dihubungi pa-
da Minggu (30/1).
Seperti tertuang dalam Per-
aturan Menteri Perdagangan
Nomor 15 Tahun 2013 tentang
Pengadaan dan Penyaluran Pu-
puk Bersubsidi untuk Sektor
Pertanian, KP3 ialah wadah
koordinasi instansi terkait yang
dibentuk gubernur untuk ting-
kat provinsi dan oleh bupa-
ti/wali kota untuk tingkat ka-
bupaten/kota. ”Dulu, KTNA
masuk dalam KP3, tetapi se-
karang sudah tidak. Padahal,
petani yang tahu kondisi la-
pangan. Saat ini sulit mengon-
trol(penyimpangan penyaluran
pupuk) karena bukan pelaku
yang mengawasi,” katanya.
Ia pun mendorong agar pu-
puk subsidi difokuskan pada
komoditas pangan, yakni padi,
jagung, dan kedelai. Pengguna-
an pupuk organik juga perlu
digencarkan. ”Sudah saatnya
pemerintah mengalihkan per-
tanian ini agar tidak tergantung
(pupuk kimia) lagi,” katanya.
Direktur Jenderal Prasarana
dan Sarana Pertanian Kemen-
terian Pertanian Ali Jamil
mengatakan, pupuk bersubsidi
bukan langka, melainkan dari
total pengajuan melalui e-RD-
KK, hanya dapat dipenuhi se-
kitar 40 persen. ”Kebutuhan
petani secara nasional 22,57 ju-
ta ton hingga 26,18 juta ton per
tahun.Namun, anggarannegara
(Kementerian Keuangan) ha-
nya cukup untuk 8,87 juta ton
hingga 9,55 juta ton senilai Rp
25 triliun,” kata Ali dalam ke-
terangannya akhir pekan lalu.
”Pengawalan sistem e-RDKK
berbasis NIK (nomor induk ke-
pendudukan) terus kami per-
ketat. Kami juga melakukan
upaya efisiensi dan substitusi
pupuk organik,” ujarnya.
Fungsional Analis Prasarana
dan Sarana Pertanian pada Di-
nas Pertanian dan Ketahanan
Pangan Jawa Timur, Edy Pur-
wanto, menuturkan, disparitas
harga pupuk bersubsidi dan
nonsubsidi juga menjadi salah
satu pemicu penyimpangan dis-
tribusi. Contohnya, harga ecer-
an tertinggi (HET) urea ber-
subsidi Rp 112.500 per karung
(50 kg), sedangkan harga urea
nonsubsidi di pasaran bisa 2,5-3
kali lipat lebih mahal. (DIT)
|